|
Jokowi adalah
meteor di alam raya politik republik ini. Elektabilitasnya melesat jauh di atas
pesaing-pesaingnya. Alhasil, percakapan politik pun hanya mengerucut pada dua
pilihan: Jokowi atau kompetisi.
Artinya, jika
Jokowi mencalonkan diri, maka tidak ada kompetisi sama sekali. Kompetisi baru
sengit jika Jokowi tetap setia mengurus Jakarta. Ini wajar saja. Namun, politik
terlalu sederhana jika pilihannya hanya Jokowi atau kompetisi. Politik yang
sederhana tidak menarik. Politik baru menarik jika menjadi arena perebutan
kekuasaan oleh calon-calon pemimpin yang sama kuat.
Persoalannya,
partai-partai saat ini tidak mampu melahirkan kader terbaik. Di pihak lain,
kelompok-kelompok nonpartai mengidap alergi politik yang akut. Tak heran,
Jokowi ibarat setetes air di bejana kosong politik republik ini.
Partai tokoh
Sesudah Orde
Baru, berbagai kelompok politik pun berhamburan keluar dari persembunyiannya.
Sebagian menetap di masyarakat sipil. Sebagian lain memasuki masyarakat
politik. Mereka yang memasuki politik pun menjajal medan baru yang menyimpan
sejuta misteri. Salah satu misteri adalah ”apa syarat mungkin sebuah organisasi
politik?” Sebagian menjawab: ideologi. Sebagian lain tidak percaya ideologi.
Mereka yang antipati terhadap ideologi lebih memilih tokoh sebagai syarat
mungkin organisasi. Tokoh melahirkan partai dan bukan sebaliknya.
Pikiran semacam
ini menemukan materialisasinya pada Partai Demokrat. Kita semua tahu bahwa SBY
yang melahirkan Partai Demokrat, bukan sebaliknya. Ibarat anak balita,
tumbuh-kembang Partai Demokrat seayun dengan tumbuh-kembang SBY. Logikanya,
partai dibangun untuk meloloskan orang, bukan ide. Hal yang sama akhirnya
ditiru Gerindra dan Hanura. Prabowo melahirkan Gerindra dan Wiranto melahirkan
Hanura. Akhirnya nasib partai pun seperti rokok. Kita ingat ”Prabowo” ketika
mendengar ”Gerindra”.
Partai-partai
gurem pun tidak mau ketinggalan. Sutiyoso melahirkan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia. Sri Mulyani melahirkan Partai SRI. Semuanya berpikiran
sama: membuat partai untuk meloloskan orang. Soal ide bisa diurus belakangan.
Akibatnya, jagat politik Republik hanya diramaikan segelintir orang.
Pertarungan politik hanya terjadi di antara ketua dan tokoh partai. Pertarungan
antara Gerindra dan Hanura sejatinya adalah pertarungan antara Prabowo dan
Wiranto. Bukan pertarungan antarorganisasi. Hidup-mati partai pun terpulang pada
elektabilitas calon presidennya.
Partai pun
bergerak tanpa mesin. Penggerak utama partai hanyalah ketokohan calon
presidennya. Tak heran Partai Demokrat membuat ”konvensi anomali” yang
mengundang tokoh-tokoh nonkader. Partai Demokrat seperti hendak mencari SBY
Jilid Dua yang bisa mendongkrak elektabilitas partai. Setelah sempoyongan
dihajar korupsi, Demokrat berharap terjadinya ”kelahiran kedua” pascakonvensi.
Metode ini menunjukkan betapa partai defisit kader akibat terlalu berporos pada
tokoh. Partai-partai yang dilahirkan oleh dan untuk tokoh harus berhati-hati
karena juga akan mengalami hal yang sama. Saat partai kehilangan tokoh, maka
dia akan sibuk memunguti pemimpin di jalanan.
Saat ini partai
yang berjubel kader hanya PDI Perjuangan. Jokowi bisa dibilang hanya salah satu
kader terbaik PDI-P. Kita sebut saja nama-nama seperti Rustriningsih, Ganjar
Pranowo, Budiman Sudjatmiko, Aria Bima, dan Eva Sundari. Mereka adalah sederet
kader yang masa depan politiknya masih panjang dan cerah. Memang perjuangan
mereka di dalam partai tidak mudah. Namun, hanya pertarungan politik
internallah yang dapat melancipkan kemampuan politik seseorang. Pisau tidak
diasah dengan kertas. Pisau hanya bisa diasah dengan batu.
Tanpa Jokowi
Megawati memang
masih menjadi tokoh sentral di PDI-P. Namun, berbeda dengan Demokrat, PDI-P
tidak perlu mencari-cari calon presiden dari luar. Stok capres PDI-P cukup
banyak. Kepala-kepala daerah PDI-P yang kapabel (selain Jokowi) tidak sedikit.
Ini menunjukkan betapa di PDI-P, partailah yang melahirkan orang, bukan
sebaliknya. Partai dibangun bukan untuk merebut jabatan presiden belaka,
melainkan memastikan pemerintahan dijalankan sesuai dengan patokan
ideologisnya.
Demokrasi
membutuhkan partai-partai yang berjubel kader. Jika tidak, demokrasi hanya
diisi pemimpin-pemimpin politik karbitan. Partai, bagi saya, adalah sekolah
politik sesungguhnya. Memang, pedagang dan akademisi juga sekolah. Namun,
sekolah pedagang dan akademisi tidak menajamkan kemampuan politik seseorang. Di
dalam dunia bisnis dan universitas juga terdapat kompetisi yang sengit. Namun,
kompetisi bukan pertarungan politik. Pertarungan politik adalah tegangan antara
dua kekuatan ideologis yang tidak mengenal win-win solution. Partai pun
tak lain adalah koloseum tempat berlatih para petarung politik.
Partai juga
merupakan sekolah tempat orang ditempa kapasitas pengelolaan teritorialnya.
Jokowi adalah contoh yang menarik. Dia tidak muncul tiba-tiba di jajaran elite
nasional. Dia ditempa dulu sebagai eksekutif di Solo. Setelah itu baru dia naik
ke provinsi sebesar Jakarta. Partai perlu secara sengaja menciptakan rekam
jejak bagi kadernya. Semuanya harus direncanakan secara matang. Tidak bisa
seorang akademisi mendadak jadi calon presiden. Tanpa kemampuan politik dan
rekam jejak teritorial yang memadai, jangan harap seseorang dapat menjadi
presiden yang mumpuni.
Meroketnya
Jokowi tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kejenuhan pada model kepemimpinan
yang elitis memang berpengaruh. Namun, Jokowi tetap merupakan sebuah produk
sebuah organisasi politik yang matang. Jokowi bergantung pada PDI-P, tetapi
hidup-mati PDI-P tidak bergantung pada Jokowi. Partai tidak diukur dari
elektabilitas calon presidennya. Partai diukur dari jumlah kader terbaik yang
dihasilkannya. Konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat beberapa waktu yang
lalu, misalnya, adalah pertarungan antara dua kader terbaik partai: Hillary
Clinton dan Barack Obama.
Jadi, sekali
lagi, politik jangan terjebak pada pilihan-pilihan yang sederhana. Jokowi jelas
terlalu kuat bagi pesaing-pesaingnya. Politik baru menarik jika pertarungan
terjadi di antara kader-kader terbaik dengan selisih elektabilitas yang tipis.
Saya bermimpi setiap partai kelak membuat konvensi untuk mendapatkan kader
terbaik dari kader-kader terbaiknya. Kader terbaik itulah yang akan bertarung
melawan kader terbaik partai lain. Saya merindukan satu saat nanti diskusi
politik di republik ini tidak melulu bicara soal tokoh sebab saat itu kita
sudah melupakan Jokowi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar