Sabtu, 05 Januari 2013

Tantangan Perbankan 2013


Tantangan Perbankan 2013
Paul Sutaryono ;  Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
SINDO,  05 Januari 2013



Tahun 2012 telah berlalu dengan menorehkan kinerja bank nasional yang gemilang. Bagaimana prospek perbankan nasional pada tahun ular air 2013? 

Krisis global belum usai walau Pemerintah Amerika Serikat lepas dari jurang fiskal (fiscal cliff) setelah parlemen menyepakati rancangan undang-undang mencegah kenaikan pajak besar-besaran dan menunda pemangkasan belanja negara. Jurang fiskal adalah kombinasi dari serangkaian peningkatan pajak dan pemangkasan anggaran yang dijadwalkan efektif secara otomatis pada 1 Januari 2013. 

Krisis kawasan Eropa juga belum tampak ujungnya. Rintangan di dalam negeri pun masih menganga seperti defisit neraca perdagangan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan defisit neraca perdagangan mencapai USD478,4 juta per November 2012.Artinya, impor USD16,92 miliar jauh lebih besar daripada ekspor Rp16,44 miliar. Bagaimana kinerja bank nasional? 

Menurut Statistik Perbankan Indonesia per Oktober 2012 yang terbit pada 12 Desember 2012,kredit tumbuh sangat subur 22,40% dari Rp2.028,14 triliun per Oktober 2011 menjadi Rp2.482,52 triliun per Oktober 2012. Pertumbuhan itu mengangkat rasio antara kredit dan DPK (loan to deposit ratio/LDR) dari 81,03% per Oktober 2011 menjadi 83,78% per Oktober 2012.Tegasnya, bank nasional sudah melewati LDR minimal 78% sebagaimana disyaratkan Bank Indonesia (BI) untuk menggeber kinerja kredit pada kisaran LDR 78–100%. 

Apa artinya LDR minimal 78%? Artinya, ketika suatu bank dapat menghimpun DPK Rp100 triliun, bank tersebut wajib menyalurkan kredit minimal Rp78 triliun. Bagaimana LDR menurut kelompok bank? Kelompok bank yang telah memenuhi syarat minimal 78% adalah bank campuran 112,12%, bank asing 107,55%, bank persero 83,72%, BUSN nondevisa 85,01%, dan BUSN devisa 82,22%. Kelompok bank itu telah berhasil mengemban fungsi mereka sebagai intermediasi keuangan. Sayangnya, BPD belum memenuhi syarat itu dengan LDR 66,28% di tengah rata-rata industri 83,78%. 

Prospek 2013 

Kalau begitu, bagaimana prospek perbankan nasional pada 2013? Tahun depan bukan hanya sarat rintangan, tetapi juga tantangan! Pertama, pertumbuhan kredit bakal jalan di tempat. Mengingat pelambatan ekonomi global, bank nasional mulai memasang target pertumbuhan kredit tak terlalu tinggi sekitar 22%. Itu sepadan dengan kinerja kredit saat ini.Tengok saja, BRI menetapkan pertumbuhan kredit 22–23%, BNI 19–22%, Bank Mandiri 20–22%, dan BTN 25–30%. Itu menegaskan bahwa bank nasional papan atas tampak berhati-hati.

Namun itu tetap mengesankan optimisme dalam menggarap bisnis 2013. Kedua, pertarungan dana pihak ketiga (DPK) makin berat. Pertumbuhan DPK juga amat subur 18,39% dari Rp2.502,99 triliun per Oktober 2011 menjadi Rp2.963,23 triliun per Oktober 2012. Data menggambarkan bahwa pertumbuhan tahunan DPK terus menipis dari 20,97% per Agustus 2012 menjadi 19,64% per September 2012 dan 18,39% per Oktober 2012. Hal itu menyiratkan perang penghimpunan DPK akan kian sengit.

Menurut BI,dana untuk menyalurkan kredit ternyata 91% bersumber dari DPK.Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat 52% dari total simpanan Rp3.037,80 triliun per Agustus 2012 bernonimal di atas Rp2 miliar. Artinya, sebagian simpanan itu di luar skema penjaminan LPS. Itu berisiko tinggi. Mengapa? Karena simpanan itu tidak akan diganti LPS manakala bank penyimpan dana itu jatuh pailit. 

Menurut LPS, kriteria simpanan yang layak bayar wajib memenuhi tiga syarat, yakni tercatat dalam pembukuan bank, tingkat bunga simpanan tidak melebihi suku bunga penjaminan dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank.Kini suku bunga deposito rupiah 5,5%, valuta asing (valas) 1% untuk bank komersial dan 8% untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berlaku 15 Desember 2012 hingga 14 Januari 2013. 

Ketiga, aturan main makin ketat. Harus diakui industri perbankan nasional memang diatur sedemikian ketat (highly regulated).Pada 2012,BI telah menerbitkan berbagai aturan seperti devisa hasil ekspor, loan to value (LTV), kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP), kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), kantor bank tanpa fisik (branchless banking), suku bunga dasar kredit (SBDK) (prime lending rates), dan kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR). 

Ingatlah selalu bahwa industri perbankan begitu sarat dengan unsur kepercayaan. Untuk itu, BI wajib tiada henti memelihara tingkat kepercayaan pasar terhadap bank nasional. Sebaliknya, BI pun wajib melindungi kepentingan nasabah yang menyimpan dana berupa giro, tabungan dan deposito. Tentu saja, deretan aturan itu bisa membuat bank nasional tarik napas dalam-dalam alias meningkatkan penghematan habis-habisan.

Kenapa begitu? Mengingat untuk ekspansi, aturan izin berjenjang (multi-license) mensyaratkan modal inti (tier I) yang lebih perkasa, penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) yang lebih mini dantingkatefisiensilebihtinggi yang tampak pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Dengan bahasa lebih bening, pembukaan kantor cabang baru tidak lagi segampang selama ini. Padahal kantor merupakan salah satu saluran distribusi penting dalam menangkap bisnis yang basah. 

Tantangan 

Namun selain potensi risiko atau rintangan,sejatinya,bank nasional pun menghadapi aneka tantangan yang bisa diubah menjadi peluang bisnis yang manis. Pertama,wali amanat (trustee). Bank nasional yang bermodal inti minimal Rp5 triliun bakal tersenyum riang karena memperoleh kesempatan untuk mengelola devisa hasil ekspor (DHE) nasabah. 

Hal ini bertujuan final untuk menggenjot DHE yang selama ini masih banyak nongkrong di bank asing di luar negeri. Dengan menjadi wali amanat, bank nasional dapat memutar DHE di sejumlah instrumen investasi. Sebut saja produk tresuri (placement), cash management danwealthmanagement. Langkah operasional ini sudah barang tentu akan membuahkan pendapatan nonbunga (feebased income) yang gurih. Kedua, kredit UMKM. BI segera menetapkan SBDK kredit mikro mengingat saat ini suku bunga kredit mikro masih dinilai tinggi sekitar 30%. 

Dengan demikian,suku bunga kredit mikro dapat didorong terus menipis yang menguntungkan nasabah.Terlebih BI juga mewajibkan bank nasional untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi). Akibatnya, kredit UMKM diharapkan melejit yang kini naik 13,00% dari Rp439,85 triliun per Oktober 2011 menjadi Rp497,04 triliun per Oktober 2012. 

Namun jangan lupa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi konglomerasi bank yang memiliki banyak perusahaan anak baik di sektor keuangan maupun nonkeuangan. Lirik saja banyak bank nasional papan atas memiliki perusahaan anak di bidang asuransi, pembiayaan (multifinance), sekuritasatauperbankansyariah. 

Katakanlah, BNI, Bank Mandiri, BRI dan BCA. Pengawasan semacam itu pasti menuntut bank nasional untuk terus meningkatkan manajemen risiko.Tak berhenti di situ. Bank nasional suka tidak suka perlu meningkatkan asas kepatuhan (compliance). Kedua senjata itu wajib terus-menerus diasah. Alhasil, meskipun segunung rintangan menghadang, bank nasional tetap mampu bersaing dengan trengginas untuk menggapai kinerja unggul. Ini bukan mimpi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar