Selasa, 17 September 2013

Demokrasi yang Menyejahterakan

Demokrasi yang Menyejahterakan
Pramudito M ; Alumnus FISIP Universitas Negeri Jember
SUARA KARYA, 17 September 2013


Memang, sejak merdeka, demokrasi Indonesia boleh dikatakan tanpa nama. Penerapan demokrasi liberal bahkan tak pernah disebut secara resmi. Baru setelah tahun 1959 kita memasuki demokrasi dengan nama 'demokrasi terpimpin' di bawah Presiden Sukarno.

Kemudian, setelah Orde Lama jatuh, maka runtuh pulalah Demokrasi Terpimpin. Demokrasi kita pun berganti nama menjadi Demokrasi Pancasila, yang berlaku selama Orde Baru melangsungkan kekuasaannya. Demokasi Pancasila memang nama resmi yang diperkenalkan oleh Presiden Soeharto. Pancasila menjadi milik dan alat kekuasaan Orde Baru. Sampai-sampai, siapa yang anti atau setidak-tidaknya kritis terhadap penguasa Orde Baru, termasuk kritis kepada Presiden Soeharto, berarti juga kritis atau bahkan anti Pancasila.

Nah, bila demokrasi dalam zaman reformasi ini disebut demokrasi reformasi, misalnya, lalu kelak ternyata reformasi gagal dan harus diganti dengan Orde Pasca-Reformasi, bukankah nama itu hanya akan memberikan citra buruk terhadap 'reformasi' itu sendiri? Itulah gambaran negatif bila demokrasi diberi label, seperti Demokrasi Pancasila pada masa lalu, maka yang ikut tercemar adalah nama Pancasila itu sendiri. Maka, untuk saat ini saya berpendapat sebaiknya demokrasi kita sekarang ini dibiarkan saja tanpa nama. Demokrasi adalah demokrasi.

Dulu saya ikut kagum bila mendengar ada pemimpin yang mengatakan bahwa negara kita adalah negara demokrasi paling besar nomor tiga di dunia. Itu maksudnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk. Penduduk Indonesia sebagai negara demokrasi paling besar nomor tiga di dunia setelah India dan AS.

Dalam pandangan umum, meskipun China bependuduk paling banyak di muka bumi ini, lebih kurang 1,4 miloar, tapi tidak disebut negara demokrasi. Tapi, kalangan pemimpin China tidak terlalu merisaukan masalah julukan tersebut. Yang penting, China terus membangun ekonomi sosialisme untuk kesejahteraan rakyatnya. China toh, secara interen, merasa dirinya juga demokratis, meskipun dengan sistem demokrasi di bawah payung Partai Komunis.

Tanpa Korupsi

Demokrasi di Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, pemilu yang lancar pada tahun-tahun 1999, 2004 dan 2009. Namun, hal itu baru sebatas formalitas di permukaan. Kita juga perlu sekali-kali memakai teropong pandangan pihak luar tentang demokrasi kita ini. Tidak seyogianya kita terus menerus berbangga diri, apalagi berlebihan, sedangkan tanpa disadari, masih banyak cacat yang kita temui meskipun sebelumnya tidak kita rasakan, sehingga demokrasi kita masih tampak buram bila dilihat dengan kacamata secara objektif. Termasuk, pengamatan dari luar negeri yang sangat senang dan serius memantau perkembangan demokrasi Indonesia.

Suatu lembaga asing, Economist Intelligence Unit memetakan Indeks Demokrasi Global tahun 2011. Lembaga itu menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy). Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 167 negara. Bisa dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya, seperti Afsel (30), Timor Leste (42), Thailand (57), dan Papua Nugini (59). Lembaga itu mencatat kepincangan demokrasi di Indonesia antara lain pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup, ingkar janji-janji pemilu serta keterancaman pluralisme.

Beberapa pandangan dalam negeri mengenai pelaksanaan demokrasi memang masih perlu banyak dikoreksi. Pemilu disebut sukses bila penyelenggaraannya lancar dan tepat waktu. Padahal itu saja tidak cukup. Sorotan terhadap ketidakuratan baik oleh penyelenggara pemilu maupun para kontestan yang bekerja sama untuk memanipulsi suara, itu baru satu contoh saja. Pemilu di Indonesia, entah pemilu nasional atau pilkada, terkenal amat mahal dengan harga fantastis.

Sebagai gambaran, biaya pemilihan gubernur putaran kedua di salah satu provinsi di Jawa menghabiskan dana hampir satu triliun rupiah. Anggaran yang spektakuler itu bisa dimaklumi untuk merangsang parpol-parpol ikut duduk dalam penyelenggara pemilu alias KPU, baik di pusat maupun di daerah. Saya merasa iri pada negara-negara maju yang sudah mapan demokrasinya. Negara-negara itu bisa melaksanakan pemilu sewaktu-waktu dengan lancar, tenang, damai karena mekanismenya sudah berjalan normal.

Bandingkan dengan di Indonesia setiap pemilu baru selalu diriuhkan untuk pengadaan seluruh logistik baru, padahal logistik lama masih bisa dipakai. Dan, satu hal lagi, Indonesia masih mendapat sorotan utama terkait masalah korupsi. Bahkan ada anggapan bahwa baik demokrasi maupun korupsinya sama-sama jalan terus, bahkan seiring. Kita kurang menyadari bahwa korupsi merupakan penyakit yang dapat mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri. Mengapa kita mengabaikan hal ini? Karena, kita sering lupa tujuan demokrasi.

Demokrasi sebenarnya tidak lebih dari alat sekaligus sistem yang kita anut, dan tujuan akhirnya tak lain adalah kemashalatan bersama, kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat, sebagaimana tersirat dalam Pembukaan Konstitusi kita. Karena itu, korupsi merupakan salah satu tolok ukur yang dipakai untuk mengukur sejauh mana kedewasaan demokrasi suatu negara.


Meskipun ada orang gila yang berpandangan bahwa lebih baik ada korupsi tapi ada demokrasi, daripada ada korupsi tapi tidak ada demokrasi. Pikiran 'gila' itu harus dibuang jauh-jauh. Itu racun yang banyak menjangkiti sebagian pemimpin dan pejabat negara yang tidak tahan untuk tidak korupsi. Maka yang ideal adalah: ada demokrasi tanpa korupsi! Kita perlu mengutamakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi sesuai dengan ukuran yang bersifat universal. Demokrasi kita tanpa nama, tidak apa-apa. Apalah artinya nama, kata orang Inggris. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar