Rabu, 16 Januari 2013

Kecelakaan Jagorawi, Hatta, dan Kontestasi 2014


Kecelakaan Jagorawi, Hatta, dan Kontestasi 2014
Bawono Kumoro ;  Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 16 Januari 2013



Hajatan pesta demokrasi pemilihan presiden tahun 2014 memang masih sekitar satu setengah tahun lagi. Meskipun demikian, para tokoh telah mulai aktif tampil di muka publik untuk menggalang dukungan dan memperkenalkan diri sebagai calon presiden (capres).

Sejauh ini paling tidak ada tiga tokoh yang secara tersirat telah menunjukkan niat politik untuk ambil bagian dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2014. Ketiga tokoh itu adalah Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Hatta Rajasa. Dalam forum rapat pimpinan nasional partai mereka masing-masing, ketiga tokoh itu secara tersirat telah menunjukkan niat politik untuk maju sebagai capres dalam pilpres tahun 2014.

Namun, patut diingat bahwa di era pelilihan secara langsung seperti saat ini modal dukungan partai politik saja tidak cukup. Tingkat popularitas seorang kandidat turut memainkan peran penting dalam menentukan hasil akhir kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Jika seorang kandidat memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata publik, hampir dapat dipastikan ia memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi pula.

Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi bukti konkret hal itu. Pada pemilu 2004, Partai Demokrat selaku pendukung utama SBY hanya memperoleh suara 7,45 persen sehingga secara matematis peluang SBY untuk menduduki kursi kepresidenan pun kecil.

Namun, realitas politik berbicara lain. Pada pilpres putaran kedua SBY berhasil meraup suara 60,62 persen. Hal serupa kembali terjadi pada pemilu 2009. SBY berhasil tampil sebagai pemenang pilpres hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara 60,80 persen, jauh melampaui perolehan suara Partai Demokrat sebesar 20,85 persen.

Selain soal popularitas, seorang capres mutlak juga harus disukai oleh para calon pemilih. Mungkin saja sebagian besar publik mengenal nama Aburizal Bakrie, Prabowo, dan Hatta. Tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah pengenalan publik terhadap ketiga tokoh itu berada dalam konteks citra positif atau citra negatif?

Di tingkat ini Aburizal Bakrie akan menghadapi hambatan serius. Ada dua kasus pemicu kemunculan resistensi publik terhadap ambisi Aburizal Bakrie untuk maju dalam pemilihan presiden tahun 2014. Pertama, bencana luapan Lumpur Lapindo.
Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh oleh PT Energi Mega Persada. PT Energi Mega Persada merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie.

Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan lumpur Lapindo, Aburizal Bakrie juga berpotensi tersandung skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin.

Hal tidak jauh berbeda turut dialami Prabowo. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini memiliki cacat masa lalu berupa rekam jejak buruk semasa masih aktif di dunia militer. Prabowo dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab atas penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi menjelang kejatuhan rezim Orde Baru.

Apabila dibandingkan dengan ketiga tokoh itu, praktis nama Hatta memiliki citra relatif bersih dan bebas dari beban sejarah masa lalu. Realitas itu secara tidak langsung telah mendorong lawan-lawan politik Hatta untuk mulai memunculkan citra negatif terhadap diri ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.

Citra Negatif

Polemik beberapa hari belakangan ini terkait kasus kecelakaan lalu lintas tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu Hatta, Rasyid Amrullah Rajasa, dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk memunculkan citra negatif tersebut.

Mungkin benar apa yang dikatakan sejumlah kalangan bahwa tahun 2013 merupakan tahun pemanasan bagi jagad politik Indonesia. Berbagai pertempuran politik akan semakin intens terjadi menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014. Demi kepentingan politik masing-masing tidak akan ada rasa sungkan untuk membuka aib dan kelemahan lawan-lawan politik, meskipun berupa musibah kecelakaan tidak disengaja.

Sebagaimana diketahui, pada Selasa (1/1) lalu, mobil BMW X5 dengan nomor polisi B 272 HR yang dikemudikan Rasyid Amrullah Rajasa terlibat kecelakaan dengan mobil Luxio di KM 3.350 Tol Jagorawi arah Bogor. Mobil BMW X5 itu menabrak bagian belakang mobil Luxio sehingga pintu terbuka mengakibatkan lima penumpang terlempar keluar seketika, dan dua orang di antaranya meninggal dunia.

Segera setalah peristiwa itu terjadi, berbagai respons muncul di muka publik, tidak terkecuali dari kalangan elite politik. Sebagai contoh, politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan kasus ini bisa bergulir menjadi bola panas yang berakibat negatif bagi rencana pencalonan Hatta dalam pemilihan presiden tahun 2014.

Bahkan, tidak sedikit pihak berprasangka Hatta akan menggunakan pengaruh dan posisi pejabat publik yang dimilikinya untuk mengintervensi proses hukum sang anak.
Sadar dengan kemunculan berbagai prasangka dan tudingan itu Hatta kemudian mengambil langkah-langkah untuk menetralisasi keadaan. Tanpa menunggu hari berganti, Hatta memutuskan untuk mengunjungi para keluarga korban untuk meminta maaf atas kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sang anak dan mengakibatkan korban jiwa.

Di samping itu, Hatta pun legowo menerima keputusan pihak kepolisian yang menetapkan Rasyid sebagai tersangka kecelakaan Jagorawi. Di masa lalu, penetapan seorang anak pejabat atau pejabat sebagai tersangka hampir dipastikan tidak akan pernah terjadi. Mereka seakan mendapatkan keistimewaan tersendiri karena tidak pernah tersentuh hukum. Hal seperti itu tidak berlaku di era demokrasi penuh keterbukaan saat ini.

Bahkan, dalam kasus kecelakaan Jagorawi, Hatta mengantarkan langsung sang anak ke pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum setelah pulih dari perawatan luka dan trauma pascakecelakaan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.

Kesediaan untuk bertanggung jawab dan menaati proses hukum itu diyakini tidak akan menjadi batu sandungan bagi rencana pencalonan Hatta dalam pemilihan presiden tahun 2014. Alih-alih menjadi batu sandungan, sikap itu boleh jadi akan dilihat publik sebagai acuan (benchmark) bersikap dari Hatta terkait komitemen dalam penegakan hukum di Indonesia manakala ia menjadi pemimpin kelak.

Akhirnya, konsistensi Hatta terhadap janji kesediaan untuk bertanggung jawab dan menaati proses hukum kini tengah diuji dalam beberapa minggu ke depan.
Jika kelak publik menilai Hatta lulus dalam ujian ini, itu dapat menjadi nilai plus tersendiri bagi pencalonan Hatta sebagai presiden dalam pemilihan presiden tahun 2014. Sebaliknya, jika publik menilai Hatta gagal dalam ujian ini, bukan mustahil pencalonan Hatta sebagai capres mengalami ganjalan serius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar