|
Terungkapnya modus operandi korupsi
di beberapa kementerian dan institusi (milik) negara menjadi pertanda bahwa
sindikasi koruptor telah mereproduksi serta mengorganisasikan relasi
antarstruktur dalam hierarki lembaga- lembaga yang merepresentasikan kuasa
negara.
Sebutlah
korupsi di Kemenpora (Hambalang), Kementerian ESDM (kasus gratifikasi kepala
SKK Migas nonaktif), DPR, ins- titusi yudikatif, dan BUMN (gratifikasi di
lingkungan PT PLN). Rupanya jika kuasa politik didewakan, maka kekuasaan
menjadi absolut dan jadi imun terhadap tuntutan legitimasi etis.
Para elite yang
terjerat berbagai modus korupsi di lingkungan kuasa eksekutif, legislatif, dan
yudikatif itu tak mampu lagi membedakan tuntutan etis sebagai pemegang amanah
dengan tekanan syahwat kuasa untuk memprivatisasi berbagai milik negara maupun
milik publik.
Mengenai
fenomena itu, Michael Foucault dalam Madness
and Civilization menjelaskan bahwa latar psikopolitik perilaku itu
ialah penyerahan buta pada hasrat-hasrat diri yang menye- babkan ketakmampuan
mengontrol menjinakkan hawa nafsu.
Berbagai upaya
mereformasi struktur birokrasi maupun merestrukturisasi organisasi publik hanya
menyentuh aspek struktur semata-mata dan gagal menginternalkannya menjadi
rujukan etis perilaku fungsional para elite. Dalam pandangan Foucault, hal itu
dikatakan sebagai sebuah kegilaan yang menyebabkan totalitas jiwa sebagian
elite yang berperilaku koruptif terfragmentasi sehingga memisahkan manusia dari
realitas dirinya. Siklus kekuasaan telah menjerat para elite dalam sindikasi
korupsi, menjadikan dirinya bagian dari kartel politik yang bersimbiosis dengan
kartel ekonomi yang melembagakan habitus koruptif.
Kasatmata
Hilangnya 15
nama anggota DPR dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dalam kasus korupsi
Hambalang di lingkungan Kemenpora menjadi wujud kasatmata bahwa negeri ini telah
mendewakan politik yang mereduksi legitimasi etis negara. Dalam audit Hambalang
versi Juli 2013 yang telah diketahui publik, tertulis dengan jelas nama 15
anggota DPR yang berdasarkan hasil audit BPK disebut-sebut telah memuluskan
anggaran Rp 2,5 triliun dalam poyek Hambalang.
Demikian pula
dalam hasil audit BPK versi Juli 2013 juga sempat disinggung soal kekurangan
alokasi anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 20 persen, yang berimplikasi
membahayakan posisi presiden. Namun, dalam hasil audit BPK tertanggal 23
Agustus 2013 tidak ada lagi inisial 15 nama anggota Komisi X DPR RI tersebut.
Dalam
konstitusi pasca-amandemen, kedudukan BPK sebagai lembaga tinggi negara sejajar
dengan kedudukan DPR dan Presiden. Tap MPR RI No X/MPR/2001 juga memperkuat konstelasi
ketatanegaraan yang menghendaki independensi dan kemandirian BPK dalam
memeriksa aliran keuangan negara ke seluruh lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD,
dan pihak-pihak lain yang menggunakan uang negara. Konsekuensinya, sebagaimana
diatur dalam UU No 15/2006 tentang BPK, lembaga tinggi negara auditif tersebut
diberi otoritas penuh memeriksa aliran keuangan negara di semua lembaga tinggi
negara.
Berkembangnya
polemik seputar dualisme laporan hasil audit BPK tersebut menjadi ujian serius
bagi independensi dan obyektivitas BPK sebagai lembaga auditif. Kegagalan BPK
dalam mempertahankan independensi dan kemandiriannya dalam peristiwa hasil
audit Hambalang itu telah menghilangkan kontrol negara atas kian menguatnya
struktur kartel politik yang kian bebas dalam mengintervensi langkah
pemberantasan korupsi.
Kegilaan
permainan politik menjelang Pemilu 2014 telah mengabsahkan dan merekonstruksi
sebuah republik kartel, tempat kebenaran bisa ditransaksikan dan keadilan
dijungkirbalikkan atas nama citra politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar