Selasa, 03 September 2013

Jebakan Impor Pangan

Jebakan Impor Pangan
Dwi Andreas Santosa ;   Ketua PS S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Aktif di Gerakan Petani
KOMPAS, 03 September 2013


Pada 12-24 Agustus 2013, penulis berkesempatan mengunjungi wilayah Midwest yang dikenal sebagai the breadbasket of America. Wilayah itu terletak di tengah-utara AS yang terdiri atas 12 negara bagian.
Wilayah yang pada abad ke-18 hingga ke-19 mula-mula hanya ”padang lalang” dan sebagian kecil berupa hutan itu saat ini menjadi lahan pertanian paling subur di dunia. Midwest merupakan pusat produksi biji-bijian, terutama gandum, jagung, dan kedelai yang merupakan komoditas ekspor pertanian utama yang mendatangkan miliaran dollar AS tiap tahun. Midwest juga pusat produksi beras, daging, susu dan produk turunannya, serta buah-buahan.
Di bidang industri dan jasa, wilayah itu juga pusat perusahaan-perusahaan raksasa yang memonopoli riset pertanian, benih, pestisida, pupuk, dan perdagangan biji-bijian di dunia. Beberapa perguruan tinggi besar berbasis pertanian juga ada di wilayah tersebut. Tidak aneh jika pertanian menjadi penyumbang ekonomi terbesar di Midwest.
Penulis berkesempatan juga berbincang dengan petani di sana dan sempat mengajukan pertanyaan ”bodoh” tentang beberapa mesin pertanian dan lumbung penyimpan hasil panen yang semuanya serba raksasa. Penulis bertanya apakah semua itu milik koperasi atau komunitas. Namun, ternyata tidak karena semua dimiliki seorang petani. Rata-rata petani memiliki semua fasilitas tersebut. Tak aneh jika ada sepasang kakek dan nenek, yang sudah memiliki enam cucu, sanggup mengelola lahan pertanian seluas 700 hektar dengan hanya dibantu seorang pekerja.
Bukan hanya luas lahan dan peralatan yang serba raksasa, petani AS juga menikmati subsidi ”raksasa” dari negara. Rata-rata subsidi langsung 20 miliar dollar AS (setara Rp 220 triliun) tiap tahun, hanya untuk 2,2 juta petani. Subsidi tahun 2000 bahkan 47 persen total pendapatan petani. Pada 2005, subsidi menyumbang sekitar 34,4 persen pendapatan mereka (Washington Post, 2/7/2006). Pada 2010, total subsidi terkait dengan pertanian 172 miliar dollar AS, termasuk ”subsidi sosial” yang dibayarkan ke sektor pertanian (Farmers Weekly, 29/7/2012). Subsidi pertanian AS untuk setiap keluarga petani kira-kira tiga kali lipat dibandingkan dengan petani di Eropa. Total subsidi pertanian negara maju sekitar 360 miliar dollar AS tiap tahun (Brown, UNDP, 2012).
Impor pangan
Dengan luasan lahan yang dikelola petani dan subsidi yang sedemikian besar, tak aneh apabila negara-negara maju, terutama AS dan Eropa, jadi penguasa dunia di bidang pangan. Mereka bisa mengekspor produk pertanian dengan harga yang bahkan lebih rendah dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Harga bisa tertekan lebih rendah lagi jika negara maju menerapkan praktik dumping dengan cara melepas surplus pangannya ke pasar internasional dengan harga sangat rendah untuk stabilisasi harga pangan dalam negeri atau untuk ”membuang” kelebihan produksi dari gudang-gudang penyimpanan pangan mereka.
Dengan dalih perlindungan konsumen dan menjaga ketahanan pangan, ekonom dan penentu kebijakan pertanian dan pangan di negara berkembang dengan serta-merta memutuskan impor pangan jika terjadi gejolak harga pangan di dalam negeri. Kebijakan ini di Indonesia dibungkus dengan nama ”kebijakan kuota impor” atau baru-baru ini ”kebijakan tarif impor”. Keduanya maknanya sama: memasukkan produk pertanian dengan harga lebih rendah dibandingkan dengan tingkat harga di dalam negeri. Keduanya juga sama-sama menggiurkan bagi pemburu rente, spekulan pangan, dan manipulator data produksi pertanian.
Kebijakan tersebut sering kali menyakitkan petani kecil (di Indonesia rata-rata kepemilikan hanya 0,36 hektar, di Jawa 49,5 persen tak berlahan) yang praktis tak berdaya karena dipaksa berhadapan dengan petani raksasa padat subsidi dari negara maju, yang berdampak sistem pertanian negara berkembang hancur.
Jika pada tahun 1960-an negara berkembang merupakan eksportir pangan dunia dengan surplus perdagangan sekitar 7 miliar dollar AS per tahun, mulai akhir 1980 terjadi pergeseran peran yang signifikan dalam penyediaan pangan dunia. Pada awal 1990-an negara berkembang berubah jadi importir neto pangan. Saat ini, sekitar 70 persen negara berkembang bergantung pada impor pangan, dengan negara maju sebagai penguasa produksi dan perdagangan pangan dunia.
Paradigma ketahanan pangan yang kita anut menjadikan perdagangan pangan internasional menjadi keniscayaan. Bahkan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyarankan ketahanan pangan nasional di setiap negara harus diletakkan dalam kerangka perdagangan pangan internasional sebagaimana diatur WTO.
Para fundamentalis pasar meyakini bahwa perdagangan bebas dunia akan mampu menyediakan pangan yang murah bagi penduduk di negara berkembang. Harga artifisial pangan impor yang rendah justru bisa memicu kemiskinan di negara berkembang. Negara-negara berkembang umumnya memiliki keunggulan komparatif dalam produksi pangan dan pertanian. Akibat impor pangan, petani negara berkembang tersingkir dari pasar pangan dan dari lahannya sendiri. Proteksi sistem pertanian di negara maju melalui kebijakan subsidi yang sangat besar menyebabkan negara berkembang dirugikan kira-kira 50 miliar dollar AS per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown, UNDP 2012).
Negara maju bergeming dengan kebijakan subsidi mereka. Pada putaran Doha WTO 2006, AS tetap menolak menurunkan subsidi hingga tingkat negara berkembang mampu berkompetisi untuk ekspor pangan.
Impor pangan Indonesia
Bukan hanya produk pangan utama, seperti gandum, beras, jagung, kedelai, daging, dan gula, Indonesia juga pengimpor besar buah-buahan dan hortikultura. Hingga Juni 2013, Indonesia telah mengimpor ratusan ribu ton jeruk, anggur, pir, kiwi, kurma hingga buah naga (BPS, 2013). Ketergantungan impor juga terjadi pada bawang putih, bawang merah, dan cabai, produk-produk yang seharusnya menjadi keunggulan komparatif Indonesia.
Kedelai menjadi pelajaran berharga ketika keran kedelai impor dibuka dan Indonesia dibanjiri produk kedelai dari AS tahun 1990-an justru saat Indonesia sudah hampir mencapai swasembada kedelai. Harga kedelai, yang dulu 1,5 kali lipat beras, saat ini sama bahkan lebih rendah dari beras. Pengembangan budidaya kedelai hancur dan sangat sulit tersembuhkan. Jagung dimungkinkan menyusul dan juga belasan produk pertanian lain. Kita sudah terjebak impor pangan yang sangat berisiko akibat harga pangan internasional yang berfluktuasi luar biasa lima tahun terakhir serta jatuhnya rupiah terhadap dollar AS.
Impor memang mudah dan menggiurkan banyak kalangan, tetapi dampaknya terhadap pembangunan pertanian dan petani kecil sungguh sangat mengkhawatirkan. Pesan Bapak Bangsa Soekarno ketika meresmikan kampus IPB Baranangsiang tahun 1952 sudah jelas: ”Pertanian adalah soal hidup atau mati”, ketika kita melupakan pertanian bencana besar di depan kita. Perlu pemimpin yang tak hanya mewacanakan peningkatan kesejahteraan petani, kedaulatan pangan, dan reforma agraria, tetapi juga yang berani melaksanakan ketiga hal tersebut. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar