Minggu, 22 September 2013

KTT APEC 2013 : Revitalisasi Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif

KTT APEC 2013 :
Revitalisasi Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif
Arman Ndupa dan Masdarsada  ;   Alumnus Kajian Strategik Intelijen,
Universitas Indonesia, Berprofesi sebagai Dosen dan Kolumnis
DETIKNEWS, 19 September 2013
  

Pelaksanaan KTT APEC pada 5-7 Oktober 2013 mendatang harus dipandang oleh para pemangku kepentingan (utamanya kementerian-kementerian di bawah kendali Kementerian Koordinator Perekonomian Nasional) sebagai perang diplomasi di ranah ekonomi dan perdagangan. Karena itu, rujukan-rujukan pustaka terkait konsepsi politik luar negeri RI harus dipahami dan dihayati oleh para pemangku kepentingan terkait APEC 2013, sehingga bisa didayagunakan sebagaimana mestinya.

Dasar hukum politik luar negeri RI jelas bertumpu pada Undang-Undang Dasar 1945, karena UUD merupakan pilar utama suatu negara. Alinea I dan IV dalam Pembukaan UUD telah jelas. Misalnya alinea I: "... Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan...". Kemudian alinea IV: "... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ..." Maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI memiliki landasan hukum sangat kuat karena diatur dalam UUD negara.

Sekilas Konsepsi Politik Bebas Aktif Menurut Bung Hatta

Gagasan politik bebas aktif dicetuskan oleh Bung Hatta pada 1948 di tengah polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok Barat dan Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), Barat dikuasai Amerika Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet.

Gagasan Bung Hatta tentang bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau cari amannya saja atau cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke kanan, atau netral tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih ditujukan pada menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan warna politik Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif harus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi hajat sesunguhnya masyarakat Indonesia.

Selain beberapa pengertian yang diurai di atas tadi, terminologi “bebas aktif” memang dapat diterjemahkan sebagai “bebas” yang berarti tak terikat oleh kedua blok dalam Perang Dingin, hal ini dibuktikan dengan prakarsa Indonesia menggalang persatuan negara-negara Asia Afrika (AA) pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955, yang didukung oleh negara-negara Asia Afrika secara gegap gempita, baik oleh negara-negara Asia-Afrika yang sudah merdeka, atau yang masih berjuang memerdekakan bangsanya.

Kenyataannya, Gerakan Konferensi AA berkembang menjadi sebuah kekuatan ketiga di tengah polarisasi antara Amerika dan kubu negara-negara Eropa barat, versus Uni Soviet dan China. Kisah sukses kebangkitan negara-negara Asia-Afrika tersebut, kemudian berkembang lebih meluas dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, pada 1961. Kalau pada Konferensi Asia Afrika lingkupnya adalah sebatas negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika, pada forum KTT Non Blok, lingkupnya meluas menjadi perhimpunan Negara-Negara Berkembang atau Dunia Ketiga.

Sedangkan “aktif “ artinya turut serta dalam perdamaian dunia. Inilah titik awal dan pokok-pokok pikiran Bung Hatta mengumandangkan politik luar negeri Indonesia. Di zamannya, langkah Bung Hatta itu terbilang menggelegar di tengah Perang Dingin antara dua kutub ideologi yakni kapitalis vs komunis.

Tersirat maksud, bahwa pilihan (sikap) politik luar negeri tersebut telah selaras dengan cita-cita dan tujuan negara (kepentingan nasional) dalam pembukaan UUD. Tak boleh dipungkiri, melalui watak politik bebas aktif sejatinya Indonesia menyimpan misi dalam rangka menghapus segala bentuk imperialisme baik berupa penjajahan fisik negara atas negara lain, atau wujud penjajahan lain dalam kemasan baru di muka bumi.

Namun perjalanan politik bebas aktif pasca Bung Karno lengser, pemaknaannya bergeser menjadi tafsir dari rezim berkuasa. Inilah salah satu kelemahan politik luar negeri kita hingga kini. Padahal bebas aktif sebagai “sikap politik negara”, ia adalah skema utama dari negara guna menjalankan aktivitasnya dalam pergaulan dunia.

Akan tetapi pada tataran implementasi tidak memiliki tuntunan secara konstitusional, sehingga seringkali ditafsirkan sesuai hasrat kelompok kepentingan dan rezim saat itu. Pada gilirannya ia bebas dimaknai dalam koridor terminologi. Ya. Sebuah sikap negara tanpa dibarengi tuntunan secara konstitusional akan berpotensi timbul distorsi (bergeser makna), bahkan seringkali justru dianggap sebagai “strategi rezim”, atau “kebijakan elit penguasa” dan lainnya. Dan itu berulang terjadi dalam sistem pemerintahan pasca Bung Karno.

Pada Era Orde Baru misalnya, kendati secara tersurat tidak muncul secara tertulis tetapi implikasinya terlihat bahwa “aktif” dimaknai oleh rezim dengan gencar mendatangkan para investor asing dari berbagai negara, sedang di sisi lain sang rezim “bebas” pula melakukan revisi-revisi sistem dan UU yang justru lebih berpihak kepada asing daripada rakyat (pasal 33 UUD) dan kepentingan nasional RI.

Demikian juga era-era berikutnya. Memasuki Era Reformasi tampak semakin parah. Adanya fakta dan data kepemilikan saham oleh dan penjualan kepada asing atas aset-aset negara dan swasta nasional, serta penguasaan berbagai SDA di Indonesia yang ironisnya justru dilegitimasi oleh sistem dan UU yang ada.
Perlu Makna Baru Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif
Menjelang KTT APEC yang akan digelar tahun 2013 dimana Indonesia akan mendapat giliran menjadi ketua, maka kami sebagai salah satu pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI ingin memberikan kontribusi dan masukan perihal pemaknaan baru politik bebhas aktif ke depan. Hal ini terkait dengan perkembangan politik global yang menjadi topik kajian dan pengamatan kami selama ini.

Telah jelas di muka, bahwa politik bebas aktif merupakan skema utama dan sikap politik negara. Ia bukan strategi rezim atau kebijakan suatu elit penguasa. Dengan demikian politik bebas aktif tak boleh dimaknai sekehendak hati, semaunya sendiri. Mutlak harus ada rujukan dan tuntunannya. 

Memaknai terminologi bebas aktif tidak boleh dipenggal suku katanya, harus diucapkan dalam “satu tarikan nafas”. Artinya terdapat kebebasan dalam aktifitas, namun juga ada keaktifan dalam kebebasan tersebut. Kebebasan bagaimana dan keaktifan seperti apa.

Hal ini dikandung maksud bahwa siapapun orang, kelompok maupun negara manapun tak bisa mempengaruhi tindakan Indonesia dalam berkiprah pada forum internasional. Prinsip, watak bahkan warna tindakan keluar mutlak harus merujuk kepada kepentingan nasional RI yang tersebar di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terkait juga dalam interaksi global. 

Oleh karena itu di setiap kementerian harus merumuskan kembali apa dan bagaimana wujud kepentingan nasional RI bagi sektor yang dibawahinya. Selanjutnya setelah sektor-sektor tersebut berlabel “kepentingan nasional” maka bukan lagi domain kementerian yang bersangkutan saja, namun juga sebagai bahan dan materi yang akan diperjuangkan dalam politik luar negeri di ranah global. 

Praktek politik bebas aktif bukanlah domain Kementerian Luar Negeri namun mutlak harus terintegrasi secara holistik dengan bidang pertahanan, intelijen (keamanan), ekonomi dan perdagangan, ESDM, dan lainnya dan merupakan refleksi atas KEPENTINGAN NASIONAL. Politik bebas aktif bukanlah aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi didukung oleh berbagai instansi yang telah menitipkan “kepentingan nasional” pada sektor unggulannya bermuara kepada TUJUAN NASIONAL.

Kepentingan Nasional dalam Kerangka Kebijakan Luar Negeri

Kepentingan nasional setiap negara niscaya berbeda-beda sesuai kondisi geografi, budaya, demografi, sejarah, sosial ekonomi serta politik dan lainnya. Kepentingan nasional sebuah negara memang akan tergantung wilayah serta karakter masing-masing. Indonesia membagi dalam tiga aras kepentingan nasional yaitu utama, penting dan pendukung (Robert Mangindaan, UUK: Asymmetric Threat Menyerang NKRI, Jurnal CSICI, No 36, 2012).

Kepentingan nasional yang ‘utama’ berkaitan dengan eksistensi NKRI sebagai negara berdaulat. Artinya memiliki wilayah yang jelas, penduduk permanen, tegaknya pemerintah yang legitimasi dan mampu melaksanakan kegiatan diplomasi. Kemudian kepentingan nasional yang ‘penting’ ditujukan kepada upaya membangun dan mensejahterakan bangsa. Sedangkan kepentingan nasional ‘pendukung’ meski di luar aras kedua kepentingan utama dan penting tersebut, namun terkait erat dengan keduanya mengingat hal itu merupakan aspek pendukung.

Bahwa kebijakan luar negeri negara harus merujuk kepada kepentingan nasionalnya. Tidak bisa tidak. Amerika Serikat (AS) misalnya, karena tingkat kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak maka dalam setiap kebijakan luar negerinya senantiasa berorientasi kepada minyak, minyak dan minyak. Maka siapapun Presiden AS, doktrin politiknya ialah the power of oil. Demikian juga China, Uni Eropa, Jepang, Rusia dan lainnya.
Begitu pula dengan Indonesia. Daulat pertanian dan ketahanan pangan sudah saatnya dijadikan landasan kepentingan nasional, dan kita jadikan tema sentral seluruh pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI dalam menyusun skema dan strategi nasional pada KTT APEC 2013 di Bali Oktober mendatang. Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa kebijakan luar negeri bukan aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan akomodasi berbagai kepentingan dari instansi, lembaga dan kementrian terkait. 

Sedang instansi serta kementrian terkait menyusun kepentingan nasional berdasar atas aras hierarkhi yakni utama, penting dan pendukung. Demikian seharusnya desain kepentingan nasional di republik tercinta ini dibidani, terbit dan diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri RI dalam skema politik luar negeri bebas aktif.

KTT APEC 2013: Momentum Kebangkitan Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Kebangkitan politik luar negeri Indonesia diharapkan terjadi pada KTT APEC 2013 di Bali, yaitu ketika Indonesia mengambil alih peran kepemimpinan APEC dari Rusia. September 2012, KTT APEC digelar di Vladivostok, Rusia, dan sudah selayaknya jika para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri, terutama Kementerian Luar Negeri mulai mengidentifikasikan beberapa peluang strategis yang bisa jadi bahan pertimbangan untuk pemberdayaan politik luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia dengan menyerap inspirasi dari Rusia sebagai tuan rumah pada KTT APEC di Vladivostok tahun lalu.

Sekadar ilustrasi, sebenarnya kalau para pemegang otoritas kebijakan luar negeri RI cukup jeli, peluang tersebut sudah terbentang di depan mata pada 24 Februari 2012 lalu, ketika pada pertemuan APEC Business Advisory Council (ABAC) yang berlangsung di Hongkong, Rusia menawarkan sebuah prakarsa untuk menciptakan bantuan dana bagi alih teknologi (APEC Transfer Technology Fund), berdasarkan prinsip jual-beli (Selling-Buying). Gagasan di balik prakarsa Rusia tersebut adalah, dimungkinkan adanya fasilitas terciptanya alih teknologi antar sesama negara anggota APEC. 

Pada saat yang sama akan terjalin kerjasama yang saling menguntungkan antara Rusia dan negara-negara berkembang yang tergabung dalam APEC, untuk memodernisasikan perekonomian mereka masing-masing. Untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Dan semakin mempercepat pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik.

Dalam pada itu, Indonesia sudah seharusnya menyikapi situasi tersebut dengan penuh harapan. Apalagi terhadap usulan skema Rusia tentang APEC Transfer Technology Fund, China mendukung penuh usulan alih teknologi Rusia bagi para anggota negara-negara APEC tersebut. Karena gagasan tersebut akan membuka akses negara-negara berkembang dalam penguasaan teknologi canggih demi kemajuan perekonomian negara-negara tersebut.

Pada tataran ini, politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang sudah menjadi pedoman Indonesia sejak awal kemerdekaan pada 1948, para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Indonesia utamanya Kementerian Luar Negeri, nampaknya harus lebih imajinatif dalam menerapkan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

Bebas bukan berarti semata-mata tidak berpihak pada salah satu blok yang terlibat dalam pertarungan global seperti ketika era perang dingin terjadi antara Amerika Serikat versus Uni Soviet dan China. Namun pada saat yang sama, harus bisa memposisikan sikap Indonesia untuk bebas memilih salah satu negara adidaya apabila memang dipandang dari sisi kepentingan nasional, akan menguntungkan posisi dan peran strategis Indonesia di dunia internasional.

Maka dari itu, dalam soal menyikapi soal KTT APEC 2013 yang mana Indonesia akan bertindak selaku tuan rumah, maupun pada KTT 2012 yang mana merupakan target antara sekaligus momentum pemanasan bagi Indonesia untuk memainkan peran yang lebih strategis dan ofensif di mata dunia internasional.
Maka Kementerian Luar Negeri tampaknya harus menyikapi peran Indonesia pada KTT APEC 2012 maupun 2013, tidak semata-mata sebagai penanganan masalah teknis kerjasama ekonomi-perdagangan melainkan juga harus memandang peran Indonesia di APEC sebagai bagian dari Politik Luar Negeri dan Diplomasi Total. Isu alih teknologi yang sempat diusulkan oleh Rusia pada pertemuan ABAC, 24 February 2012, perlu disikapi oleh Kementerian Luar Negeri dalam perspektif politik luar negeri yang bebas dan aktif. 

Dalam pertarungan global antara Amerika versus Rusia-China dalam beberapa waktu belakangan ini, Indonesia memang tidak boleh memihak salah satu blok tanpa pertimbangan-pertimbangan strategis yang jelas bagi kepentingan nasional Indonesia dan dalam kerangka mendukung kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional.

Maka ketika kita sebagai elemen bangsa sedang menghadapi konstalasi global seperti yang berkembang saat ini, ketika Rusia maupun China semakin memperlihatkan itikad baiknya dalam menawarkan berbagai kerja sama strategis di berbagai bidang, kiranya masuk akal jika para pemangku kepentingan politik luar negeri Indonesia memandang kerja sama Indonesia-Rusia amat berpotensi untuk menaikkan kembali pamor dan peran strategis Indonesia secara geopolitik, baik di kawasan ASEAN maupun Asia-Pasifik, dalam dua tahun ke depan. Hendaknya, hal ini menjadi dasar pertimbangan penyusunan kebijakan strategis Indonesia dalam melancarkan perang di medan diplomasi melalui forum KTT APEC 2013 mendatang.
Rekomendasi

Ada kesepakatan umum bahwa Indonesia belum memiliki blue print atau cetak biru Kebijakan Luar Negeri yang secara imajinatif menjabarkan makna politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif sesuai dengan perkembangan konstalasi global saat ini, dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

Berkaitan dengan hal tersebut, pelaksanaan dan penjabaran kebijakan Luar Negeri RI yang bebas dan aktif, bukan semata-mata domain atau garapan kementerian luar negeri, melainkan haruslah terintegrasi secara holistic dengan kementerian terkait lainnya seperti Politik-Keamanan, Pertahanan, Ekonomi, Perdagangan, Perindustrian, dan Intelijen.

Maka Kementerian Luar Negeri sudah seharusnya mampu berperan memadukan seluruh aspirasi para stakeholders/pemangku kepentingan kebijakan luar negeri, sehingga pelaksanaan kebijakan politik luar negeri RI dapat selaras dengan pembangunan ekonomi nasional maupun kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.

Dengan demikian, keterpaduan seluruh stakeholders kebijakan luar negeri RI mensyaratkan peran aktif Kementerian Luar Negeri sebagai fron garis depan dari pelaksanaan Multy-Track Diplomacy atau DIPLOMASI TOTAL untuk memperjuangkan Kepentingan Nasional Indonesia.

Berdasarkan kerangka gagasan perlunya pelaksanaan Kebijakan Luar Negeri RI Bebas dan Aktif yang lebih imajinatif dan sesuai perkembangan situasi global saat ini dan tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan, maka dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara sahabat baik yang bersifat bilateral (hubungan antar dua negara) maupun yang bersifat multilateral, hendaknya didasarkan pada upaya mensinergikan potensi-potensi nasional dari negara-negara mitra dengan kepentingan nasional Indonesia yang bertumpu pada pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional, maupun kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Terkait dengan hal tersebut, secara khusus kami menggarisbawahi urgensi untuk mempertimbangkan tawaran kerjasama strategis dari Rusia dalam forum KTT APEC 2012 di Vladivostok, Rusia, terkait tawaran bantuan Alih Teknologi, Menyatupadukan Skema Siberian Russian Far East dengan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Dengan dasar pertimbangan, bahwa Rusia melalui skema ini telah menunjukkan kesiapannya untuk menyelaraskan dan mengantisipasi tren global, yaitu pergeseran geopolitik ke Asia Pasifik. Sehingga melalui skema Siberian Russian Far East, Rusia telah berhasil menjadikan kawasan timur jauh Rusia ini menjadi Pintu masuk menuju Asia Pasifik. Sehingga berhasil mengubah Siberia dan kawasan Timur Jauh Rusia dari “Halaman belakang” menjadi “Halaman Muka.”

Hendaknya Indonesia mengambil pelajaran berharga dari cara Rusia mengelola dan mendayagunakan nilai strategis dari geopolitiknya, sehingga mampu mengintegrasikannya dalam agenda-agenda strategis di forum KTT APEC 2012 dengan memanfaatkan posisinya yang menguntungkan sebagai tuan rumah sekaligus Ketua forum KTT APEC 2012.

Dengan merujuk pada skema Siberian Russian Far East, sudah seharusnya Indonesia menyerap inspirasi dari Rusia sebagai Tuan Rumah KTT APEC 2012, sehingga Indoenesia sebagai Ketua APEC 2013 di Bali, dapat menawarkan Gagasan Strategis yang mampu menyelaraskan Kepentingan Nasional Indoenesia seiring dengan perkembangan trend Global maupun dinamika perkembangan geopolitik di berbagai kawasan dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar