|
Baru-baru ini kekuasaan kehakiman
yang merdeka kembali tercemar oleh putusan majelis hakim peninjauan kembali
Mahkamah Agung, yang dengan mudah telah melepaskan seorang terpidana koruptor
dari segala tuntutan hukum (ontslag van
alle rechtsvervolging).
Pertimbangan majelis hakim
peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) sama dengan pertimbangan majelis
hakim pengadilan negeri (PN), perbuatan terpidana Sudjiono ”Yujin” Timan
terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, melainkan perkara perdata murni.
Jauh sebelumnya (2004), majelis
hakim kasasi MA telah memvonis Sudjiono Timan 15 tahun penjara ditambah dengan
denda Rp 50 juta dan pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 369
miliar. Jaksa memperkirakan, dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), negara dirugikan sebesar Rp 2,2 triliun.
Yang menarik adalah sikap nekat
empat anggota majelis hakim PK (kecuali seorang yang melakukan dissenting opinion) untuk menerima PK
dengan mengesampingkan putusan kasasi sebelumnya sekalipun terpidana dalam
status buron sejak delapan tahun yang lalu, sebelum putusan kasasi MA
diumumkan. Padahal, Pasal 263 KUHAP yang diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung
tertanggal 28 Juni 2012 jelas-jelas mengatur bahwa yang dapat mengajukan PK
adalah terpidana atau ahli warisnya. Status ahli waris (dalam hal ini istri
yang bersangkutan) muncul apabila terpidana nyata-nyata telah meninggal dunia,
bukan karena kabur dan menjadi buron, termasuk buron Interpol.
Berbahaya
Penyimpangan terhadap hukum
acara ini sangat berbahaya karena fungsi hukum acara adalah mengatur tata
tertib untuk menegakkan hukum materiil. Di satu pihak hukum acara mencegah
kesewenang-wenangan negara dalam menegakkan hukum dan di lain pihak, menjamin
hak-hak tersangka atau terpidana untuk diadili oleh pengadilan yang adil,
terbuka, tidak memihak, dan kompeten.
Saran Hakim Agung Gayus Lumbuun
yang menganggap putusan PK tersebut batal demi hukum (nietig) dapat
dipertimbangkan. Mahkamah Agung harus berani membuat terobosan mengadili
kembali dengan membentuk majelis hakim PK baru. Di lain pihak, PK terhadap PK
yang diusulkan Kejaksaan Agung mengandung risiko kritik seperti yang pernah
terjadi karena PK juga tidak dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
Materi perkara yang didasarkan
atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006, yang menganulir Penjelasan
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan menafsirkan perbuatan melawan
hukum hanya yang bersifat formil, masih bersifat multitafsir dan dapat
diperdebatkan kasus demi kasus.
Perbuatan jahat
Sejumlah transaksi yang
dilakukan Sudjiono Timan sebagai Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia (Persero) 1996-2001 dengan beberapa perusahaan di dalam dan di luar
negeri, dalam kondisi tertentu kemungkinan dapat merupakan perkara pidana
(tindak pidana ekonomi/korupsi) dan bukan perkara perdata.
Pertama, jika sejumlah transaksi
itu disertai elemen-elemen perbuatan jahat berupa pembohongan, penggambaran
keliru, penyembunyian kenyataan, manipulasi, pelanggaran kepercayaan,
akal-akalan (subterfuge), atau pengelakan aturan hukum (American Bar Association, 1976).
Kedua, mungkin juga perbuatan
yang dilanggar pada dasarnya semula bukan perbuatan jahat, tetapi demi tata
tertib di bidang transaksi keuangan, oleh perundang-undangan administrasi,
pelanggaran atas norma-normanya dinyatakan terlarang, bahkan mungkin
dikriminalkan sebagai tindak pidana di bidang hukum administrasi (mala prohibita). Keduanya merupakan
alasan untuk menentukan adanya sifat melawan hukum formil menurut pemahaman
yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Berbeda dengan sifat melawan hukum
materiil yang didasarkan asas kepatutan semata-mata.
Pada akhirnya, yang diharapkan
masyarakat adalah tetap tegaknya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka (judicial independence) yang bersifat
konstitusional dan universal. Tentu saja disertai dengan akuntabilitas hakim
kepada Tuhan YME, kepada hukum dan keadilan, kepada kejujuran, kepada ilmu
pengetahuan hukum, serta kepada prinsip-prinsip negara demokrasi. Di sinilah
peran aktif jajaran MA, MK dan Komisi Yudisial sangat diharapkan menjaganya
secara konsisten dan selalu memonitor segala diskresi yang terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar