Senin, 23 September 2013

“Getting Interventions Right”

“Getting Interventions Right”
A Tony Prasetiantono ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
(PSEKP) UGM
KOMPAS, 23 September 2013


Dalam sepekan terakhir, ada dua peristiwa eksternal yang memberi sedikit angin segar terhadap rupiah. Pertama, Lawrence (Larry) Summers mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Gubernur The Fed (bank sentral AS), menggantikan Ben S Bernanke yang habis masa jabatannya 31 Januari 2014. Kedua, bank sentral AS memutuskan untuk meneruskan kebijakan stimulusnya, berupa kebijakan uang longgar (quantitative easing/QE), melalui pencetakan uang baru untuk membeli surat berharga Pemerintah AS senilai 85 miliar dollar AS per bulan.
Larry sebenarnya sosok yang sangat diharapkan pasar untuk meneruskan kebijakan stimulus moneter. Sayangnya, menurut Joseph Stiglitz, Larry punya dua kesalahan besar. Pertama, saat menjadi Menteri Keuangan (1999-2001), dia meloloskan undang-undang yang membiarkan transaksi derivatif tanpa regulasi yang ketat. Belakangan, hal inilah yang menyebabkan krisis subprime mortgage pada tahun 2008-2009. Kedua, Larry dipersalahkan karena mendorong perekonomian Asia melakukan liberalisasi yang terlalu cepat sehingga memicu krisis finansial tahun 1997 (”Why Janet Yellen, Not Larry Summers, Should Lead the Fed”, The New York Times, 6/9/13).
Tuduhan lain, Larry juga dianggap terlalu dekat dengan pelaku di Wall Street. Saat krisis 2009, kekayaannya minimal 17 juta dollar AS, atau 40 kali lipat dari posisi tahun 1999 (Forbes, 15/9/13). Data ini menimbulkan tanda tanya soal integritasnya sebagai ekonom top yang pernah menjadi penasihat Presiden Barack Obama. Karena itu, kepastian Larry tidak menjadi Gubernur The Fed mendapat respons positif. Bursa Wall Street menggeliat. Bursa Efek Indonesia juga ikut positif.
Sementara itu, keputusan The Fed untuk tetap melanjutkan QE memberi sedikit relaksasi bagi rupiah. Jumlah peredaran dollar AS akan terus naik karena Pemerintah AS memerlukan lanjutan stimulus. Akibatnya, tren penguatan dollar AS dalam beberapa pekan terakhir akan sedikit terhambat. Rupiah pun sempat ke level Rp 11.000-an per dollar AS, sebelum kembali melemah ke Rp 11.300 per dollar AS. Mengapa?
Selain variabel eksternal, volatilitas rupiah juga dipengaruhi variabel internal. Variabel eksternal berupa dinamika perekonomian global. Kini variabel eksternal memang bergerak positif. Namun jangan lupa, kita menghadapi variabel internal yang masih tertekan. Neraca perdagangan Juli 2013 mencatat defisit 2,31 miliar dollar AS, defisit bulanan terbesar sepanjang sejarah kita. Hal ini berkontribusi pada defisit neraca perdagangan 5,65 miliar dollar AS selama tujuh bulan pertama 2013. Kinerja buruk ini menimbulkan tekanan berat terhadap cadangan devisa yang kini 93 miliar dollar AS. Posisi ini merosot dalam dari level terbaik 124,7 miliar dollar AS (Agustus 2011). Dalam dua tahun tergerus 31,7 miliar dollar AS. Data inilah yang mencemaskan para investor dan pelaku ekonomi. Sebagian dari mereka mengekspresikannya dengan memindah aset dari rupiah ke dollar AS.
Masalah lain adalah inflasi yang mencapai 8,79 persen (year on year Agustus 2013). Tingginya inflasi dicoba diredam dengan empat kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7,25 persen. Bagi nasabah besar yang tidak menghendaki suku bunga riil negatif seperti ini, salah satu pilihannya adalah membeli valuta asing.
Utang luar negeri juga faktor penekan yang potensial. Saat krisis 1998, utang luar negeri kita 130 miliar dollar AS, dibandingkan cadangan devisa 21 miliar dollar AS. Kini utang luar negeri kita sekitar 260 miliar dollar AS, dengan cadangan devisa 93 miliar dollar AS. Dari data ini sebenarnya kondisi kita kini masih lebih baik daripada tahun 1998.
Bagaimana kita mengelola ketiga variabel tersebut agar rupiah segera menemukan ekuilibriumnya yang wajar, tidak terlalu murah (undervalued), tetapi juga tidak kemahalan (overvalued)?
Mengubah defisit perdagangan menjadi surplus sudah pasti tidak bisa dalam sekejap. Hingga akhir tahun 2013, bisa ditebak kita masih akan defisit, setidaknya 5 miliar dollar AS hingga 6 miliar dollar AS. Namun, usaha pemerintah membendung impor melalui kenaikan tarif sejumlah produk, misalnya mobil mewah, bisa agak membantu.
Harapan justru terkuak ketika rupiah mulai stabil di level Rp 11.000 hingga Rp 11.300 per dollar AS. Pada level yang lemah ini, mestinya kita bisa memetik keuntungan berupa lebih mahalnya barang impor serta lebih murahnya produk ekspor kita. Memang perlu waktu untuk menuju ekuilibrium neraca perdagangan yang baru. Perkiraan saya, baru tahun depan kita bisa menyeimbangkan neraca perdagangan kembali surplus.
Hal yang mestinya bisa dikendalikan adalah inflasi. Saya yakin puncak inflasi sudah lewat, yakni Juli-Agustus, ketika berbagai peristiwa terjadi secara beririsan: kenaikan harga BBM, liburan sekolah, dan Lebaran. Pengalaman menunjukkan, kenaikan harga BBM biasanya merupakan kejadian one shot inflation, atau inflasi ”sekali pukul”, alias tidak berantai ke depan menyerupai spiral.
Tentu saja pemerintah juga harus melakukan berbagai inisiatif agar inflasi berhenti di titik ini. Pemerintah harus melakukan intervensi agar harga yang terbentuk benar-benar tepat, tidak kemahalan (getting interventions right). Distribusi barang menjadi titik lemah selama Lebaran. Sesudah Lebaran, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak bisa menjamin pasokan barang karena lonjakan permintaan relatif stabil.
Jika inflasi hingga akhir tahun akhirnya bisa dikendalikan di bawah 9 persen, tekanan untuk menaikkan BI Rate akan berkurang. Pada saat itulah kita bisa berharap rupiah menemukan ekuilibrium barunya antara Rp 10.500 dan Rp 11.000 per dollar AS. Dari sinilah kita mulai bisa menata kembali perekonomian Indonesia yang tersendat karena tercabik volatilitas rupiah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar