Rabu, 11 September 2013

Independensi Tanpa Akuntabilitas

Independensi Tanpa Akuntabilitas
Muladi  ;    Mantan Hakim Agung
KOMPAS, 11 September 2013


Baru-baru ini kekuasaan kehakiman yang merdeka kembali tercemar oleh putusan majelis hakim peninjauan kembali Mahkamah Agung, yang dengan mudah telah melepaskan seorang terpidana koruptor dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Pertimbangan majelis hakim peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) sama dengan pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri (PN), perbuatan terpidana Sudjiono ”Yujin” Timan terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, melainkan perkara perdata murni.
Jauh sebelumnya (2004), majelis hakim kasasi MA telah memvonis Sudjiono Timan 15 tahun penjara ditambah dengan denda Rp 50 juta dan pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 369 miliar. Jaksa memperkirakan, dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara dirugikan sebesar Rp 2,2 triliun.
Yang menarik adalah sikap nekat empat anggota majelis hakim PK (kecuali seorang yang melakukan dissenting opinion) untuk menerima PK dengan mengesampingkan putusan kasasi sebelumnya sekalipun terpidana dalam status buron sejak delapan tahun yang lalu, sebelum putusan kasasi MA diumumkan. Padahal, Pasal 263 KUHAP yang diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung tertanggal 28 Juni 2012 jelas-jelas mengatur bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Status ahli waris (dalam hal ini istri yang bersangkutan) muncul apabila terpidana nyata-nyata telah meninggal dunia, bukan karena kabur dan menjadi buron, termasuk buron Interpol.
Berbahaya
Penyimpangan terhadap hukum acara ini sangat berbahaya karena fungsi hukum acara adalah mengatur tata tertib untuk menegakkan hukum materiil. Di satu pihak hukum acara mencegah kesewenang-wenangan negara dalam menegakkan hukum dan di lain pihak, menjamin hak-hak tersangka atau terpidana untuk diadili oleh pengadilan yang adil, terbuka, tidak memihak, dan kompeten.
Saran Hakim Agung Gayus Lumbuun yang menganggap putusan PK tersebut batal demi hukum (nietig) dapat dipertimbangkan. Mahkamah Agung harus berani membuat terobosan mengadili kembali dengan membentuk majelis hakim PK baru. Di lain pihak, PK terhadap PK yang diusulkan Kejaksaan Agung mengandung risiko kritik seperti yang pernah terjadi karena PK juga tidak dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Materi perkara yang didasarkan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006, yang menganulir Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menafsirkan perbuatan melawan hukum hanya yang bersifat formil, masih bersifat multitafsir dan dapat diperdebatkan kasus demi kasus.
Perbuatan jahat
Sejumlah transaksi yang dilakukan Sudjiono Timan sebagai Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) 1996-2001 dengan beberapa perusahaan di dalam dan di luar negeri, dalam kondisi tertentu kemungkinan dapat merupakan perkara pidana (tindak pidana ekonomi/korupsi) dan bukan perkara perdata.
Pertama, jika sejumlah transaksi itu disertai elemen-elemen perbuatan jahat berupa pembohongan, penggambaran keliru, penyembunyian kenyataan, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, akal-akalan (subterfuge), atau pengelakan aturan hukum (American Bar Association, 1976).
Kedua, mungkin juga perbuatan yang dilanggar pada dasarnya semula bukan perbuatan jahat, tetapi demi tata tertib di bidang transaksi keuangan, oleh perundang-undangan administrasi, pelanggaran atas norma-normanya dinyatakan terlarang, bahkan mungkin dikriminalkan sebagai tindak pidana di bidang hukum administrasi (mala prohibita). Keduanya merupakan alasan untuk menentukan adanya sifat melawan hukum formil menurut pemahaman yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Berbeda dengan sifat melawan hukum materiil yang didasarkan asas kepatutan semata-mata.
Pada akhirnya, yang diharapkan masyarakat adalah tetap tegaknya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka (judicial independence) yang bersifat konstitusional dan universal. Tentu saja disertai dengan akuntabilitas hakim kepada Tuhan YME, kepada hukum dan keadilan, kepada kejujuran, kepada ilmu pengetahuan hukum, serta kepada prinsip-prinsip negara demokrasi. Di sinilah peran aktif jajaran MA, MK dan Komisi Yudisial sangat diharapkan menjaganya secara konsisten dan selalu memonitor segala diskresi yang terjadi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar