Rabu, 18 September 2013

Membenahi Institusi Polri

Membenahi Institusi Polri
Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 18 September 2013


Berdasarkan catatan Metro-TV, selama satu tahun terakhir (hingga 1 Mei 2013), sekitar 89 kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dirusak dan dibakar massa. Malah ada Kapolsek yang dianiaya sampai meninggal dunia saat melaksanakan tugas. Pemicu pengrusakan maupun pembakaran kadang hanya persoalan sepele. Misalnya, salah paham soal penangkapan atau penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kemudian massa meminta agar dilepaskan. Atau, karena massa kecewa terhadap perlakuan polisi atas sengketa antara warga sipil dengan pengusaha perkebunan di berbagai daerah yang menimbulkan korban jiwa.

Ada juga yang kecewa atas perlakuan polisi dalam penegakan hukum. Jika pelaku berasal dari keluarga mapan, perlakuan polisi begitu istimewa. Berbeda dengan pelaku dari rakyat kebanyakan, polisi akan secepatnya memproses dan melimpahkan berkasnya kepada penuntut umum. Kita juga tidak bisa menafikan bentrok antara polisi dengan mahasiswa pengunjuk rasa saat menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

Semuanya bisa jadi pemicu kemarahan rakyat sehingga kantor polisi menjadi sasaran amuk massa. Fenomena kekerasan aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas, bisa jadi merupakan kesalahan hegemonik tentang betapa luasnya kewenangan polisi yang belum sepenuhnya rampung dikoreksi.

Banyaknya perlawanan rakyat terhadap polisi tidak terlepas dari belum berhasilnya Polri membangun kerjasama yang erat (partnership building) dengan masyarakat untuk mendukung tugas dan fungsi kepolisian. Polisi dianggap tidak sensitif, tidak mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat. Padahal, sensitivitas dan etos kerja yang terukur menjadi modal untuk membangkitkan motivasi masyarakat bermitra dengan polisi.

Kepolisian harus dijaga dari ancaman masyarakatnya sendiri. Tetapi polisi harus bijak dan berwibawa dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat atau saat melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat 4 UUD 1945). Sebab akan susah menertibkan masyarakat, jika personil polisi tidak menampilkan perilaku yang bisa diteladani.

Salah satu keluhan Polri selama ini adalah soal kesejahteraan yang masih rendah. Belum memadai untuk menghidupi keluarga sehari-hari dalam sebulan. Lantaran gaji kecil, menimbulkan dampak negatif dalam mengapresiasi tugas dan tanggung jawabnya. Tidak sedikit anggota polisi yang cari kerja sampingan. Meski begitu, tidak boleh dijadikan pembenaran untuk berperilaku menyimpang dari tatanan hukum yang berlaku.

Kerja sampingan yang terkait dengan kasus yang ditangani sudah pasti akan memengaruhi kewibawaan. Misalnya, suap atau pungli di jalan, membekengi tempat-tempat prostitusi dan perjudian ilegal, atau memeras saat menangani kasus. Membenahi kesejahteraan polisi adalah keniscayaan, tetapi harus ada jaminan agar betul-betul meninggalkan perilaku buruk. Jika kesejahteraan sudah baik, tetapi masih saja melanggar, maka sidang profesi kepolisian dan sidang pengadilan menanti tanpa pandang bulu. Termasuk pada perwira tinggi yang diduga memiliki rekening gendut yang diduga berasal dari kerja sampingan.

Yang juga patut diatensi adalah masih minimnya jumlah personil, sehingga belum seimbang dengan jumlah penduduk. Jumlah personil polisi sekitar 395 ribu orang lebih, tetapi melayani 230 juta penduduk dengan rasio perbandingan 1:580 orang. Padahal rasio ideal 1:300 orang warga, sehingga negeri ini butuh minimal 760 ribu polisi.

Mulai dari atas

Jika pembenahan dari perilaku menyimpang tidak serius dilakukan, diyakini citra polri akan terus tergerus. Tetapi harus dimulai dari atas, sebab penyelewengan wewenang di tubuh Polri hampir tidak pernah disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota polisi tidak selalu disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan.

Bagi bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat, secara psikologis akan terbebani dengan kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku bersih. Dugaan adanya pimpinan yang melakukan penyimpangan harus segera dihentikan. Misalnya, meminta setoran bawahan agar lulus pendidikan atau maraih jabatan tertentu, atau memberi peluang bawahan memainkan kasus yang sedang ditangani.

Begitu pula, metode kerja "perpolisian masyarakat" yang belum terlihat hasilnya, kalau tidak dikatakan gagal, harus secepatnya dibenahi. Sebab warga yang dipilih sebagai mitra justru bertindak lebih polisi daripada polisi asli. Akibatnya, masyarakat apatis dan menganggap perpolisian masyarakat tak lebih dari "upaya kosmetis" jangka pendek. Juga perlu membangkitkan lagi prinsip "senyum, sapa, dan salam" dalam memberikan pelayanan, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum.

Polisi harus memberi contoh dengan secara adil dan transparan memproses pelanggaran hukum yang terjadi tanpa mengenal golongan atau kelompok. Kegagalan polisi menegakkan hukum akan menimbulkan risiko, malah merembet pada sendi-sendi kemasyarakatan sehingga dengan mudah terjadi tindak kekerasan antara berbagai elemen dalam masyarakat.

Boleh jadi penilaian ini keliru akibat ekspektasi yang begitu besar terhadap Polri. Kritik membangun untuk membenahi Polri semoga tidak menimbulkan amarah apalagi dendam, karena sungguh mewakili isi hati rakyat. Apalagi reformasi birokrasi Polri belum mencapai sasaran, belum membumi di akar rumput. Jangan sampai rakyat merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi, sehingga saksi sekalipun tidak bersedia.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar