Selasa, 17 September 2013

Ekonomi RI Rapuh

Ekonomi RI Rapuh
Ichsanuddin Noorsy ; Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 17 September 2013

Sejurus Timothy Geithner diangkat menjadi Menteri Keuangan pada era Presiden Barack Obama (periode 2008-2012) pada Januari 2009, isu yang mencuat ke permukaan adalah perang nilai tukar (currency war). Isu itu merupakan lanjutan dari kekalahan industri manufaktur AS terhadap China. Kekalahan itu berdampak neraca perdagangan AS terhadap China minus 261 miliar dolar AS dan efek gandanya adalah dirumahkannya ribuan pekerja industri manufaktur AS.

Akibatnya, muncul krisis kredit perumahan subprima menyusul gagal bayarnya FreddieMac dan FannieMae. Gagal bayar itu memberi efek ganda lanjutan, yakni sejumlah lembaga keuangan ambruk, termasuk Lehman Brothers dan Citibank harus ditalangi. Ratusan bank pun ditutup.

Sebulan ini tetap sejak pidato pengantar nota keuangan dan RAPBN 2014 disampaikan, nilai tukar rupiah turun-naik. Bahkan dalam semester pertama 2013, setelah kenaikan harga BBM pada 18 Juni 2013, banyak kalangan menyadari bahwa tekanan inflasi sulit dihindari. Lagi-lagi, hanya seorang diri saya menyatakan di salah satu media televisi bahwa inflasi akan tembus di atas 8 persen. Kenaikan harga pangan yang sebelumnya sudah terjadi bersamaan dengan inflasi karena barang-barang impor membuat inflasi terus merangkak yang bisa jadi akan tembus dua digit untuk akhir tahun ini.

Kini, semua itu menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Pujian bahwa Indonesia adalah the rising star, atau pujian lainnya hapus hanya dengan gebrakan larinya modal asing yang pada minggu keempat bulan Agustus mencapai sekitar 215 juta dolar AS. Saya tak menyangka dampak dari ambruknya nilai tukar menyadarkan banyak orang bahwa perekonomian Indonesia rapuh.

Kesadaran ini sudah saya semaikan sejak saya di DPR lalu saya sebarkan ke berbagai kampus di Indonesia tanpa mengenal lelah. Walau saya dituding sebagai nasionalis sempit oleh sebuah media besar di Jakarta dengan meminjam mulut ekonom neoliberal, saya berkeyakinan bahwa menolong perekonomian diri sendiri (self help economic) jauh lebih bermartabat dari pada saya menjadi kaki tangan dan pelaksana pemikiran asing di Indonesia.

Nah, situasi ini akan berlanjut hingga 2017 bahkan lebih, sepanjang para pemikir bangsa, kaum akademisi, para teknokrat dan birokrat serta politisi tanpa lebih dulu menata dan memposisikan Indonesia dengan benar. Lihatlah kebijakan LCGC (low cost green car). Ini bukti betapa empuknya pasar otomotif di Indonesia didikte. Padahal di balik kebijakan ini, terdapat sejumlah persoalan strategis yang tidak selesai.


Kesimpulannya, selama Indonesia mengekor kebijakan global, kagum pada pujian yang menyesatkan, rupiah pun berstatus sebagai objek para pemodal, produksi dan distribusi domestik dikendalikan pihak asing, struktur ekspor tetap berpijak pada berang mentah dan komponen impor masih seperti sekarang, serta investasi asing dominan di sektor-sektor strategis maka ekonomi Indonesia tetap terjajah. 

Dampaknya, rupiah akan selalu berfluktuasi walau jangka waktunya terkadang lebih lama. Jangan menyesali, situasi ini adalah pilihan para petinggi negeri yang dapat terpilih lagi pada Pemilu 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar