Senin, 24 Desember 2012

Hari Perempoean


Hari Perempoean
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 23 Desember 2012

  

Kita mengenalnya sebagai Hari Ibu dan memperingatinya setiap 22 Desember. Tetapi aslinya,pada 22 Desember 1928,yang terjadi di Yogyakarta adalah sebuah kongres perempuan yang waktu itu masih dieja “perempoean”. 

Benar yang hadir ibu-ibu, tetapi tidak seperti ibu-ibu Dharma Wanita zamannya Bu Tien Suharto; ibu-ibu di kongres itu lebih suka dipanggil sebagai kaum perempuan, karena mereka memang mewakili berbagai organisasi perempuan di Indonesia saat itu. Topik-topik yang dibahas dalam kongres 84 tahun lalu itupun lebih banyak mengenai masalahmasalah keperempuanan sebagai gender, bukan khusus tentang ibu yang berperan sebagai pendamping suami dan pengasuh anak-anak. 

Karena itu, dalam acara puncak peringatan hari Ibu yang diselenggarakan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 18 Desember 2012 lalu, Presiden SBY dalam kata sambutannya berpesan agar kita semua, terutama para pejabat publik senantiasa menghormati lembaga perkawinan dan mematuhi UU Perkawinan (UU Nomor 1/1974). 

Pesan Presiden SBY tersebut (walaupun tidak secara eksplisit diutarakan oleh beliau) ada kaitannya dengan peristiwa sebelumnya, yang sampai sekarang masih hangat dibicarakan, yaitu pernikahan siri Bupati Garut Aceng Fikri (AF) dengan seorang gadis berusia belum 18 tahun bernama Fany Octora (FO),yang sesudah empat hari diceraikannya, konon hanya melalui SMS. Peristiwa ini baru mencuat beberapa bulan kemudian, yaitu setelah keluarga FO melapor ke polisi,gara-gara FO stres karena perlakuan Bupati AF.

Tentu saja stres! Siapa yang tidak stres kalau dalam empat hari nikah langsung dicerai, apalagi dengan alasan bahwa FO sudah tidak perawan lagi. Kalaupun benar bahwa FO sudah tidak gadis,alangkah nistanya, kalau AF hanya mencicipinya selama beberapa hari dengan menikahinya (alasannya untuk menghindari zina) dan setelah itu dicampakkan begitu saja. Apalagi kalau FO ternyata adalah seorang perawan tingting (tidak ada hubungannya dengan Ayu Tingting), yang sesudah diperawani oleh AF, kemudian dibuang oleh AF sendiri dengan menyatakan sudah tidak perawan lagi. 

Nauzhubillahi minzalik. Inilah yang membuat masyarakat marah dan membuat Presiden SBY geram (walaupun wajah dan bicaranya seperti biasa, datar saja) dan mengucapkan kalimat-kalimat tersebut di atas. Di balik pesannya tentang lembaga perkawinan dan UU Perkawinan itu, terkandung keprihatinan beliau dan keprihatinan kita yang menentang perilaku Bupati AF itu, tentang nasib dan status perempuan di negeri ini yang masih sering menjadi sasaran pelecehan kaum lelaki. 

Bukan hanya lelaki hidung belang, yang hidungnya mulus seperti Bupati AF pun ikut-ikutan melecehkan perempuan. Anehnya, dalam diskusidiskusi dan perdebatan tentang kasus Bupati AF ini, termasuk perdebatan dalam forum Indonesia Lawyers Club (yang isinya bukan hanya ahli hukum, melainkan bisa setiap orang, pokoknya ahli debat) di salah satu stasiun televisi di Jakarta, yang menjadi pokok bahasan hanya kontradiksi antara hukum syariah (perkawinan itu sah jika memenuhi rukun perkawinan) dan UU Perkawinan atau hukum negara (setiap perkawinan harus dicatat oleh pemerintah agar negara bisa menjamin hak-hak setiap orang yang terlibat atau hasil dari perkawinan itu: suami istri dan anak-anak). 

Bahkan seorang Profesor Azyumardi Azra pun, dalam debat itu, tidak dapat mengelak bahwa perkawinan AF dan FO sah menurut hukum Islam, karena rukun perkawinan dalam Islam hanya lima, yaitu ada mempelai wanita dan pria,ada wali dari pihak wanita, ada dua orang saksi (harus laki-laki), ada ijab (penyerahan pengantin wanita kepada pengantin pria) dan ada qabul (ucapan penerimaan pernikahan dari pengantin pria).

Tidak ada dalam rukun itu keharusan mencatatkan perkawinan atau minta izin istri pertama dan lain-lain seperti tercantum dalam undang-undang. Padahal, bukan sah-tidaknya atau dicatat-tidaknya suatu perkawinan. Dalam pernikahan massal yang sering di-selenggarakan dinas sosial bagi orang-orang yang tidak mampu, banyak di antara pasangan itu yang sebelumnya tidak pernah menikah secara agama (Islam), apalagi dicatat perkawinannya di KUA (kantor urusan agama). 

Terlalu besar ongkosnya bagi mereka yang tidak mampu. Tetapi mereka (“suami”, “istri” dan anak-anaknya) hidup rukun, sakinah, mawadah wa rahmah. Di sisi lain, walaupun hampir tidak pernah diungkapkan hari ini, almarhum Bung Karno menikah sembilan kali, dan masyarakat, khususnya para aktivis perempuan ketika itu sangat menentangnya.Tetapi karena Bung Karno bukan seorang bupati, melainkan presiden, maka beliau bisa maju terus, pantang mundur; walaupun saya yakin kualitas keluarganya tidak mungkin sakinah, mawaddah, warahmah seperti pasangan-pasangan miskin yang dinikahkan oleh dinas sosial itu tadi. 

Tetapi apakah perkawinan poligami selalu berujung ketidakbahagiaan seperti nasib FO dan banyak yang lain? Di Malaysia dan Brunei Darussalam, misalnya, bahkan para sultan pun berpoligami.Tetapi semua istri resmi. Bahkan di Google,dengan mudah kita bisa mendapatkan foto-foto Sultan Brunei dengan dua istrinya (aslinya tiga orang, tetapi satu diceraikannya) dalam acara-acara resmi. 

Demikian juga ketika saya mengajar selama satu semester di Universitas Malaysia (2008), para mahasiswi yang saya tanya,mengaku tidak keberatan kalau mereka bersuami kelak,suami mereka menikah lagi. Alasan mereka, agama membolehkan. Bahkan di Indonesia pun, ada perkawinan-perkawinan poligami yang sakinah, mawaddah, warahmah (walaupun hanya sedikit). 

Di tahun 1999 ketika saya bertugas di Kalimantan Barat (dalam rangka meneliti kerusuhan antaretnik), saya menjumpai seorang tokoh Melayu, pemimpin sebuah perguruan silat yang sangat dihormati, yang beristri dua dan kedua istri beserta semua anak-anak mereka tinggal serumah. Dua di antara anak-anak itu lulusan IPB dan menjadi dosen di Universitas Tanjung Pura. Begitu juga pemilik restoran Wong Solo, Puspo Wardoyo, beristri empat, dan terang-terangan, malah ada fotonya dengan keempat istrinya, yang wajah keempatempatnya, menurut saya, mirip satu sama lain (lah,kalau mirip, kenapa nggak cukup satu saja, ya?).

Di sisi lain,kita masih ingat betapa populernya Aa Gym sebelum menikah lagi, dan popularitasnya ambruk seketika, begitu ia berpoligami. Jadi, di Indonesia ini kalau mau berpoligami Anda harus jadi penguasa, seperti mantan Wapres Hamzah Haz sehingga tidak ada yang protes, atau jadi orang biasa, sehingga kalaupun ada gosip hanya sebatas lokal saja, atau sebentar saja. Itu berarti bahwa budaya mainstream orang Indonesia adalah monogami, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia muslim. 

Lain dengan di Malaysia atau Brunei, yang orang Melayunya muslim juga. Mereka adalah muslim yang berbudaya poligami. Otomatis para istri di sana, baik yang pertama maupun juniornya, diperlakukan sama dan diberi kedudukan yang sama, sebagaimana Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, menggandeng kedua istrinya dalam upacara-upacara kenegaraan di sana. Jadi selama budaya orang Indonesia adalah budaya monogami, jangan harap poligami berjalan mulus, khususnya kalau yang melakukan adalah tokoh masyarakat atau selebritis. 

Namun karena dasarnya laki-laki itu kebanyakan tidak puas dengan satu, maka ada yang coba-coba,namanya juga usaha. Maka terjadilah perselingkuhan dan perkawinan siri (artinya: rahasia), yang sebetulnya perselingkuhan juga, tetapi ditutup dengan agama supaya tidak berzina (ini namanya pelecehan agama). Ujungujungnya selalu wanita yang dirugikan, seperti kasus Machicha, “istri” almarhum Moerdiono, mantan menteri sekretaris negara zaman Soeharto, yang kesulitan dengan status anaknya yang “tanpa ayah” (dalam akta kelahiran anaknya tertulis: Lahir di luar nikah). 

Nasib malang perempuan seperti inilah yang antara lain diperjuangkan untuk dihapuskan oleh para aktivis perempuan di zaman eyang putri saya, Siti Zahra Gunawan, 84 tahun lalu. Bukan sekadar memberi selamat atau memberi bunga kepada ibu masing-masing atau lomba memasak atau merancang busana, seperti yang banyak dipraktikkan sekarang dalam setiap peringatan hari Ibu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar