Senin, 09 September 2013

Pemerintah Adil dan Memenuhi Janji

Pemerintah Adil dan Memenuhi Janji
M Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 09 September 2013


Gambaran orang zaman dahulu mengenai pemimpin kelihatannya tak begitu berbeda dengan apa yang kita dambakan sekarang. 

Di dalam sastra pedalangan, pemimpin— di sana disebut raja—yang seutama-utamanya raja hendaknya bermurah hati dan senantiasa memenuhi janji. Dalam masa sesudah perang tahapan pertama, disebut perang gagal, yang menggambarkan tahap kehidupan manusia ketika memasuki masa remaja akhir, mendekati masa dewasa, dipentaskan suatu kerajaan, dan Ki Dalang menceritakan, dengan suara tembang:

Dene utamaning nata. Berbudi bawa leksana. Liring berbudi mangka. Lila legawaning ndriya. Anggeganjar saben dina. Liring kang bawa leksana. Anetepi pangandika” (Adapun mengenai raja utama—yaitu yang bisa disebut seutama-utamanya raja—tidak lain ialah raja yang selalu bermurah hati, setiap hari memberi tanda kasih, berderma kepada rakyatnya, dan bahwa baginda itu selalu memenuhi janji—apa saja, kepada siapa saja—yang sudah diucapkannya). 

Dalam setting lain, sastra pedalangan, suatu tradisi lisan yang kita kenal luas di masyarakat kita, menggambarkan suatu ”aspirasi kultural”, yaitu gambaran mengenai hidup yang dicita- citakan, ialah hidup di bawah penguasa—raja—adil para amarta, yang mengeluarkan dari gudang kerajaan, kekayaan yang dibagi kepada rakyat demi rasa cinta dan kasih sayangnya baginda kepada mereka. Baginda juga ”amemulang wong balilu”, mengajari orang-orang yang belum berpengetahuan, dan mengampuni kesalahan rakyat, dengan sikap murah dan adil, tanpa pernah melupakan secara teliti memeriksa persoalan-persoalan mereka yang dianggap salah. 

Sastra itu ya sastra. Dia hasil sebuah imajinasi, dari seorang pujangga agung yang mendambakan tata kehidupan yang adil. Seperti dambaan kita. Hasil imajinasi sang pujangga bukanlah pemikiran filsafat yang turun sendiri dari langit, yang tak ada basis kebenarannya di bumi. Apa yang dibayangkan dalam karya itu juga perjuangan panjang suatu peradaban yang ”merayap-rayap” melewati abad demi abad, meninggal masa lalu dan menyongsong apa yang lebih baik, yang dipancarkan abad baru. 

Dengan kata lain, jeritan rakyat, yang mendambakan rasa adil, dari pemerintahan raja yang adil, terakumulasi menjadi pengalaman bersama, dan aspirasi bersama, yang semuanya ”merayap” di sepanjang abadabad tadi tanpa kata-kata. Yang tertangkap hanyalah kepedihan demi kepedihan, yang begitu getir dan membuat kecil hati meneruskan kehidupan.

 Tapi, mungkin juga optimisme demi optimisme kegetiran yang mencambuk, yang membuat mereka sadar, bahwa bila hidup diteruskan, siapa tahu abad gelap yang lewat akan segera diganti abad pencerahan, yang membawa rasa gembira, karena hidup menampilkan tata keadilan yang kita dambakan? Siapa tahu pada akhirnya datang pemimpin yang peduli terhadap tanggung jawab. Siapa tahu Tuhan mulai kasihan melihat kehidupan begitu gelap, dan merana. 

Campur aduk antara suara ”patah hati” dalam hidup, dan optimisme yang gagah itu yang kemudian diolah sang pujangga, menjadi cerita-cerita rekaan mengenai suatu kerajaan yangadil, rajanya raja utama, dan tata pemerintahan diabdikan seutuhnya demi mencapai wujud keadilan yang didambakan. 

Sang pujangga menggambarkan ”aspirasi kultural” dalam kehidupan rakyat di zaman itu, yang boleh saja tak pernah keluar dari kesadaran rakyat, dan tak terungkap dalam sepatah kata pun, tapi semua tak lain dari cermin jeritan hati yang menantikan, atau mencita-citakan tata pemerintahan yang adil, dengan sosok raja yang memerintah, dengan kemurahan dan keadilannya. 

Dengan begitu, suatu karya sastra seperti itu bukan hanya memiliki fungsi ”menghibur”, atau memberi ”kabar gembira”, melainkan lebih jauh lagi. Dia menjadi khasanah tradisi lisan yang dikaji di dunia ilmu pengetahuan, sebagai disiplin ilmu tersendiri, yang isinya pemikiran politik dan tata pemerintahan yang begitu hebat, kompleks, dan mendalam, serta membuat kita belajar bahwa apa yang kita pikirkan sekarang, berabad-abad yang lalu juga sudah menjadi pergulatan pemikiran sang pujangga. 

Gambaran mengenai raja adil seperti itu ditampilkan dalam sosok seorang Puntadewa, raja Amarta: manusia berdarah putih, suci sifatnya, lembut hati dan ucapannya, lembut dan adil pula tindakan-tindakannya dalam memerintah negara dan rakyatnya. Terhadap musuh pun Puntadewa tak memperlihatkan rasa dengki dan kemarahan. Baginya, musuh pun ciptaan Tuhan juga. Raja ini memang gambaran ekstrem tentang manusia. 

Dia digambarkan ”lega donya lia ing sirna” apa yang diminta orang, yang dimiliknya, bahkan hidupnya, dia kasih. Kita tak mampu menjadi manusia seperti ini. Sang pujangga tak bermaksud menjadikan Puntadewa sebagai model untuk ditiru karena niscaya tak ada yang mampu menirunya. Tapi, kita diberi tahu, dalam hidup yang ruwet ini, yang penuh maling, bandit, pencuri, ada juga yang begitu mulia. Mungkin hanya itu. 

Dalam kegigihannya membela watak, sifat, dan sikap jujur digambarkan bahwa dalam perang besar yang disebut Bharatayudha itu, dia dibujuk Kresna untuk berbohong kecil-kecilan. Tapi, dia tidak mau. ”Yang kecil-kecilan itu juga tetap bohong namanya,” jawabnya. ”Tapi, ini bohong yang baik,” bujuk Kresna. ”Bohong tetap buruk, tidak ada yang baik.” ”Ini demi kemenangan Pandawa dalam perang besar ini.” ”Kalah dalam perang tapi kita kalah karena membela kejujuran dan watak adil tidak menjadi masalah.” 

”Kalau kau bohong sedikit, Pandawa menang.” ”Lebih baik kalah, tapi tetap jujur dan adil.” ”Menang itu tujuan kita.” ”Menang dengan berbohong bukan tujuan.” Puntadewa tak perlu menjadi model. Tapi, pemimpin yang adil merupakan kewajiban. Kalau tak bisa adil, tak usah memimpin. Menang pemilu dengan kecurangan, apakah itu kemenangan yang membawa rasa tenteram? Apakah hidup sang pemenang tak dikejar-kejar rasa salah dan dosa-dosa? Kita tak mungkin bisa menjadi Puntadewa. 

Tapi, karena kita sudah menjadi raja di Jakarta atau di mana saja, mengapa tak bisa tidak berbohong. Mengapa pemimpin tidak adil, tidak memenuhi janji dan berbohong terus menerus selama memimpin? Suatu hari semua pemimpin akan turun dengan baik maupun dengan kekejaman. Suatu hari pemimpin akan tidak lagi memimpin. Apa salahnya bersikap adil, jujur, dan memenuhi janji? Apa beratnya tidak bohong? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar