Minggu, 22 September 2013

Nyepi, Koto Tabang dan Perubahan Iklim

Nyepi, Koto Tabang dan Perubahan Iklim
Andi Eka Sakya ;   Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
MEDIA INDONESIA, 21 September 2013


DI dalam laporan mereka yang keempat, The Intergovern mental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan keniscayaan pemanasan global yang telah mendorong terjadinya perubahan iklim. Sebab utamanya ialah naiknya konsentrasi gas rumah kaca yang diproduksi manusia, baik secara industri maupun kegiatan lainnya, tidak mampu lagi diserap alam secara seimbang.

Betapa pun, pemanasan global perlu memperhatikan dua parameter, yaitu kenaikan suhu dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Tentang suhu permukaan ini, IPCC telah menegaskan agar manusia menjaga jangan sampai kenaikan suhu permukaan melebihi 2 derajat. Untuk konsentrasi GRK harus dijaga agar kenaikannya tidak melebihi 450 ppm sejak masa awal zaman industrialisasi. Mengapa demikian? Secara khusus, Morrigan (2010) menyebutkan bahwa pada saat konsentrasi terukur CO2 ambien di atmosfer mencapai melebihi 450 ppm, bumi manusia akan terdorong pada ambang batas kemampuan dinamiknya untuk menahan bencana yang mahadahsyat dan di luar kapasitas manusia untuk menghadapinya. Planet bumi mencapai kondisi ice-free planet.

Repotnya, jika suhu permukaan bisa secara langsung dan mudah dapat diamati dan diukur secara langsung, konsentrasi GRK tidak. Oleh karenanya, kenaikan suhu permukaan itu juga sudah sering dilaporkan. Di lain pihak, kenaikan konsentrasi GRK tidak banyak diamati, diukur, dan dilaporkan. Itu karena konsentrasi GRK atau CO2 di atmosfer tidak mudah diukur, persyaratan pengukurannya pun sangat strict. GRK yang diukur dalam kondisi ambien dan merupakan konsentrasi CO2 yang telah sangat lama terdapat di dalam atmosfer dan bercampur dengan gas-gas di atmosfer lainnya. Untuk itu, diperlukan lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk pengaruh kegiatan manusia, dan proses analisis pembandingan yang rumit.

Di dunia, paling tidak terdapat 29 stasiun pemantau global yang salah satu tugasnya mengukur konsentrasi CO2 ambien di atmosfer. Salah satunya terdapat di Bukit Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Untuk menjembatani keterbatasan data tersebut, IPCC sering melakukan pende katan secara modeling, asumsi, prakiraan, dan proyeksi.

Pengaruh manusia

Nyepi adalah hari raya umat Hindu untuk menandai tahun baru Saka. Pada saat itu, umat Hindu di Bali tidak diperkenankan melakukan aktivitas apa pun selama 24 jam. Bahkan, bandara pun ditutup selama 24 jam. Bali saat itu menjadi medan tanpa aktivitas, lahan tanpa manusia, atmosfer murni tanpa pengaruh anthropogenic. Bali saat Nyepi dan Bali saat hari-hari biasa--dalam perspektif pemanasan global dan gas rumah kaca--merupakan gambaran kontras antara menghilangnya pengaruh aktivitas manusia dan situasi yang terpengaruh oleh kegiatan anthropogenic.

Pengamatan GRK di Bali (beberapa kota) pada saat Nyepi, dan perbandingan-nya dengan Bali pada hari-hari biasa, akan menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap alam dan kontribusinya pada pertumbuhan gas rumah kaca, terutama CO2. Kondisi itu oleh BMKG telah dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa pengamatan secara langsung pada saat Nyepi dan bukan Nyepi. Hasilnya menunjukkan pengaruh anthropogenic pada kenaikan konsentrasi GRK mencapai 33%.

Bukit Koto Tabang adalah noktah kecil di Sumatra Barat (Kabupaten Agam) tepat di garis khatulistiwa. Hutan petai yang rimbun telah menyembunyikan noktah kecil itu dari pengaruh aktivitas manusia.
Sepi. Sunyi.

Entah wangsit apa yang menjadikan Emil Salim (saat menjadi menteri lingkungan hidup) dan Azwar Anas (menteri perhubungan) pada 1996 memilih Bukit Koto Tabang untuk lokasi pengamatan GRK. Pilihan itu tidak salah, manakala pada 2007 perhatian tentang pemanasan global dan dampaknya pada perubahan iklim semakin menjadi keniscayaan, dan perhatian dunia dan laporan IPCC telah mengantar pada diperolehnya Hadiah Nobel.

Pertumbuhan Kota Padang dan Bukittinggi ternyata juga tidak menjadikan Bukit Koto Tabang lokasi wisata yang menarik. Rerimbunan pohon petai menyembunyikan silent activity para pengamat GRK dari gerak ekonomi Bukittinggi dan Padang. Kondisi itu menjadikan Koto Tabang merupakan lokasi ideal untuk pengukuran GRK. Lebih-lebih posisinya tepat di khatulistiwa, sehingga Koto Tabang sangat unik.
Keputusan 1996 untuk menetapkan Koto Tabang sebagai satu-satunya lokasi global atmospheric watch (stasiun pemantau global/GAW) di Indonesia dan salah satu dari 29 GAW yang di dunia, telah menarik perhatian dunia. Hasilhasil pengamatan GAW di Koto Tabang--yang praktis secara aktif dioperasikan oleh BMKG baru sejak 2004 dan dikirimkan ke Badan Meteorologi Dunia melalui Pusat Data Dunia untuk GRK di Jepang--ternyata sangat diapresiasi.

Bukan hanya karena datanya sangat akurat, tetapi juga kontinuitasnya hingga saat ini. Itu terlihat dari hasil pengamatan konsentrasi GRK ambien di Koto Tabang di bawah hasil pengamatan GRK di Mauna Loa, Hawaii, sejak 2004 hingga 2013. Itu menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan negara pemboros emisi. Namun, tidak berarti Indonesia tidak mengalami pengaruh perubahan iklim karena perubahan iklim merupakan fenomena global.
Peran aktif Indonesia dalam proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diperlukan. Hal itu juga disadari bahwa Indonesia termasuk wilayah terdampak negatif dan menderita akibat perubahan iklim.
Presiden Yudhoyono pada 2009 saat berpidato di COP di Kopenhagen mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara terdepan dalam menginisiasi aksi penurunan konsentrasi GRK dan menargetkan turun 26% hingga 2020 dalam kondisi business as usual. Niat itu didukung Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Jika saat ini Presiden menanyakan sudah seberapa jauh niat penurunan emisi GRK tersebut kita capai, data dari Koto Tabang dapat menjawabnya secara faktual, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Insya Allah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar