Minggu, 22 September 2013

Revolusi Transportasi atau LCGC?

Revolusi Transportasi atau LCGC?
Agus Pambagio  ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
DETIKNEWS, 20 September 2013


Melanjutkan tulisan saya tentang Low Cost Green Car (LCGC) yang dimuat di kolom ini pertengahan Juni 2013, beberapa hari belakangan kehebohan tentang Low Cost Green Car (LCGC) merebak di publik dengan liar, tanpa bisa dikendalikan oleh Pemerintah. Apalagi ketika beberapa menteri bersilang pendapat soal LCGC, sehingga Kabinet Indonesia Bersatu jilid II terlihat dungu seakan tanpa komando. Presiden pun lepas tangan.

Banyak tokoh masyarakat yang menyesalkan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Permenperin tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Gubernur dan Wakil Gubernur menyatakan bahwa Permenperin tersebut menyalahi Instruksi Wakil Presiden tentang 17 Langkah Atasi Kemacetan Jakarta. Di sini terlihat bahwa Menteri Perindustrian telah melangkahi kewenangannya. Presiden dan Wakil Presiden harus memanggil Menteri Perindustrian, meskipun ini bukan yang pertama kali terjadi.

Di sisi lain publik menyalahkan industri kendaraan bermotor yang terus memproduksi dan menjual kendaraannya tanpa memperhitungkan daya dukung atau kemampuan infrastruktur yang ada. Berbagai kemudahan memiliki kendaraan terus dipromosikan tiada henti. Kepolisian pun tanpa pikir panjang juga dengan mudahnya terus menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Alih-alih akan muncul mobil yang irit, ramah lingkungan, dan murah, yang muncul malahan polemik berkepanjangan yang belum terlihat ujungnya. Lalu apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan industri kendaraan bermotor yang sudah menanamkan modalnya untuk pengembangan LCGC ini? Lalu bagaimana menyelesaikan kekusutan akibat kebijakan 'keblinger' ini ? Satu-satunya cara untuk melawan kehadiran LCGC, menurut saya, adalah lakukan REVOLUSI TRANSPORTASI MASSAL. Caranya?

Revolusi Transportasi Massal

Industri kendaraan bermotor memang sejatinya memproduksi kendaraan. Tidak bisa mereka diminta menghentikan atau mengurangi produksi karena bisa berujung pada kasus hukum dan pasti kasusnya akan dimenangkan oleh industri. Pemerintahlah yang berwenang mengatur melalui kebijakan yang membuat industri harus mengerem produksinya secara sukarela, misalnya melalui penetapan kebijakan pembangunan industri angkutan umum yang baik.

Berbagai pakar transportasi kelas dunia yang pernah saya temui dan ajak bercakap-cakap, semuanya menyarankan jika sebuah kota dengan jumlah penduduk di atas 2 juta dan tidak ingin terjadi kemacetan parah dan menyebabkan semakin mahalnya biaya hidup serta biaya pengobatan, harus mempunyai jaringan transportasi massal yang baik.

Artinya untuk memfasilitasi pergerakan manusia di sebuah kota dengan penduduk di atas 2 juta orang, Pemerintah/Pemerintah Daerah harus membangun/menyediakan infrastruktur transportasi umum yang nyaman, aman, terjadwal, terkoneksi dengan baik dan terjangkau oleh daya beli penduduknya. Bukan dengan menambah jaringan jalan atau perbanyak kendaraan pribadi.

Di kota-kota besar, seperti Jakarta, dimana masyarakatnya sangat 'cuek' atau tidak peduli tentu tidak mudah untuk segera membangun sistem transportasi massal modern. Selain mahal, dampak proses pembangunannya dipastikan mendapat perlawanan dari masyarakat. Untuk itu diperlukan Revolusi Transportasi Massal yang dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah-industri kendaraan bermotor dan masyarakat. 

Caranya?

Pertama, Pemerintah Pusat harus mengeluarkan/merevisi kebijakan induk atau payung secara cepat, termasuk kebijakan sistem pembiayaan. Kedua, Pemerintah Daerah harus segera menerbitkan/merevisi Peraturan Daerah dan aturan pelaksanaan lainnya. Tidak didiamkan berkepanjangan seperti yang terjadi pada kasus pembangunan Monorel dan MRT Jakarta.

Salah satu kebijakan yang harus diambil adalah persoalan pembiayaan. Sebagai contoh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemprop DKI Jakarta sangat besar dan cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi secara multi tahun. Jika kurang, Pemerintah Pusat bisa menggunakan sebagian dana APBN yang didapat dari pajak industri kendaraan bermotor. 

Sebagai contoh salah satu industri kendaraan bermotor per tahunnya menyetor pajak ke Pemerintah sekitar Rp 40 triliun. Jika tiap tahun Pemerintah dapat mengambil sebagian dana tersebut untuk pembenahan transportasi massal, katakan Rp 5 triliun saja, pasti akan sangat membantu dalam skala multi tahun. Untuk itu siapkan segera payung hukumnya.

Kedua, Pemerintah secara tegas dan pasti, harus dapat menghapus pungutan liar di sistem transportasi kota yang jumlahnya triliunan per tahunnya. Sehingga pemilik angkutan massal akan punya dana yang cukup untuk perawatan kendaraan dan investasi. Jika masih ada pungli di jalan, oknum yang melakukan harus dihukum berat seperti penjahat narkoba atau langsung dihukum mati supaya ada efek jera.

Ketiga, libatkan organisasi angkutan massal seperti ORGANDA untuk membenahi anggotanya dengan baik. Pastikan para awak angkutan massal mempunyai sertifikat pelayanan prima, pastikan organisasi profesi ini turut bertanggung jawab terkait dengan kerapian dan kedisiplinan pelayanan kepada konsumen.

Keempat, pihak Kepolisian harus memperketat perolehan Surat Izin Mengemudi (SIM). Tidak semua yang ujian SIM harus lulus dan pasti membawa pulang SIM. Sehingga yang lulus ujian SIM harus benar-benar hafal atau paham arti rambu-rambu lalu lintas, berlalu lintas dan paham apa itu arti safety driving.

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus rajin memberikan insentif fiskal bagi pembangunan infrastruktur angkutan massal termasuk pengadaan kendaraan. Misalnya melalui pembebasan pajak barang mewah, pembebasan pajak kendaraan bermotor termasuk suku cadang selama 3 - 5 tahun, fasilitas kredit dengan bunga subsidi atau uang muka dengan subsidi, pembebasan biaya trayek selama 3 - 5 tahun dan subsidi tarif atau bentuk pengelolaan Transfer Oriented Development (TOD), untuk mengurangi besaran tarif yang harus dibebankan pada masyarakat.

Adakah Cara Lain?

Sepertinya tidak ada cara lain karena kondisi lalu lintas di beberapa kota besar di Indonesia sudah sangat parah menuju berhenti total. Sekali lagi tanpa ada Revolusi Transportasi yang ditanggung bersama, jangan harap kita akan nyaman bertransportasi.

Ingat pengurangan kemacetan hanya bisa diatasi dengan membangun sistem transportasi massal modern, terpadu, terjadwal, aman, nyaman dan terjangkau. Bukan melarang/mengurangi industri produksi kendaraan bermotor atau bangun jalan bahkan 6 ruas jalan tol sekalipun. Lakukan saja Revolusi Transportasi Massal secara cerdas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar