Selasa, 03 September 2013

Mengobati Penyakit Ekonomi

Mengobati Penyakit Ekonomi
Mudrajad Kuncoro ;   Guru Besar Ilmu Ekonomi,
Manajer Kantor Publikasi FEB UGM
KOMPAS, 03 September 2013


Melemahnya nilai tukar rupiah dan merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan membuat panik pelaku bisnis. Pengusaha tahu-tempe, barang elektronik, dan sejumlah usaha yang memiliki kandungan impor tinggi mulai berteriak karena dollar tinggi.
Penyebab utama anjloknya IHSG dan terpuruknya nilai tukar rupiah sebetulnya adalah struktur ekonomi kita yang sejak lama ”tidak sehat”, tetapi diberi obat yang tak cespleng. Tanpa perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, ancaman krisis di pasar modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk pasar tradisional dan UMKM. Selama kurun 1 Januari-23 Agustus 2013, nilai tukar rupiah melemah sekitar 12 persen terhadap dollar AS dan IHSG melorot sekitar 4,1 persen. Pada 23 Agustus 2013, kurs rupiah bertengger di angka Rp 10.848 per dollar AS dan IHSG pada 4.169,83. Bandingkan dengan awal 2013, saat kurs Rp 9.685 dan IHSG 4.346,48.
Goldman Sachs, bank investasi asal AS, memprediksi rupiah akan melemah ke posisi Rp 11.800 per dollar AS tahun depan dan menurunkan prediksi untuk target 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan ke depan atas ringgit Malaysia, baht Thailand, dan rupiah Indonesia. Ketiga mata uang ini, bersama mata uang emerging market lain mengalami tekanan hebat beberapa minggu terakhir. Benarkah faktor eksternal semata ataukah fundamen ekonomi Indonesia yang tidak sehat sehingga rawan terhadap guncangan eksternal?
Faktor eksternal
Dari sisi eksternal, ada beberapa faktor di balik rentannya pasar valas dan modal kita. Pelemahan rupiah dipengaruhi sentimen negatif terkait dengan meningkatnya ketidakpastian global akibat pertumbuhan ekonomi dunia cenderung turun. Sejak Januari 2012, rupiah terdepresiasi terus-menerus, dari Rp 9.000-an awal Januari 2012 menembus di atas Rp 11.000 per dollar AS minggu terakhir Agustus 2013. Rupiah dan rupee India melemah paling tajam dua minggu terakhir akibat banyak investor asing menarik investasi mereka di Asia seiring dengan rencana bank sentral AS (The Fed) mengurangi kebijakan quantitative easing (QE).
QE adalah kebijakan moneter yang diterapkan The Fed untuk mendorong perekonomian karena kebijakan moneter yang standar menjadi tak efektif dan suku bunga sudah amat rendah mendekati nol. Caranya, The Fed membeli sejumlah aset finansial (obligasi jangka panjang dan US Treasury Notes) di bank komersial ataupun lembaga keuangan lain. The Fed melakukan QE yang pertama (QE1) pada 25 November 2008 hingga akhir Maret 2010, tadinya hanya 600 miliar dollar AS, tetapi akhirnya mencapai 1,75 triliun dollar AS. Pada tahap kedua (QE2), The Fed membeli 600 miliar dollar AS selama November 2010-Juni 2011. Pada 12 September 2012, The Fed mengumumkan akan membeli surat berharga jangka panjang 40 miliar dollar AS per bulan.
Gejolak di Bursa Efek Indonesia (BEI), banyak terpengaruh program QE AS, telah mendorong investor membeli aset-aset berisiko, terutama yang dimiliki negara berkembang, termasuk Indonesia. Setelah QE1, QE2, dan QE3 diberlakukan, terjadi tren yang sangat bullish pada indeks Dow Jones dan IHSG. Namun, sebaliknya apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dengan dikuranginya pembelian aset. Hal ini membawa performa indeks saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memasuki tren bearish seiring keluarnya dana asing.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia, kepemilikan saham asing per kuartal II-2013 adalah 57-58 persen dari total saham yang diperdagangkan di BEI. Angka ini jauh lebih kecil daripada akhir 2008 yang lebih dari 70 persen. Peranan asing yang cukup tinggi di BEI berpotensi menimbulkan risiko pelarian modal besar-besaran. Agaknya panic selling di BEI menunjukkan betapa pengaruh asing dan QE tidak bisa diabaikan.
Penyakit kronis
Faktor internal yang memperburuk adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang masih berlanjut. Inilah penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi kita dan membuat tak sehat. Statistik BPS 1 Agustus 2013 mencatat nilai ekspor Indonesia Juni 2013 mencapai 14,74 miliar dollar AS, turun 8,63 persen dibandingkan dengan Mei 2013, atau penurunan 4,54 persen dibandingkan dengan Juni 2012. Ekspor migas turun 5,81 persen (dari 2.926,3 juta dollar AS menjadi 2.756,3 juta dollar AS), sedangkan ekspor nonmigas merosot 9,26 persen (dari 13.207,1 juta dollar AS menjadi 11.984,4 juta dollar AS). Meski harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari 99,01 dollar AS menjadi 99,97 dollar AS per barrel selama Mei-Juni 2013, volume ekspor migas Juni 2013 dibandingkan dengan Mei 2013 untuk minyak mentah dan hasil minyak turun 21,6 persen dan 4,2 persen, gas naik 4,2 persen. Secara kumulatif, ekspor Indonesia Januari−-Juni 2013 sebesar 91,05 miliar dollar AS, turun 6 persen dibandingkan dengan periode sama pada 2012.
Selama beberapa tahun terakhir, hampir semua produk dan sektor Indonesia mengalami penurunan kinerja dari surplus menjadi defisit perdagangan. Jika tadinya defisit perdagangan hanya dialami sektor migas, mulai triwulan II-2013 neraca perdagangan defisit 0,6 miliar dollar AS akibat penurunan kinerja ekspor nonmigas dan neraca perdagangan migas terus defisit. Defisit ini pertama kali terjadi selama tiga dasawarsa terakhir. Penyebabnya adalah menurunnya  lifting  minyak, hingga kini kita importir neto minyak, dan iklim investasi sektor migas yang kurang mendorong eksplorasi ladang minyak baru. Menurunnya ekspor nonmigas disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup usaha akibat krisis global ataupun kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk sama. Selain itu, harga dan permintaan komoditas ekspor di pasar internasional masih cenderung menurun akibat pelambatan ekonomi di negara mitra dagang utama kita.
Masalah mendasar perdagangan kita adalah menurunnya kinerja perdagangan dan lemahnya daya saing produk ekspor. Pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” terkait dengan rantai ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya tinggi. Setidaknya masalah yang masih belum dipecahkan dengan tuntas adalah; pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar yang minimal 7,5 persen dari biaya ekspor masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perizinan, baik di pusat maupun daerah. Ketiga, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen seluruh industri, sebesar 28-90 persen. Masalah industri lainnya mencakup lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri masih banyak bertipe ”tukang jahit” dan ”tukang rakit”. Padahal kontribusi ekspor produk industri terhadap ekspor nonmigas 62 persen.
Faktor internal lain yang perlu dicermati adalah utang swasta yang sebagian besar akan jatuh tempo September 2013. Jumlah kumulatif utang yang jatuh tempo sekitar 25,6 miliar dollar AS. Saat ini total utang luar negeri Indonesia (pemerintah, BI, swasta), telah mencapai 250 miliar dollar AS. Masalahnya, total utang luar negeri ini didominasi swasta yang berjumlah 133 miliar dollar AS. Melorotnya nilai tukar rupiah berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valas. Apalagi 20-22 persen utang luar negeri swasta nasional, atau 26,8 miliar-29,5 miliar dollar AS, belum memiliki lindung nilai (hedging). Defisit transaksi berjalan tercatat meningkat relatif tinggi. Neraca transaksi berjalan, atau sering disebut current account, mencatat bukan hanya neraca perdagangan barang, melainkan juga neraca jasa, penghasilan, serta transfer berjalan. Defisit terjadi karena didorong terus menurunnya ekspor akibat pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global, di tengah masih tingginya impor, baik migas maupun nonmigas. Defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi pembayaran bunga utang yang cukup besar pada triwulan II-2013.
Rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB melonjak di atas 3 persen. Ini menurunkan cadangan devisa, yang akhir Juli 2013 tercatat 92,67 miliar dollar AS atau setara 5,1 bulan impor.
Butuh obat ”cespleng”
Pemerintah dan BI merespons dengan menyampaikan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, meliputi paket kebijakan fiskal, moneter, pasar modal, hingga industri, yang mencakup 13 langkah (Kompas, 23/8). BI menerbitkan sejumlah kebijakan moneter guna meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif dan dalam rangka pendalaman pasar uang. Agaknya masih perlu ”obat” yang mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis. Melemahnya rupiah dan IHSG perlu dicari akar masalahnya. Faktor eksternal hanya pemicu, tetapi sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi tak sehat perlu diprioritaskan dan dipilih obatnya. Tanpa ada QE di AS pun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang tak sehat mengakibatkan pelemahan rupiah, hanya tunggu waktu.
Dibandingkan dengan krisis Asia 1998 dan krisis global 2008, penurunan kurs dan IHSG beberapa minggu ini belum masuk tahap ”krisis” sehingga belum bisa diterapkan protokol krisis. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 45, definisi ”krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Namun, langkah antisipatif dan proaktif bernuansa jangka pendek dan panjang agaknya amat ditunggu pelaku bisnis dan rakyat. Kita perlu obat yang ”tak generik”, tetapi mengobati ”penyakit kronis” yang beberapa tahun menggerogoti ekonomi Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar