Senin, 09 September 2013

Republik Kartel

Republik Kartel
W Riawan Tjandra ;   Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS, 09 September 2013


Terungkapnya modus operandi korupsi di beberapa kementerian dan institusi (milik) negara menjadi pertanda bahwa sindikasi koruptor telah mereproduksi serta mengorganisasikan relasi antarstruktur dalam hierarki lembaga- lembaga yang merepresentasikan kuasa negara.
Sebutlah korupsi di Kemenpora (Hambalang), Kementerian ESDM (kasus gratifikasi kepala SKK Migas nonaktif), DPR, ins- titusi yudikatif, dan BUMN (gratifikasi di lingkungan PT PLN). Rupanya jika kuasa politik didewakan, maka kekuasaan menjadi absolut dan jadi imun terhadap tuntutan legitimasi etis.
Para elite yang terjerat berbagai modus korupsi di lingkungan kuasa eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu tak mampu lagi membedakan tuntutan etis sebagai pemegang amanah dengan tekanan syahwat kuasa untuk memprivatisasi berbagai milik negara maupun milik publik.
Mengenai fenomena itu, Michael Foucault dalam Madness and Civilization  menjelaskan bahwa latar psikopolitik perilaku itu ialah penyerahan buta pada hasrat-hasrat diri yang menye- babkan ketakmampuan mengontrol menjinakkan hawa nafsu.
Berbagai upaya mereformasi struktur birokrasi maupun merestrukturisasi organisasi publik hanya menyentuh aspek struktur semata-mata dan gagal menginternalkannya menjadi rujukan etis perilaku fungsional para elite. Dalam pandangan Foucault, hal itu dikatakan sebagai sebuah kegilaan yang menyebabkan totalitas jiwa sebagian elite yang berperilaku koruptif terfragmentasi sehingga memisahkan manusia dari realitas dirinya. Siklus kekuasaan telah menjerat para elite dalam sindikasi korupsi, menjadikan dirinya bagian dari kartel politik yang bersimbiosis dengan kartel ekonomi yang melembagakan habitus koruptif.
Kasatmata
Hilangnya 15 nama anggota DPR dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dalam kasus korupsi Hambalang di lingkungan Kemenpora menjadi wujud kasatmata bahwa negeri ini telah mendewakan politik yang mereduksi legitimasi etis negara. Dalam audit Hambalang versi Juli 2013 yang telah diketahui publik, tertulis dengan jelas nama 15 anggota DPR yang berdasarkan hasil audit BPK disebut-sebut telah memuluskan anggaran Rp 2,5 triliun dalam poyek Hambalang.
Demikian pula dalam hasil audit BPK versi Juli 2013 juga sempat disinggung soal kekurangan alokasi anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 20 persen, yang berimplikasi membahayakan posisi presiden. Namun, dalam hasil audit BPK tertanggal 23 Agustus 2013 tidak ada lagi inisial 15 nama anggota Komisi X DPR RI tersebut.
Dalam konstitusi pasca-amandemen, kedudukan BPK sebagai lembaga tinggi negara sejajar dengan kedudukan DPR dan Presiden. Tap MPR RI No X/MPR/2001 juga memperkuat konstelasi ketatanegaraan yang menghendaki independensi dan kemandirian BPK dalam memeriksa aliran keuangan negara ke seluruh lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD, dan pihak-pihak lain yang menggunakan uang negara. Konsekuensinya, sebagaimana diatur dalam UU No 15/2006 tentang BPK, lembaga tinggi negara auditif tersebut diberi otoritas penuh memeriksa aliran keuangan negara di semua lembaga tinggi negara.
Berkembangnya polemik seputar dualisme laporan hasil audit BPK tersebut menjadi ujian serius bagi independensi dan obyektivitas BPK sebagai lembaga auditif. Kegagalan BPK dalam mempertahankan independensi dan kemandiriannya dalam peristiwa hasil audit Hambalang itu telah menghilangkan kontrol negara atas kian menguatnya struktur kartel politik yang kian bebas dalam mengintervensi langkah pemberantasan korupsi.

Kegilaan permainan politik menjelang Pemilu 2014 telah mengabsahkan dan merekonstruksi sebuah republik kartel, tempat kebenaran bisa ditransaksikan dan keadilan dijungkirbalikkan atas nama citra politik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar