Minggu, 22 September 2013

Bungkus atau Isi?

Bungkus atau Isi?
R Valentina Sagala ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 21 September 2013


Pernah berada dalam rapat keluarga mendiskusikan calon istri/suami seorang anggota keluarga? Belum lama ini saya mengalaminya. Seorang adik saya ingin kawin. Diskusi pun bergerak, mulai dari usianya berapa, lulusan dari mana, pekerjaannya apa, siapa orang tuanya, kakak-adiknya, dan sebagainya.

Maklum, di keluarga besar saya, perkara kawin bukan sekadar peristiwa perjanjian dua insan dimabuk cinta. Ada banyak pertimbangan di sana-sini, meski tentulah diputuskan subyek yang bersangkutan langsung. Saya menduga, rapat serupa juga berlangsung di keluarga kekasih adik saya.

Rapat begini bukan pertama kali keluarga saya lakukan. Karena saya dan adik-adik saya empat bersaudara, setidaknya diskusi tema kawin terjadi empat kali (minimal). Tentu saja saya tak hendak membocorkan keputusan rapat keluarga di tulisan ini. Apalagi “perdebatan” di dalamnya, yang adalah lazim dalam memutus perkara penting (terutama bagi yang hendak kawin).

Namun, ada hal yang menarik dalam rapat keluarga kali ini. Heboh “vickynisasi” sehabis pesta megah pertunangan seorang penyanyi dangdut terkenal negeri ini dengan seorang laki-laki mengaku bernama Vicky, ikut terangkat. Terang saja sebagian besar kami tertawa, bahkan ada yang terbahak-bahak.
Media tengah menyajikan “vickynisasi” sebagai sosok laki-laki “berbungkus” polesan sana sini, balutan jas mahal, gaya bahasa berlagak cendekiawan, celetukan bahasa Inggris ngawur diselip asal-asalan, yang dahsyatnya terbukti berhasil memukau sebagian orang. “Isi”nya bukan cuma ruwet, bahkan mungkin bisa dikatakan tanpa ”isi”.

Ayah saya yang adalah pensiunan pegawai negeri sipil, spontan menambahkan cerita banyaknya “bungkus” yang menipu. Tersebutkanlah sederet nama politisi negeri yang "berbungkus” ketampanan, kecantikan, tutur kata lembut, sikap nan santun, hingga kemahiran berkilah dan berkelit dalam silang argumen membongkar carut-marut masalah negeri.

Sampai-sampai urusan angin segar “konvensi” salah satu partai politik untuk menentukan calon presiden 2014 ikut dibawa-bawa. Ayah berseloroh, kalau dulu “membeli kucing dalam karung”, sekarang kucing-kucingnya bukan cuma keluar karung, tetapi berlenggak-lenggok di panggung catwalk dengan segala asesorinya. Wah, tantangan sekarang jauh lebih besar.

Untunglah keluarga saya bisa menikmati rapat kali ini tanpa merasa arah pembicaraan sudah melenceng entah kemana. Sebab memang soal “bungkus” dan “isi” sangatlah penting terutama di zaman yang konon segala hal serbamungkin.

Setelah saya renungkan, diskusi “bungkus” dan “isi” tidak cuma mencuat dalam diskusi internal keluarga saya.

Siapa pun bisa bicara perkara “bungkus” dan “isi”. Kita tahu mereka yang duduk di parlemen tak sedikit berbungkus ketenaran sebagai selebriti tanpa kualitas mumpuni. Mereka yang diseret ke meja hijau terbukti berbungkus lulusan perguruan tinggi ternama. Sikap santun, tutur sopan, jago bicara agama dan moral (sempit), tidak jaminan “isi”nya berbanding lurus.

Jelang 2014, paras rupawan, status sosial, titel pendidikan, kerabat pejabat atau penguasa, ketangkasan berorasi, kemampuan berbahasa Inggris, bahkan cara berdiri dan berjalan di podium akan semakin menghiasi berbagai dimensi kehidupan berbangsa.

Bersiaplah bertemu “bungkus-bungkus” ini, tidak hanya di panggung bernama “politik”, tetapi di semua lini, mulai dari menjenguk anak artis yang sakit, kuliah umum, hadir di pemutaran perdana film, peresmian pabrik, doa bersama, hingga pelantikan pejabat. Di mana titik kerumunan, di situlah “bungkus-bungkus” ini akan hadir.

Bisa jadi bangsa ini kini berada di mana kebanyakan dari kita lebih peduli “bungkus” daripada “isi”, mementingkan kemasan daripada muatan, terpukau tampang luar daripada isi kepala dan hati.
Para ibu lebih suka memamerkan nilai yang tertera di rapor anaknya, tanpa memedulikan bagaimana si anak meraih nilai tersebut. Para suami lebih menikmati kesopanan basa-basi sang istri daripada kejujuran dan kemurnian hati. Jika ini yang terjadi, kita benar-benar mesti waspada.

Mendasarkan keputusan hanya pada “bungkus” -apalagi untuk sesuatu bukan sekadar “jual beli produk”- bisa mengantar kita pada kesalahan fatal.

Berlarut-larut pada kemasan akan menumpulkan akal sehat dan jernih nurani kita. Membiarkan diri kita tenggelam di gemerlap “bungkus”, tanpa berupaya lebih mengupas “isi” akan berakibat kesia-siaan. Itu mengapa, sesulit apa pun, tetap dan terus menggali “isi” adalah hal yang teramat penting. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar