Selasa, 10 September 2013

Idealisme Pendidikan Berbasis Masyarakat

Idealisme Pendidikan Berbasis Masyarakat
Junaidi Khab  ;    Akademisi IAIN Sunan Ampel, Surabaya
KOMPAS, 10 September 2013


Wacana pendidikan tidak kunjung habis menjadi polemik di negeri ini. Sejumlah dekrit dan kebijakan dalam menyelenggarakan pendidikan terus diperbincangkan. Seakan-akan pendidikan memang persoalan pelik sehingga sulit menemukan terobosan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Masyarakat hanya menjadi obyek kekuasaan pemerintah melalui sistem dan aturan pendidikan yang ditetapkan. Menurut Toto Suharto (2012:3), pendidikan pada hakikatnya merupakan cerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa. Pendidikan dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa.
Maka, urusan pendidikan pun akan menjadi masalah politik karena pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Kurikulum pendidikan yang berlaku kemudian menjadi sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Melalui kurikulum, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai sarana rekayasa dalam rangka mengekalkan struktur kekuasaan.
Salah satu langkah teoretis yang ditawarkan Toto adalah sistem pendidikan berbasis masyarakat sehingga segala urusan pendidikan diserahkan kepada masyarakat. Asumsinya masyarakat yang lebih tahu kebutuhan dirinya dalam dunia pendidikan.
Selain itu, masyarakat memiliki hak untuk menentukan pilihan. Apalagi persoalan pendidikan, jika masyarakat diarahkan pada pendidikan tertentu yang bukan wilayahnya, maka pendidikan hanya wacana belaka dan tidak menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan.
Pendidikan berbasis masyarakat menjadi hegemoni-tandingan dan perlawanan terhadap pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Akan tetapi, perlawanan ini bukan dalam bentuk lembaga politik, melainkan perlawanan budaya untuk membebaskan masyarakat menentukan pendidikannya. Dengan demikian, pendidikan berbasis masyarakat akan lebih memfokuskan warga agar lebih sadar menjalani proses pendidikan yang diharapkan.
Pada dasarnya sebuah pendidikan disebut berbasis masyarakat apabila tanggung jawab pendidikan mulai dari perencanaan hingga penilaian berada di tangan masyarakat. Pendidikan adalah milik rakyat dan oleh sebab itu rakyat berhak dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan. Inilah yang disebut pendidikan berbasis masyarakat yang terlepas dari otoritas birokrasi pusat.
Dengan beberapa pendekatan dan analisis, pendidikan seharusnya menjadi milik masyarakat bersangkutan yang lebih mengetahui apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat berhubungan dengan pembangunan masyarakat dan pemberdayaannya.
Peran pemerintah
Dalam menjalankan pendidikan, pemerintah sebaiknya menjadi fasilitator saja dalam menjembatani berlangsungnya pendidikan di Tanah Air. Kenyataannya, campur tangan pemerintah terlalu dalam, termasuk di antaranya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)/Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Namun, karena dinilai kurang relevan dengan keadaan dan keinginan masyarakat Indonesia, RSBI/SBI akhirnya dibubarkan.
Ketika pemerintah melalui UU Sisdiknas tahun 2003 mengungkapkan konsep mengenai pendidikan berbasis masyarakat, sebenarnya pemerintah bersikeras mengutamakan kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaan melalui kontrol pendidikan, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Dari sinilah pendidikan didominasi oleh pemerintah. Persoalan pendidikan setidaknya jangan sampai ada campur tangan pemerintah. Karena dengan campur tangan pemerintah, pendidikan akan menjadi dunia politik yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sebaliknya, masyarakat yang benar-benar membutuhkan terkatung-katung dengan arah pendidikan yang tidak sesuai dengan harapannya.
Dalam Pasal 41 Ayat (3) UU Sisdiknas 2003 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Hal tersebut harus menjadi acuan utama pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, kebebasan masyarakat memilih sistem pendidikan harus didahulukan. Pemerintah wajib mendukung dan memberikan ruang bagi berjalannya pendidikan yang berasal dari inisiatif masyarakat.
Alasan Pasal 4 Ayat (3) diperkuat oleh Pasal 44 Ayat (1) yang berbunyi bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan pemerintah daerah.
Selain itu, penting adanya hubungan kemitraan dengan pemerintahan agar pemerintah tak lagi mendominasi, memonopoli, memaksakan kehendak, menguasai atau ikut campur atas lembaga pendidikan yang memang berbasis masyarakat. Campur tangan dan dominasi pemerintah hanya akan melahirkan resistensi, masa bodoh, ketergantungan dan bahkan mengikis kepercayaan diri masyarakat untuk melaksanakan pendidikannya.
Dalam pelaksanaan, pemerintah sebagai mitra harus dapat mengisi kekurangan, memacu gerakan, membangkitkan energi kreativitas, mendorong semangat, dan merangsang kontribusi masyarakat sebagai wujud kontribusi bagi pendidikan.
Konsepsi pendidikan berbasis masyarakat seperti yang ditawarkan oleh Tono ini jelas sekali arah dan tujuannya, yaitu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat untuk melaksanakan pendidikannya sesuai dengan kekuatan, keterampilan, pengetahuan, dan pengalamannya secara mandiri dan otonom. Dalam konteks ini, pendidikan berbasis masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah bentuk pemberdayaan ke arah transformasi sosial sehingga masyarakat yang menentukan nasib sendiri.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar