Selasa, 03 September 2013

Menjerat Kesaksian Palsu

Menjerat Kesaksian Palsu
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makasar
KOMPAS, 03 September 2013


Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/8), Ridwan Hakim diduga telah memberikan keterangan palsu.
Ridwan diajukan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi atas terdakwa Ahmad Fathanah dalam dugaan suap kuota impor daging sapi dan pencucian uang di Kementerian Pertanian. Tampaknya Ridwan berupaya menutupi keterlibatan ayahnya, yang juga Ketua Dewan Syura Partai Keadilan Sejahtera, Hilmi Aminuddin, terkait dengan tunggakan pembayaran komisi pengurusan kuota impor daging sapi dari PT Indoguna Utama.
Bukan hanya itu, Ridwan juga menyebut nama ”Sengman, Bunda Putri, Engkong, dan Hendra” dari percakapan sadapan KPK yang diperdengarkan dalam sidang. Saat Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango menanyakan maksud angka ”40” yang dikirim lewat Sengman dan Hendra, Ridwan tak mau mengungkapnya. Ia hanya menyebut bahwa ”Sengman itu nama orang sebagai utusannya Pak Presiden kalau datang ke PKS. Kalau lebih jelas, presiden kita, Pak SBY.”
Sumpah palsu
Menyimak kesaksian Ridwan yang tidak mau berterus terang, dapat digolongkan sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, seperti dimaksud pada Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Malah Pasal 242 KUHP menyebutnya sebagai sumpah palsu, yaitu larangan seorang saksi di atas sumpah memberi keterangan palsu di depan sidang pengadilan dengan ancaman pidana penjara 7 tahun.
Lantaran Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor sudah meminta kepada jaksa penuntut untuk memproses saksi dengan sangkaan Pasal 22 UU Korupsi, untuk mencari kebenaran materiil harus segera ditindaklanjuti. Pasal 22 UU Korupsi melarang ”setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.”
Mengacu pada pasal tersebut, Ridwan melanggar kewajiban untuk jadi saksi (Pasal 35 Ayat (1) UU Korupsi), kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa. Dengan demikian, penuntut umum dapat mendakwa Ridwan dengan Pasal 22 UU Korupsi juncto  Pasal 241 KUHP. Apalagi ketua majelis hakim memerintahkan penuntut untuk memproses saksi.
Majelis hakim sudah memenuhi ketentuan formil yang ditegaskan dalam Pasal 174 Ayat (2) KUHAP bahwa: ”Apabila saksi tetap pada keterangannya itu (setelah diperingati Hakim Ketua agar memberikan keterangan yang benar), hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.”
Filosofi Pasal 174 Ayat (2) KUHAP sehingga perlu perintah ketua majelis hakim adalah untuk mengantisipasi kemungkinan warga masyarakat yang awam hukum tidak mau menjadi saksi pada perkara pidana. Mereka bisa beranggapan, jika salah atau keliru memberi keterangan dalam sidang pengadilan, ia akan ditahan dan diajukan ke pengadilan untuk dipenjara.
Namun, membiarkan seorang saksi pada kebohongannya tanpa ada upaya agar diproses hukum juga punya risiko. Saksi lain bisa mengikutinya karena menganggap hakim memberi toleransi untuk berbohong. Akibatnya, pencarian kebenaran materiil dalam perkara pidana terabaikan, bahkan publik akan menuding majelis hakim turut mengaburkan terungkapnya pelaku lain.
Yurisprudensi
Perdebatan penanganan sumpah palsu memang sering terjadi di ruang praktik. Namun, hal ini sudah dijawab MA dalam putusannya No 2514/Pid/2007 tanggal 31 Maret 2008. MA menolak permohonan kasasi terdakwa berkaitan dengan sumpah palsu atau memberikan keterangan palsu oleh saksi di depan sidang pengadilan.
Ada tiga pertimbangan hukum majelis hakim kasasi yang patut diapresiasi. Pertama, tidak selalu keterangan seorang saksi di persidangan dapat diketahui kepalsuannya pada saat itu juga. Kedua, untuk menuntut seseorang atas dasar keterangan atau sumpah palsu tidak mutlak harus melalui prosedur (perintah ketua majelis hakim) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 174 KUHAP. Ketiga, ketentuan Pasal 174 KUHAP bukan satu-satunya jalan atau cara untuk menuntut seorang saksi yang diduga telah memberikan keterangan palsu atas dasar sumpah.
Putusan MA merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti jaksa penuntut umum KPK, terlebih sudah ada perintah ketua majelis hakim. Untuk mengungkap semua yang diduga terlibat dalam kasus kuota impor daging sapi, hakim dituntut agar aktif mencari dan menemukan kebenaran materiil dengan memberi kesempatan yang luas kepada penuntut umum dan penasihat hukum menelusuri keterangan saksi yang diduga palsu.
Hakim tidak boleh sekadar mengacu pada keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik. Apalagi nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut disebut-sebut saksi Ridwan dalam sidang pengadilan sehingga semuanya harus dibuat terang benderang agar tidak menimbulkan salah persepsi dalam masyarakat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar