|
Dalam sidang di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/8), Ridwan Hakim diduga telah memberikan
keterangan palsu.
Ridwan diajukan
jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi atas
terdakwa Ahmad Fathanah dalam dugaan suap kuota impor daging sapi dan pencucian
uang di Kementerian Pertanian. Tampaknya Ridwan berupaya menutupi keterlibatan
ayahnya, yang juga Ketua Dewan Syura Partai Keadilan Sejahtera, Hilmi
Aminuddin, terkait dengan tunggakan pembayaran komisi pengurusan kuota impor
daging sapi dari PT Indoguna Utama.
Bukan hanya
itu, Ridwan juga menyebut nama ”Sengman, Bunda Putri, Engkong, dan Hendra” dari
percakapan sadapan KPK yang diperdengarkan dalam sidang. Saat Ketua Majelis
Hakim Nawawi Pomolango menanyakan maksud angka ”40” yang dikirim lewat Sengman
dan Hendra, Ridwan tak mau mengungkapnya. Ia hanya menyebut bahwa ”Sengman itu
nama orang sebagai utusannya Pak Presiden kalau datang ke PKS. Kalau lebih
jelas, presiden kita, Pak SBY.”
Sumpah palsu
Menyimak
kesaksian Ridwan yang tidak mau berterus terang, dapat digolongkan sebagai
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, seperti
dimaksud pada Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU
No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Malah
Pasal 242 KUHP menyebutnya sebagai sumpah palsu, yaitu larangan seorang saksi
di atas sumpah memberi keterangan palsu di depan sidang pengadilan dengan
ancaman pidana penjara 7 tahun.
Lantaran Ketua
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor sudah meminta kepada jaksa penuntut untuk
memproses saksi dengan sangkaan Pasal 22 UU Korupsi, untuk mencari kebenaran
materiil harus segera ditindaklanjuti. Pasal 22 UU Korupsi melarang ”setiap
orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12
tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600
juta.”
Mengacu pada
pasal tersebut, Ridwan melanggar kewajiban untuk jadi saksi (Pasal 35 Ayat (1)
UU Korupsi), kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau
suami, anak, dan cucu dari terdakwa. Dengan demikian, penuntut umum dapat
mendakwa Ridwan dengan Pasal 22 UU Korupsi juncto Pasal 241 KUHP.
Apalagi ketua majelis hakim memerintahkan penuntut untuk memproses saksi.
Majelis hakim
sudah memenuhi ketentuan formil yang ditegaskan dalam Pasal 174 Ayat (2) KUHAP
bahwa: ”Apabila saksi tetap pada keterangannya itu (setelah diperingati Hakim
Ketua agar memberikan keterangan yang benar), hakim ketua sidang karena jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya
saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah
palsu.”
Filosofi Pasal
174 Ayat (2) KUHAP sehingga perlu perintah ketua majelis hakim adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan warga masyarakat yang awam hukum tidak mau menjadi
saksi pada perkara pidana. Mereka bisa beranggapan, jika salah atau keliru
memberi keterangan dalam sidang pengadilan, ia akan ditahan dan diajukan ke
pengadilan untuk dipenjara.
Namun,
membiarkan seorang saksi pada kebohongannya tanpa ada upaya agar diproses hukum
juga punya risiko. Saksi lain bisa mengikutinya karena menganggap hakim memberi
toleransi untuk berbohong. Akibatnya, pencarian kebenaran materiil dalam
perkara pidana terabaikan, bahkan publik akan menuding majelis hakim turut
mengaburkan terungkapnya pelaku lain.
Yurisprudensi
Perdebatan
penanganan sumpah palsu memang sering terjadi di ruang praktik. Namun, hal ini
sudah dijawab MA dalam putusannya No 2514/Pid/2007 tanggal 31 Maret 2008. MA
menolak permohonan kasasi terdakwa berkaitan dengan sumpah palsu atau
memberikan keterangan palsu oleh saksi di depan sidang pengadilan.
Ada tiga
pertimbangan hukum majelis hakim kasasi yang patut diapresiasi. Pertama, tidak
selalu keterangan seorang saksi di persidangan dapat diketahui kepalsuannya
pada saat itu juga. Kedua, untuk menuntut seseorang atas dasar keterangan atau
sumpah palsu tidak mutlak harus melalui prosedur (perintah ketua majelis hakim)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 174 KUHAP. Ketiga, ketentuan Pasal 174 KUHAP
bukan satu-satunya jalan atau cara untuk menuntut seorang saksi yang diduga
telah memberikan keterangan palsu atas dasar sumpah.
Putusan MA
merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti jaksa penuntut umum KPK, terlebih
sudah ada perintah ketua majelis hakim. Untuk mengungkap semua yang diduga
terlibat dalam kasus kuota impor daging sapi, hakim dituntut agar aktif mencari
dan menemukan kebenaran materiil dengan memberi kesempatan yang luas kepada
penuntut umum dan penasihat hukum menelusuri keterangan saksi yang diduga
palsu.
Hakim tidak
boleh sekadar mengacu pada keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan
(BAP) penyidik. Apalagi nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut
disebut-sebut saksi Ridwan dalam sidang pengadilan sehingga semuanya harus
dibuat terang benderang agar tidak menimbulkan salah persepsi dalam masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar