Sabtu, 05 Januari 2013

Keteguhan Profetik Obamanomics


Keteguhan Profetik Obamanomics
Ahmad Erani Yustika ;  Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS,  05 Januari 2013



PRESIDEN Obama akhirnya memenangi pertarungan mendebarkan saat menjelang ganti tahun. Pada masa kampanye, Obama berjanji menaikkan pajak bagi kaum kaya. Kebijakan itu bukan semata untuk menghindari jurang fiskal (fiscal cliff) yang tengah mengancam AS, tetapi juga sebagai upaya mengembalikan nilai moral dalam pengelolaan ekonomi AS, seperti diyakini Partai Demokrat (di AS).

Setelah pelantikan termin kedua, presiden dari Demokrat itu bergerilya mencari dukungan Kongres AS yang dikuasai Republik. Seperti halnya dengan kebijakan Reformasi Kesehatan, Obama menghadapi penolakan yang sangat keras sehingga harus terjun sendiri melobi dan mempersingkat liburan Natal. Seperti diketahui, berkat visi yang kuat, keyakinan yang tegar, dan determinasi yang mengagumkan, kebijakan kenaikan pajak itu lolos.

Visi dan Ideologi Partai 

Obama sekali lagi menunjukkan dua hal penting dalam kepemimpinan: visi dan keteguhan/keyakinan. Dalam soal visi, Obama tidak terlalu sulit merumuskan karena "ideologi" Partai Demokrat secara eksplisit telah memberikan kiblat kebijakan dan program, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Warga AS tahu persis warna kebijakan Partai Demokrat dan Partai Republik (yang sangat kontras) sehingga konstituen tinggal memilih.

Presiden tinggal merumuskan prioritas kebijakan dan opsi pelaksanaannya ketika berkuasa. Kebijakan dan program itu bahkan sudah diketahui saat kampanye sehingga pemilik hak suara memiliki kepastian, bukan janji kosong. Secara tradisi, konstituen Partai Demokrat adalah kaum buruh (menengah-bawah) dan penganut kebebasan sosial, sedangkan pengikut Partai Republik adalah warga kaya (pengusaha) dan kaum puritan sosial/agama.

Pada periode pertama kekuasaan, Obama melihat sebagian besar warga AS tidak terjangkau oleh layanan kesehatan, khususnya golongan menengah-bawah dan penduduk kulit berwarna. Bagi Obama, situasi itu sungguh memilukan dan memalukan karena mungkin hanya AS sebagai negara maju yang sebagian besar penduduknya tidak dijamin asuransi kesehatan.

Dari perspektif ekonomi, kesehatan bukan sekadar indikator untuk melihat kesejahteraan penduduk, tapi sekaligus mengungkap seberapa tinggi level produktivitas seseorang dalam kegiatan ekonomi. Pesan singkatnya: makin tinggi kesehatan warga, maka kian produktif mereka.

Amartya Sen (1999), peraih Nobel Ekonomi, bahkan secara jelas menyatakan mustahil mengatasi kemiskinan tanpa meningkatkan kapabilitas seseorang, dan salah satu pengungkit kapabilitas adalah kesehatan. Poin inilah yang dibaca dengan cermat oleh Obama sehingga menjadi prioritas kebijakannya.

Berikutnya, pada fase kedua kekuasaan, dia dengan cerdik melihat persoalan ekonomi AS yang dikawinkan dengan ideologi partai. Ekonomi AS diterjang patologi ketimpangan pendapatan yang mengerikan (Rasio Gini mencapai 0,49, sedikit lagi menyentuh angka psikologis 0,5/ketimpangan tinggi) dan situasi fiskal yang genting (defisit anggaran yang membengkak). Obama terjepit untuk bisa meningkatkan penerimaan anggaran pada satu sisi, sementara di sisi lain ketimpangan pendapatan mendesak untuk diurus.

Pajak progresif merupakan pilihan cerdik untuk mengatasi dua kondisi tersebut, yang dengan sigap diambil Obama. Obama bahkan tidak mundur oleh gertakan ekonomi akan makin muram jika pajak dinaikkan. Sebab, dalam sejarah AS, pertumbuhan ekonomi justru kian tinggi saat pajak progresif dijalankan, demikian pula sebaliknya (Krugman, 2012). Sejarah mencatat, Obama untuk kali kedua berhasil mengeksekusi kebijakan heroik tersebut.

Sedekah Jabatan 

Dua kebijakan penting Obama di atas bolehlah diringkas dalam satu term "obamanomics". Yakni upaya mengembalikan proses dan hasil ekonomi kepada seluruh masyarakat dan diabdikan pada nilai moral. Kegiatan ekonomi mengharapkan partisipasi produktif masyarakat yang memerlukan penguatan kapabilitas tiap individu. Instrumen penguatan kapabilitas itu tak lain adalah pendidikan dan kesehatan.

Dalam konteks AS pada 2008, isu aksesibilitas kesehatan merupakan hal mendasar yang harus diperbaiki sehingga Obama memprioritaskannya. Sementara itu, hasil pembangunan tidak boleh mengerucut pada segelintir lapisan atas masyarakat (yang ditandai dengan Rasio Gini yang tinggi). Karena itu, pada periode kedua kekuasaannya, Obama mengambil pilihan pajak progresif sebagai dasar bahwa ekonomi tak boleh lepas dari perintah moral.

Kecerdikan memilih kebijakan adalah satu hal, sedangkan kepiawaian meloloskan kebijakan merupakan hal lain yang tak kalah kompleks. Tiap pemimpin, apalagi pada level presiden, harus menjajakan banyak kebijakan untuk ditawarkan dalam bursa politik. Disebut bursa politik karena tiap kebijakan dalam sistem demokrasi menghendaki akomodasi dari sekian banyak institusi, salah satunya lembaga legislatif (parlemen, senat, kongres). Tentu saja syarat yang harus dipenuhi pertama adalah rasionalitas kebijakan dan keyakinan terhadap prospek keberhasilan kebijakan itu setelah diimplementasikan. Proses itulah yang dilakukan Obama dan tim ekonominya untuk memastikan bahwa kenaikan pajak akan menggairahkan kegiatan ekonomi, memperbaiki neraca fiskal, dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Para penentangnya disodori konsep dan kalkulasi ekonomi yang solid sehingga sulit untuk menaklukkan gagasan tersebut.

Segenap keteguhan terus diperkuat sampai titik finis. Politisi kelas wahid dikerahkan untuk melobi satu per satu sumber penolakan ide itu, bahkan presiden turun tangan. Rakyat bisa menyaksikan bahwa forum lobi bukanlah panggung untuk memetik keuntungan privat, tapi sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan publik. Hasil perundingan pun merupakan pantulan dari hasrat rakyat yang terlampiaskan. Meski dalam drama ini Obama tidak meraih kemenangan mutlak karena kenaikan pajak hanya berlaku bagi warga yang berpendapatan di atas USD 400 ribu (bukan USD 250 ribu seperti yang diinginkan), tapi setidaknya dia berhasil memenangkan misi suci dalam berpolitik: menyedekahkan jabatan untuk kepentingan publik.

Dulu kita punya banyak pemimpin profetik semacam itu, namun telah silam dalam sejarah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar