Sabtu, 05 Januari 2013

2013 Kerja, Bukan Verba


2013 Kerja, Bukan Verba
Kurnia JR ;  Sastrawan
KOMPAS,  05 Januari 2013



Penutupan tahun 2012 disarati berita tentang luapan air bah di sejumlah daerah. Juga luapan kejengkelan masyarakat yang tak kunjung mendapat tanggapan atas noda-noda etis para pejabat publik.

Ke mana pun mata kita alihkan, tayangan tentang kedua hal itu muncul di televisi, koran, majalah, dan jendela jagat maya.

Dalam hiruk-pikuk sarkasme, ironi, satire, dan keadaan berbagai aspek yang umumnya pahit, terselip ucapan seorang mantan pejabat publik daerah yang patut diberi tempat khusus. Figur itu Dicky Chandra, Wakil Bupati Garut, yang mengundurkan diri pada 2011. Sehubungan dengan berita keluarnya rekomendasi pemecatan Aceng Fikri sebagai bupati oleh DPRD Garut, tersiar kabar bahwa sebagian warga Garut meminta Dicky kembali memimpin daerah itu.

Jawaban Dicky lugas dan bersahaja. Sebagaimana disiarkan Indonesia Archipelago National Network News dalam situsnya, 26 Desember 2012, dia berkata, ”Saya mau mencari nafkah dari dunia hiburan ini dulu, belum berpikir ke dunia politik lagi.”
Ucapan ini sungguh penting sebab diucapkan seorang mantan pejabat publik di negeri yang jagat kekuasaan politiknya didominasi oportunisme nan tak kenal malu. 

Apa pun alasannya ketika memutuskan berhenti sebagai wakil bupati Garut, sebetulnya mudah menyesuaikan diri dengan keadaan baru dan menyabet peluang itu untuk menikmati empuknya kursi kekuasaan. Apabila ada kerikil-kerikil di tengah jalan, tak bakal terlalu sulit ia disingkirkan asalkan mesin uang diaktifkan, yang mudah diperoleh dari tengkulak politik.

Plastisitas Semantik

Hal yang menarik dari penolakan tokoh ini adalah jalan pikirannya naif, jujur, dan lugas. Tanpa kompleksitas dia berujar tepat sasaran: dunia keartisan adalah lahan rezeki baginya. Dia tak harus menegaskan bahwa dunia politik dan kekuasaan bukan tempat mencari makan, apalagi menumpuk harta.

Sifat plastis semantik yang mencuat di situ membantu pelaku ujaran dan pendengar menangkap makna tak terucapkan. Dalam hal ini, plastisitas semantik ucapan seseorang yang dibuktikan dengan tindakan telah menciptakan kondisi ketika kata-kata jadi mantra; ucapan tak bisa disanggah, tak laik dicemooh.

Selama ini barisan panjang pemimpin kita dari tingkat nasional sampai daerah dengan sembrono memanipulasi kosakata tanpa pertanggungjawaban. Dengan jalan pendek bernalar mereka justru licin mempermainkan khalayak. Jabatan publik atau politik bagi mereka bukanlah beban yang wajib dipertanggungjawabkan, tetapi dinikmati sebagai anugerah.

Dari kata nikmat terbentuk verbalisasi aktif ataupun pasif: menikmati dan dinikmati. Kata ini kita serap dari bahasa Arab yang datang dalam bungkusan agama Islam, yang inheren dalam konteks kasih sayang serta karunia Ilahi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa merekam kata itu menurut pemakaian sehari-hari yang profan: menikmati berarti ’merasai sesuatu yang nikmat atau lezat’ dan ’mengecap atau mengalami sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan’. Wajarlah ketika kenikmatan mencakup yang halal ataupun yang haram.

Maka, tampillah setiap hari karnaval verbalisasi yang lancung atas berbagai kata dasar demi kepentingan pribadi, keluarga, puak, golongan, organisasi sosial- politik di muka umum. Kita menjadi penonton yang dari hari ke hari kian muak. ”Saya terima jabatan ini sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa.” 

Verbalisasi para pejabat publik dan politikus yang tengah mengemban tugas negara atas verba, adjektiva, ataupun nomina lebih banyak yang condong kepada pembelaan diri. Pembenaran atas tindakan lancung, eufimisme atau penabiran vulgaritas citra diri, sekaligus memoles citra diri terseleksi demi tujuan-tujuan serong. 

Tahun 2013 adalah tahun panas sebab dua belas bulan yang tersedia merangkum hari-hari pergerakan menuju tahun puncak periode politik nasional, yakni Pemilihan Umum 2014. Alangkah malang nasib orang Indonesia apabila mengingat bahwa kita akan mengalami badai verbalisasi sesat dan menyesatkan yang lebih hebat. Bergepok-gepok janji ditebar di jalan-jalan oleh mulut-mulut yang akan lebih sering tersenyum.

Bukan Pepesan Kosong

Verbalisasi itu tidak hanya menyergap kita dalam wujud suara, tetapi juga cetakan di berbagai media grafis. Karena ujaran Dicky Chandra tersebut di negeri ini merupakan anomali, rasanya sulit kita mengharapkan plastisitas semantik yang serupa.

Plastisitas semantik yang akan sering muncul adalah yang mengecoh dan menganggap bodoh publik. Saking sederhananya ucapan mantan pejabat ini hingga ditenggelamkan gebyar berita pesta akhir tahun, bencana banjir, dan gosip dunia hiburan, mungkin sedikit sekali yang hirau akan arti pentingnya. 

Verbalisasi itulah yang seharusnya diartikulasikan tokoh publik meski dia bukan lagi pejabat. Apalagi pejabat yang masih aktif, yaitu verbalisasi yang dikonkretkan dengan tindakan nyata, bukan pepesan kosong. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar