Minggu, 22 September 2013

Perdagangan Bebas dan Konflik Agraria

Perdagangan Bebas dan Konflik Agraria
M Riza Damanik ;   Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ);
Belajar Ekologi Politik di Institute for Social Studies, Belanda
SINAR HARAPAN, 21 September 2013


Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia masih menemukan 588 potensi konflik agraria di sepanjang tahun 2012.

Memasuki awal 2013, konflik serupa kembali terjadi dan berbuntut kriminalisasi terhadap 26 orang petani dan aktivis lingkungan di Sumatera Selatan dan 23 nelayan tradisional di Sumatera Utara.
Buruknya kualitas kebijakan nasional dan lemahnya komitmen instrumen negara, kerap disebut-sebut sebagai pangkal soal konflik agraria.

Padahal, pada era globalisasi, pemicunya telah bergeser ke sejumlah perjanjian perdagangan bebas dan investasi yang mengikat Indonesia. Tanpa memastikan terlindunginya kepentingan rakyat dalam pelbagai perjanjian internasional, konflik agraria dipastikan tidak akan pernah terselesaikan.

Perombakan Kebijakan

Theirs (2002) menyebut ada empat tahapan proses integrasi dalam (deep integration) dari sebuah rezim investasi dan perdagangan internasional ke dalam wilayah domestik suatu negara. Pertama, negara setuju untuk bergabung dalam rezim dan mengharmoniskan kebijakan domestiknya sesuai ketentuan rezim. Kedua, harmonisasi formal yang berupa peraturan tertulis harus dilakukan.

Ketiga, standar yang sudah diharmoniskan harus diimplementasikan. Keempat, sistem monitoring dan implementasi ketentuan harus sesuai dengan perjanjian. Nah, kesemuanya telah berlaku di Indonesia.
Sejak era 1960-an, Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) telah mulai mendorong reformasi sistem ekonomi dan politik Indonesia agar selaras dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam perjanjian internasional.

Dalam hal pengaturan perdagangan internasional, misalnya, UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO telah mewajibkan Indonesia membuka pasar seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan. Selanjutnya, diikuti dengan perombakan sejumlah kebijakan nasional.

Sebut saja perubahan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dimaksudkan untuk memudahkan masuknya investasi asing dalam pengusahaan sumber daya alam Indonesia. Hal ini sejalan dengan aturan WTO terkait Most Favored Nation (MFN) dan National Treatment. Melalui keduanya, pemerintah tidak boleh lagi memberi perlakukan berbeda terhadap pemodal asing dan dalam negeri.
Contoh lain, kesepakatan tentang pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) dalam WTO. Kesepakatan ini memaksa Indonesia membuka pintu impor, menghapuskan tarif masuk, bahkan memaksa Pemerintah Indonesia untuk terus mengurangi subsidi bagi petani.

Tak pelak, impor produk pangan Indonesia di 2012 telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Uang sebesar itu justru digunakan untuk impor produk pangan seperti daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, serta komoditas pangan lain yang mudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pada tahap inilah ratifikasi pembentukan WTO telah menyebabkan hilangnya kedaulatan pangan dan meningkatkan konflik agraria di Indonesia.

Kedaulatan Ekonomi

Adalah H Agus Salim (1884-1954) mengatakan “hendaklah Bumiputera itu menunjukkan kekuatannya menghidupi perhimpunan kita sendiri. Jika sekolah-sekolah kepunyaan orang Belanda menolak anak-anak kita karena mendengarkan hasutan kaum asmodee itu, hendaklah kita ikhtiar mendirikan sekolah sendiri. Dalam negeri kita janganlah kita yang menumpang.”

Pada konteks ini, bertepatan pula dengan momentum Peringatan Hari Pangan 24 September 2013, gerakan petani, nelayan, buruh maupun konsumen di Indonesia patut menaruh perhatian lebih terhadap berbagai perjanjian perdagangan bebas dan WTO. Ini karena keduanya telah sengaja melemahkan peran negara dalam melindungi akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan airnya.

Jelang berakhirnya masa tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014, Presiden SBY perlu mengambil langkah moratorium terhadap perjanjian baru, sambil mengevaluasi berbagai perjanjian yang telah ditandatangani sebelumnya. Termasuk dengan segera membatalkan perjanjian yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional dan konstitusi UUD 1945.

Terkait penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan, Dewan Perwakilan Rakyat tidak perlu kejar tayang untuk menuntaskannya. Sangatlah pantas DPR merombak total draf RUU versi pemerintah tersebut karena telah sengaja menghilangkan kedaulatan ekonomi Indonesia dengan mengadopsi penuh prinsip-prinsip di dalam WTO.

Menyusul agenda Pemilu 2014, menolak calon presiden yang pro terhadap liberalisasi perdagangan dan investasi juga penting. Hal ini karena hanya dengan cara itu kesejahteraan rakyat mendapatkan momentumnya. Konflik agraria dapat kita selesaikan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar