Becermin dari
Keterbelakangan Kita
Doni Koesoema A ; Pemerhati
Pendidikan
|
KOMPAS,
14 Januari 2013
Laporan The Learning Curve (2012) semakin
mengukuhkan Indonesia sebagai negara terbelakang dalam dunia pendidikan!
Hasil
perbandingan antarnegara yang mengikuti uji internasional seperti PISA (matematika,
sains, dan membaca), TIMSS (untuk matematika), dan PIRLS (untuk kemampuan
baca) memosisikan Indonesia sebagai juru kunci dengan Z-Score -2,03 di bawah
standar deviasi.
Laporan
internasional itu mestinya membuat kita becermin. Dengan skor sebagai juru
kunci dalam kualitas pendidikan internasional, sulit bagi bangsa ini bisa
bersaing di masa depan dengan bangsa lain jika hal-hal fundamental tidak
dibenahi.
Laporan
The Learning Curve memberikan lima
pelajaran bagi pengambil kebijakan pendidikan jika sebuah negara ingin
sukses.
Pertama,
dalam dunia pendidikan tak berlaku panasea. Tidak ada obat mujarab untuk
menyembuhkan seluruh penyakit yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Riset
The Learning Curve menunjukkan
bahwa solusi simplisistis bagi dunia pendidikan tak akan menyelesaikan
kompleksitas persoalan. Anggaran negara yang besar, biaya ujian nasional,
tingginya uang sekolah yang ditarik dari orangtua yang memasukkan anaknya di
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tidak menjamin kualitas pendidikan
meningkat.
Lalu
apa yang dibutuhkan? Tak lain adalah sistem pendidikan jangka panjang, yang
fokus pada perbaikan kinerja pendidikan di setiap dimensi. Inilah yang
disebut dengan visi pendidikan. Kegalauan dunia pendidikan saat ini terjadi
karena politisasi pendidikan, pragmatisme demi kebutuhan sesaat, serta
lemahnya analisis fundamental yang mengarahkan prioritas kebijakan pendidikan
kita saat ini.
Kedua,
hormati guru. Guru yang baik dan berkualitas memang syarat bagi peningkatan
kualitas pendidikan yang baik. Untuk menjaga dan mengembangkan mereka, kita
tidak harus berkutat pada diskusi mengenai gaji yang tinggi.
Guru
perlu dipandang sebagai individu profesional yang bermartabat. Jangan jadikan
mereka seperti salah satu mesin. Kebijakan pemerintah untuk menghargai guru
berdasarkan jam mengajar saja tak adil. Guru yang mengajar 24 jam per minggu,
faktanya ia mengajar 92 jam per bulan! Istilahnya, mengajar sebulan dibayar
untuk seminggu!
Ketiga,
kultur itu bisa berubah. Asumsi-asumsi kultural dan nilai-nilai yang
melingkupi dunia pendidikan bisa jadi faktor pendukung ataupun penghambat.
Kultur memiliki kekuatan mengatasi sistem pendidikan sebaik dan sekokoh apa
pun. Ini terjadi karena kultur merupakan apa yang sesungguhnya dihidupi oleh pelaku
dalam dunia pendidikan sendiri, baik itu pemimpin sekolah, kepala dinas,
orangtua, guru, siswa, maupun masyarakat.
Kultur
ketakadilan telah mengeroposkan dunia pendidikan kita. Praktik jual beli
nilai, sistem katrol nilai, maraknya ketidakjujuran melalui kegiatan
mencontek, dan tak adanya akuntabilitas keuangan ataupun manajerial dalam
dunia pendidikan membuat kita berkutat dalam posisi juru kunci di antara
bangsa-bangsa dalam persaingan pendidikan.
Kultur
ini bisa berubah. Sayangnya, gegap gempita gerakan pendidikan karakter yang
dikembangkan masih berkutat pada masalah teknis dan administratif, terbatas
pada pengajaran klasikal daripada perbaikan dimensi
Keempat,
orangtua bukanlah musuh ataupun penyelamat dunia pendidikan. Orangtua
menginginkan anak mereka memperoleh pendidikan yang berkualitas. Tekanan dan
tuntutan orang tak bisa dipandang sebagai rasa permusuhan, tetapi perlu
dipandang sebagai tanda bahwa ada yang kurang lengkap dalam pendidikan kita.
Meski demikian, tuntutan orangtua tidak harus selalu dipandang sebagai
satu-satunya obat manjur yang harus dituruti. Yang dibutuhkan adalah sistem
pendidikan yang mengajak orangtua bekerja sama (bukan hanya dibutuhkan saat
butuh uang) dengan memberikan informasi, serta memfasilitasi keterlibatan
mereka demi perbaikan dunia pendidikan.
Kelima,
didiklah anak-anak untuk masa depan, bukan untuk masa sekarang saja. Ini
berarti dunia pendidikan mesti melihat jauh ke depan dan mempersiapkan mereka
memasuki tantangan yang mengadang ke depan.
Tidak
ada yang salah membekali anak-anak kita dengan bahasa asing. Juga tak ada
yang salah melengkapi sekolah dengan sarana dan prasarana yang baik, dengan
guru-guru berkualitas.
Masyarakat
semestinya menuntut pemerintah bekerja lebih keras dan giat serta memberi
mereka pekerjaan yang tidak
Metode
kalkulasi Z-Score, yang mendudukkan
Indonesia di juru kunci kualitas pendidikan internasional, mungkin masih bisa
diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik. Namun, daripada berdebat masalah
teknis, mestinya kita bisa lebih belajar dari hasil ini: mengakui kekurangan
dan kelemahan kita serta berani memulai mengambil kebijakan yang baru
berdasarkan prioritas, serta visi jauh ke depan. ●
|
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus