Rabu, 18 September 2013

Media di Panggung Politik

Media di Panggung Politik
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 17 September 2013


Jalan politik menuju Pemilu 2014 semakin ramai dijejali berbagai aktivitas politik yang merisaukan. Di tengah situasi politik yang kian dekat dengan Pemilu 2014, akustik ruang publik (public sphere) nasional kian terasa kurang nyaman, terutama media massa; mulai dari perang opini, adu prestise alias unjuk kebolehan, yang bermuara pada kontestasi citra untuk menunjukkan kepantasan sebagai figur, serta parpol yang layak dipertimbangkan dan dipilih pada Pemilu 2014.

Memang sebenarnya pemilu masih cukup lama, tetapi publisitas dan kampanye politik terselubung serta terang-terangan terasa semakin menyesaki lembaran media cetak dan layar kaca atau media elektronik. Mulai terlihat jelas terjadi hegemoni pemberitaan di media massa oleh sejumlah figur dan partai politik yang memiliki modal kuat.

Televisi merupakan satu media yang menjadi target dominasi pemberitaan politik lantaran jangkauan publisitasnya sangat luas hingga pelosok negeri dan menembus dinding kamar pribadi warga. Karena itu, siaran televisi harus dikontrol agar hegemoni pihak tertentu tidak semakin eksplosif dan menyingkirkan kepentingan publik.

Penguasaan media dalam politik modern sudah menjadi sebuah keniscayaan sebagai perangkat pemenangan pemilu yang tidak bisa dibantah, terutama dalam hal menggiring opini publik dan memengaruhi persepsi politik publik. Keyakinan ini bukan baru terjadi sekarang, tetapi sejak dekade awal abad ke-20.

Dalam sejarahnya, penggunaan media sebagai alat atau senjata politik telah dikembangkan oleh gerakan Fasisme di Jerman dan Italia sebagai media komunikasi dalam pembunuhan karakter lawan politik dan pembangunan citra politik. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, dalam dunia politik, khususnya pemenangan pemilu semakin memosisikan media sebagai ikon yang sangat menentukan.

Pemosisian media seperti itu disebabkan pertarungan politik dalam alam demokrasi kontemporer yang memutlakkan kompetensi memengaruhi sebanyak mungkin manusia dalam waktu yang relatif singkat dan amat kompetitif.
Karena hanya media massa, terutama televisi yang mampu menjangkau khalayak dengan sangat intens, masif, dan privat. Lihat bagaimana kemampuan televisi menembus kamar pribadi pemirsanya tanpa halangan apa pun.

Hegemoni Politik

Tatkala pencitraan menjadi sangat penting dalam membangun persepsi politik publik dalam kerangka politik pemenangan pemilu perebutan kekuasaan, maka tampil di media, terutama televisi menjadi sebuah kemutlakan atau karena media, khususnya televisi yang memiliki publisitasnya sangat luas. Karena itu televisi menjadi panggung perebutan bagi figur dan partai yang ingin membangun citra politik demi pemenangan pemilu.

Membangun citra lewat media massa, terutama televisi, dalam alam demokrasi tentu sah-sah saja. Semua orang memiliki hak politik yang tidak bisa diganggu atau dihalangi oleh siapa pun dalam mengartikulasikan pesan dan sekadar menampangkan wajah supaya dapat dikenal publik secara luas.

Lewat pesan atau sekadar penampangan wajah, diharapkan, bahkan diyakini persepsi politik publik sudah bisa terbangun dan dapat diarahkan. Karena tercipta dan terbangunnya persepsi politik publik merupakan awal kemenangan politik.

Hal ini mengingat di atas panggung politik dan dalam seni komunikasi politik meyakinkan publik, berhasil membangun dan memengaruhi persepsi sudah setengah kemenangan diraih. Tinggal bagaimana membangun keyakinan lainnya, seperti pematangan program dan pemolesan kharisma sebagai faktor penunjang.

Perlu digarisbawahi, semua publisitas politik di media, hanya bisa berlangsung sejauh mampu menjaga dan mengatasi prinsip independensi, imparsial, dan netralitas.

Media massa mesti menyadari bahwa ranah kekuasaan media, terutama media televisi, adalah ranah publik. Sesuai dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran, frekuensi sebagai ranah publik sesungguhnya merupakan milik negara dan harus dikuasai oleh negara. Penggunaannya sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
  
Namun dalam kehidupan nasional, dan birokrasi yang dibaluti korupsi serta berbagai skandal yang memalukan, setangguh apa pun media dan sekuat apa pun undang-undang, sulit untuk mencegah dan tergoda oleh rayuan maut dari para politikus pemilik modal kuat.

Apalagi kepemilikan media sekarang ini sebagian oleh para politikus pemilik parpol yang sedang bertarung di panggung politik perebutan kekuasaan 2014. Politikus yang tidak memiliki media dan bermodal kuat pun diyakini berafiliasi dengan media massa.

Maka tidak bisa dibantah dua realitas sosial pun semakin menegaskan adanya hegemoni penggunaan media untuk urusan politik. Lihat semakin banyaknya informasi, program dan berbagai acara televisi yang tidak luput dari upaya rekayasa politik dari para politikus penguasa media.

Bisa dicermati terdapat begitu banyak rekayasa media atas informasi milik publik yang bertendensi politis beroperasi dalam beragam modus yang penuh rekayasa. Seperti dikatakan Haryatmoko, perekayasaan informasi ditunaikan melalui politik culas yang bertujuan mengurangi kebebasan agar publik pemirsa tidak mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan.

Mencerdaskan

Karena ruang eksplorasi media adalah ranah publik maka kepentingan publik harus dinomorsatukan. Setidaknya, sajian media harus dapat dirasakan dan dalam mindset yang sama antara pemilik modal lembaga media dan pengelola media.

Namun sayang, hak publik untuk mendapatkan berita atau hiburan yang mendidik dan mencerdaskan sudah terlalu jauh direcoki oleh pemilik modal lembaga media lewat iklan-iklan. Lalu, bagaimana jika itu disesaki lagi oleh berbagai informasi yang bertendensi politis dari para politikus yang ingin membangun citra politik untuk pembangunan pemilu?

Itulah pertanyaan yang perlu digarisbawahi oleh media, pengelola pers, dan para pemilik modal lembaga media. Jawabannya, tidak lain bahwa pada titik ini, mutlak mengedepankan sajian pers yang dilandasi semangat penuh kesadaran untuk membangun human dignity (kemuliaan manusia) –meminjam Novel Ali.

Mengapa? Karena media bukanlah produk mesin teknologi tanpa landasan hati nurani. Pengelolaan media yang mengabaikan hati nurani dapat menyingkirkan hak publik untuk memperoleh sajian media yang mencerdaskan kehidupannya, dan lebih tergoda untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal.

Okelah, diakui bahwa tanpa kontribusi produsen informasi seperti para pemilik modal dan para pengelola media, sulit diharapkan akan dapat tersajikan hidangkan informasi di tengah diskursus publik.


Namun karena media massa sesungguhnya adalah media publik, segala acara dan program yang diproduksi media adalah milik publik (berbeda dengan apa yang diproduksi oleh pabrik sepatu yang bukan milik publik, melainkan milik privat). Karena itu, kepentingan publik harus menjadi pertimbangan utama, bukan kepentingan pemilik modal atau para pengelola media.

Karena itu, apa pun alasannya, media harus berani dan sanggup keluar dari genggaman “tangan-tangan” kelompok berkuasa yang punya watak hegemonic–meminjam Antonio Gramsci. Karena siapa pun tidak mau jika media menjadi instrumen distorsi informasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar