|
Wacana pendidikan tidak kunjung habis menjadi polemik di negeri ini.
Sejumlah dekrit dan kebijakan dalam menyelenggarakan pendidikan terus
diperbincangkan. Seakan-akan pendidikan memang persoalan pelik sehingga sulit
menemukan terobosan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Masyarakat hanya menjadi obyek kekuasaan pemerintah melalui sistem dan
aturan pendidikan yang ditetapkan. Menurut Toto Suharto (2012:3), pendidikan
pada hakikatnya merupakan cerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik
yang tengah berkuasa. Pendidikan dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde
penguasa.
Maka, urusan pendidikan pun akan menjadi masalah politik karena
pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Kurikulum pendidikan yang berlaku
kemudian menjadi sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Melalui
kurikulum, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai sarana rekayasa dalam
rangka mengekalkan struktur kekuasaan.
Salah satu langkah teoretis yang ditawarkan Toto adalah sistem pendidikan
berbasis masyarakat sehingga segala urusan pendidikan diserahkan kepada
masyarakat. Asumsinya masyarakat yang lebih tahu kebutuhan dirinya dalam dunia
pendidikan.
Selain itu, masyarakat memiliki hak untuk menentukan pilihan. Apalagi
persoalan pendidikan, jika masyarakat diarahkan pada pendidikan tertentu yang
bukan wilayahnya, maka pendidikan hanya wacana belaka dan tidak menjadi sumber
pencerahan bagi kehidupan.
Pendidikan berbasis masyarakat menjadi hegemoni-tandingan dan perlawanan
terhadap pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Akan tetapi, perlawanan ini
bukan dalam bentuk lembaga politik, melainkan perlawanan budaya untuk
membebaskan masyarakat menentukan pendidikannya. Dengan demikian, pendidikan
berbasis masyarakat akan lebih memfokuskan warga agar lebih sadar menjalani
proses pendidikan yang diharapkan.
Pada dasarnya sebuah pendidikan disebut berbasis masyarakat apabila
tanggung jawab pendidikan mulai dari perencanaan hingga penilaian berada di
tangan masyarakat. Pendidikan adalah milik rakyat dan oleh sebab itu rakyat
berhak dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan. Inilah yang
disebut pendidikan berbasis masyarakat yang terlepas dari otoritas birokrasi
pusat.
Dengan beberapa pendekatan dan analisis, pendidikan seharusnya menjadi milik
masyarakat bersangkutan yang lebih mengetahui apa yang dibutuhkan. Oleh karena
itu, pendidikan berbasis masyarakat berhubungan dengan pembangunan masyarakat
dan pemberdayaannya.
Peran
pemerintah
Dalam menjalankan pendidikan, pemerintah sebaiknya menjadi fasilitator
saja dalam menjembatani berlangsungnya pendidikan di Tanah Air. Kenyataannya,
campur tangan pemerintah terlalu dalam, termasuk di antaranya Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI)/Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Namun, karena
dinilai kurang relevan dengan keadaan dan keinginan masyarakat Indonesia,
RSBI/SBI akhirnya dibubarkan.
Ketika pemerintah melalui UU Sisdiknas tahun 2003 mengungkapkan konsep
mengenai pendidikan berbasis masyarakat, sebenarnya pemerintah bersikeras mengutamakan
kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaan melalui kontrol pendidikan,
bukan untuk kepentingan masyarakat.
Dari sinilah pendidikan didominasi oleh pemerintah. Persoalan pendidikan
setidaknya jangan sampai ada campur tangan pemerintah. Karena dengan campur
tangan pemerintah, pendidikan akan menjadi dunia politik yang ujung-ujungnya
hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sebaliknya, masyarakat yang
benar-benar membutuhkan terkatung-katung dengan arah pendidikan yang tidak
sesuai dengan harapannya.
Dalam Pasal 41 Ayat (3) UU Sisdiknas 2003 disebutkan bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan
tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu. Hal tersebut harus menjadi acuan utama pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, kebebasan masyarakat memilih
sistem pendidikan harus didahulukan. Pemerintah wajib mendukung dan memberikan
ruang bagi berjalannya pendidikan yang berasal dari inisiatif masyarakat.
Alasan Pasal 4 Ayat (3) diperkuat oleh Pasal 44 Ayat (1) yang berbunyi
bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan
pemerintah daerah.
Selain itu, penting adanya hubungan kemitraan dengan pemerintahan agar
pemerintah tak lagi mendominasi, memonopoli, memaksakan kehendak, menguasai
atau ikut campur atas lembaga pendidikan yang memang berbasis masyarakat.
Campur tangan dan dominasi pemerintah hanya akan melahirkan resistensi, masa
bodoh, ketergantungan dan bahkan mengikis kepercayaan diri masyarakat untuk
melaksanakan pendidikannya.
Dalam pelaksanaan, pemerintah sebagai mitra harus dapat mengisi
kekurangan, memacu gerakan, membangkitkan energi kreativitas, mendorong
semangat, dan merangsang kontribusi masyarakat sebagai wujud kontribusi bagi
pendidikan.
Konsepsi pendidikan berbasis masyarakat seperti yang ditawarkan oleh
Tono ini jelas sekali arah dan tujuannya, yaitu memberikan kepercayaan terhadap
masyarakat untuk melaksanakan pendidikannya sesuai dengan kekuatan,
keterampilan, pengetahuan, dan pengalamannya secara mandiri dan otonom. Dalam
konteks ini, pendidikan berbasis masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah bentuk
pemberdayaan ke arah transformasi sosial sehingga masyarakat yang menentukan
nasib sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar