Selasa, 17 September 2013

Daya Saing dan Birokrasi

Daya Saing dan Birokrasi
FX Sugiyanto ;  Kepala Pusat Penelitian Kajian Pembangunan,
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 17 September 2013


DI tengah keterpurukan nilai tukar rupiah, World Economic Forum (WEF) dalam laporan tahun 2013-2014 menempatkan daya saing Indonesia pada urutan ke-38, naik dari urutan ke-50 tahun sebelumnya. Walau masih jauh di bawah Singapura dengan urutan ke-2, Malaysia ke-24, dan Brunei Darussalam ke-26, dan hampir sama dengan Thailand pada urutan ke-37, kita masih mengungguli beberapa negara ASEAN.

Filipina pada urutan ke-59, Vietnam ke-70, dan Laos, Kamboja, dan Myanmar masing-masing pada urutan ke-80, ke-88 dan ke-139. Dibanding China dan India; dua raksasa Asia yang sedang tumbuh, Indo­nesia berada di antaranya. China pada urutan ke-29 dan India pada urutan ke-60.
Lompatan kenaikan posisi itu tentu memberi harapan besar karena dunia  internasional akan melihat Indonesia dalam proses menuju ekonomi yang le­bih kompetitif untuk investor. Sekaligus menumbuhkan optimisme dan pros­pek yang makin baik. Kenaikan itu juga  menunjukkan pilar-pilar penyangga daya saing Indonesia makin kokoh.

World Economic Forum menggunakan tiga faktor untuk mengukur daya saing. Pertama; faktor fundamental meliputi 4 pilar, yaitu kelembagaan, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, serta kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Faktor fundamental naik ke posisi ke-45 dari sebelumnya ke-58. Kedua; faktor pendorong efisiensi meliputi 6 pilar, yaitu pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi dan skala pasar. Faktor ini naik rangking dari ke-58 tahun 2012-2013 menjadi ke-52 tahun 2013-2014.

Ketiga; faktor inovasi yang meliputi 2 pilar yakni sopistikasi bisinis dan inovasi. Faktor ini juga mengalami kenaikan dari posisi ke-40 menjadi ke-33. Kenaikan peringkat daya saing karena ada perbaikan dalam unsur-unsur pilar pada tiga faktor tersebut. Di antara 12 pilar tersebut, yang tergolong bagus untuk Indonesia adalah pilar skala pasar dan lingkungan makroekonomi.

Namun sumbangan paling menonjol terhadap kenaikan tersebut justru dari pilar infrastruktur, yang naik dari posisi ke-78 menjadi ke-61. Tampaknya upaya pemerintah melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indone­sia (MP3EI) untuk memacu pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan infrastruktur sudah sedikit membuahkan hasil.

Di samping menumbuhkan optimisme, laporan WEF juga memberi ”catatan hitam” untuk Indonesia, khususnya terkait faktor fundamental pilar kelembagaan. Catatan ini terungkap dari problem utama yang dihadapi dunia bisnis. Lima persoalan utama yang dihadapi pelaku bisnis adalah korupsi (19,3%), birokrasi pemerintahan yang tak efisien (15%), kurangnya infrastruktur (9,1%), akses mendapatkan modal (6,9%), dan peraturan ketenagakerjaan yang restriktif (6,3%). Empat dari lima masalah utama itu, kecuali infrastruktur, adalah masalah-masalah faktor kelembagaan.

Tidak Efisien

Kualitas kelembagaan yang buruk, khususnya birokrasi yang tidak efisien dan korup menjadi hambatan 
terbesar peningkatan daya saing. Tidak mengherankan jika WEF menempatkan Indonesia pada urutan ke-106  terkait unsur penyuapan dan pungutan liar dalam perhitungan daya saing. Peng­usaha pun menempatkan korupsi sebagai problem utama mereka.

Hal ini selaras dengan laporan Trans­parency International 2013 yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. Indonesia berada pada urutan ke-118  dari 175 negara dengan nilai 32 dari total skor 100. WEF juga memberi catatan buruk pada unsur ketidakpercayaan kepada politikus, penyimpangan penggunaan uang negara, dan pemborosan uang negara, yang ketiganya bermuara pada perilaku birokrasi yang tidak efisien.

Faktor kelembagaan bukan hanya ter­kait dengan institusi, termasuk birokrasi, melainkan juga rule atau peraturan. Di sinilah sering muncul istilah ketidakpastian hukum.

Tentu persoalannya bukan tiadanya aturan hukum melainkan  ketaatan dan kepastian terhadap pelaksanaan peraturan. Ketidaktaatan terhadap aturan itu pula yang kemudian bermuara pada pungli dan penyuapan.

Dalam hal memulai bisnis misalnya, sebagaimana laporan Bank Dunia 2013, dibutuhkan waktu rata-rata 47 hari. Ketika hal itu kita tanyakan kepada para pelaku bisnis, rata-rata mereka mengatakan lebih lama dari itu.

Kebijakan pelayanan izin satu atap, yang dikenal dengan one stop service (OSS), masih banyak dikeluh­kan pengusaha karena berbagai izin masih ditangani SKPD teknis non­perizin­an. Fakta tersebut memperkuat anggapan bahwa betapa faktor ke­lembagaan begitu menempati posisi sangat penting dalam memperbaiki daya saing Indonesia.

Sudah banyak survei daya saing dilakukan, baik oleh lembaga international seperti WEF maupun lembaga lain, termasuk Survei Daya Saing Daerah (SDSD) yang dilakukan oleh BSF secara serial. Tentu survei-survei tersebut berguna, minimal sebagai indikator dasar perumusan kebijakan peningkatan daya saing.


Pertanyaan yang selalu muncul, sejauh mana politik kebijakan publik kita merespons berbagai hasil survei itu? Termasuk bagaimana merealisasikannya dalam bentuk kebijakan dan perbaikan sistem pengelolaan pemerintahan yang baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar