Rabu, 18 September 2013

Kebangkitan NOC, Pertamina, dan Indonesia

Kebangkitan NOC, Pertamina, dan Indonesia
Dofa Purnomo  ;   Pemerhati Industri Migas
KORAN SINDO, 18 September 2013


Leslie E Grayson dari University of Virginia dalam bukunya National Oil Companies (1981) sejak awal telah memberi indikasi akan pentingnya peranan national oil company (NOC) dalam percaturan bisnis migas dunia. 

Jika pada 1970 sekitar 70% perdagangan minyak dunia dikuasai perusahaan migas internasional (seperti Exxon, BP, dan lain-lain), satu dekade kemudian dominasinya turun menjadi sekitar 50% saja karena NOC mulai mengambil peran. Dalam bahasa sederhana, NOC adalah BUMN di sektor migas yang dimiliki suatu negara. 

Hasil penelitian Ian Bremmer dan Juan Pujadas pada artikel berjudul State Capitalism Makes A Comeback yang dimuat di Harvard Business Review (2009) memperkuat peran NOC, di mana sembilan dari 15 perusahaan migas terbesar di dunia saat itu (berdasarkan cadangan, produksi, kapasitas kilang, dan volume penjualan) adalah NOC. 

Berikut adalah sembilan perusahaan tersebut yaitu Saudi Aramco/Arab Saudi (peringkat 1), NIOC/Iran (2), PDV/ Venezuela (5), CNPC/China (7), Pemex/ Meksiko(11), Gazprom/ Rusia (12), Sonatrach/Aljazair (13), KPC/Kuwait (14), serta Petrobras/Brasil (15). Pemerintah di sejumlah negara telah melakukan langkah strategis untuk memperkuat NOC-nya. Rusia membatasi kepemilikan asing dalam bisnis migas di Rusia. 

Di China, akibat permintaan domestik yang meningkat tajam, Pemerintah China mendorong BUMN migasnya untuk berburu minyak ke luar negeri. Adapun di Arab Saudi, perusahaan asing dibatasi hanya pada eksplorasi gas di daerah terpencil. Di Ekuador dilakukan kajian ulang terhadap kontrak dengan pihak asing untuk meningkatkan saham pemerintah. Di Norwegia yang merupakan negara maju dan penganut pasar bebas, NOCnya (Statoil) bahkan selalu mendapat kesempatan pertama untuk melakukan eksplorasi di negerinya. 

Berbagai hal dengan maksud serupa juga dilakukan oleh pemerintah di negara-negara lain untuk memperkuat NOC-nya, termasuk Malaysia (Petronas), Brasil (Petrobras), dan lainlain. Laporan yang disampaikan The Economist edisi 3–9 Agustus 2013 semakin menekankan peran penting NOC dalam kancah bisnis migas dunia bahwa enam dari 10 perusahaan migas terbesar di dunia saat ini (berdasarkan cadangan, produksi, dan market value) adalah NOC. 

Menghadapi perkembangan yang terjadi, sejumlah perusahaan migas internasional telah melakukan merger dan akuisisi dalam skala besar selama kurun waktu 1998–2001 yaitu 1) BP mengakuisisi Amoco pada September 1998 sebesar USD48 miliar; 2) megamerger antara Exxon dan Mobil Oil pada Desember 1998 menghasilkan perusahaan raksasa bernama ExxonMobil senilai USD77 miliar; 3) merger antara Chevron dan Texaco pada Oktober 2000 menghasilkan perusahaan hasil merger senilai USD35 miliar; 4) Merger Conoco dengan Phillips Petroleum pada November 2001 menghasilkan perusahaan dengan nama ConocoPhillips senilai USD15 miliar.

Langkah merger dan akuisisi sejumlah perusahaan migas internasional diikuti NOC dengan jalan yang berbeda yaitu melakukan perubahan terhadap desain organisasi yang semula birokratis menjadi profesional (Rhenald Kasali, 2008). NOC pun giat berinovasi. Jika pada 2011, investasi perusahaan migas internasional dalam R&D sebesar USD4.4 miliar, investasi yang dilakukan 5 NOC terbesar di dunia untuk R&D mencapai USD5.3 miliar (The Economist). 

Sejumlah NOC besar mendapatkan akses modal dari pemerintah negara mereka dengan term yang jauh lebih baik dibandingkan perusahaan migas internasional yang mendapatkan modalnya dari capital market. Peningkatan kinerja NOC yang diperkuat dengan dukungan pemerintahnya memberikan hasil signifikan. Jika pada 1950- an seven sisters (sebutan untuk tujuh perusahaan migas internasional terbesar di dunia pada saat itu) menguasai sekitar 85% cadangan migas global, saat ini lebih dari 90% cadangan migas global dikuasai NOC. 

Reserve replacement ratio sejumlah perusahaan migas internasional pun mengalami kemerosotan, contohnya Shell 44%, BP 85%, dan Total 93% (The Economist). Reserve replacement ratio adalah perbandingan jumlah minyak yang ditemukan dibandingkan terhadap produksinya. Di tengah sulitnya mendapatkan ladang minyak baru dan kompetisi yang semakin ketat, sejumlah perusahaan migas internasional melakukan tindakan yang tidak terpuji. 

Contohnya, apa yang dilakukan Mobil Oil pada 2003 yang diduga terlibat dalam penyuapan senilai USD78 juta kepada pejabat tinggi di Kazakhstan untuk mendapatkan konsesi migas di negeri bekas pecahan Uni Soviet itu (Chicago Tribune, Mei 2003). Hal lain yang baru saja terjadi adalah Total. Mengutip rilis yang dikeluarkan Institute Resources Studies (IRESS), Total telah divonis bersalah dengan denda USD398,2 juta pada 28 Mei 2013 di Amerika Serikat karena terbukti melakukan penyuapan di Iran guna memperoleh konsesi penambangan migas. 

Vonis atas perbuatan kriminal tersebut berpangkal dari penyuapan sebesar USD60 juta oleh Total kepada oknum-oknum pejabat di Iran sejak 1995 hingga 2004 untuk memperoleh hak pengembangan sejumlah lapangan migas. Total berada di bawah penyelidikan otoritas pengadilan Amerika Serikat sejak 2003 dan Prancis sejak 2006. Department of Justice Amerika Serikat mengadili kasus ini dalam rangka menjalankan undang-undang FCPA yang salah satu fungsinya menghentikan penyuapan di luar negeri oleh perusahaan-perusahaan yang keberadaannya signifikan di Amerika Serikat. 

Kejahatan tersebut mungkin saja dipraktikkan di negara lain untuk memperoleh konsesi lapangan migas. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengawal agar hal tersebut jangan sampai terjadi di Indonesia. Hal lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana Pemerintah Indonesia memberikan dukungan kepada BUMN migasnya. 

Tidak seperti NOC lainnya yang ada di belahan dunia ini, Pertamina sebagai NOC di negeri sendiri justru sering dipinggirkan dan tidak diberikan prioritas. Padahal kontribusi Pertamina sebagai NOC kepada negara sangat besar. Laba yang diperoleh Pertamina bisa jauh lebih besar dari sekarang bila Pertamina mendapatkan perlakuan yang fair. Terlebih bila mengingat laba yang diperoleh Pertamina sebenarnya masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan laba perusahaanperusahaan migas lainnya di dunia. 

Karena itu, ruang gerak Pertamina harus dibuka lebih lebar lagi agar mampu memberi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi bangsa ini. Alangkah dahsyatnya bila kita memiliki NOC yang kuat, profesional, dan mendapat dukungan penuh dari seluruh stakeholders, terutama pemerintah selaku pengambil kebijakan. Majulah Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar