Senin, 25 Juni 2012

Strategi Baru Melawan Korupsi


Strategi Baru Melawan Korupsi
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komnas HAM
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2012


DALAM catatan sejarah, Indonesia pernah di kagumi dan dipuja sebagai negeri yang berhamparan mutiara di khatulistiwa, tiada badai, tiada bencana yang menghampiri. Tanahnya subur, rakyatnya makmur, adil, tenteram, gemah ripah loh jinawi.
Ungkapan tersebut kini terasa begitu hambar, kosong, dan kehilangan makna. Entah dosa dan kesalahan siapa, nyanyian pembuluh rindu garapan Koes Plus tiba-tiba sirna dan berganti dengan krisis multidimensional.

Mulai bencana, aneka kriminal yang datang silih berganti, berbagai penyakit medis, dan moral yang mewabah, hingga impitan ekonomi yang mendera kalangan papa akibat krisis energi dan anggaran negara. Semuanya bersatu menyempurnakan petaka di zamrud kha tulistiwa. Ibarat kaleng yang tertimpa benda keras, negeri kita betul-betul dalam keadaan ringsek berat.

Sebagai masyarakat religius, seyogianya kita menyikapi rangkaian persoalan tersebut sebagai hal yang mempunyai hubungan kausalitas dengan tingkah laku kita selama ini. Betapa tidak, Peter Drucker pernah berkesimpulan bahwa suatu negara mengalami keterpurukan karena negara itu salah urus.

Harus diakui bahwa meski reformasi telah bergulir lebih satu dekade, rupanya kita termasuk kaum yang tidak amanah mengelola potensi negara dengan baik. Dewasa ini negeri kita dikenal sebagai bangsa terkorup di dunia. Begitu parah dan seriusnya, tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia hingga menjangkau seluruh elemen bangsa, membawa akibat sangat jauh terhadap kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Tidak mengherankan jika Sang Mahapemberi menurunkan bencana yang tak berkesudahan sebagai ujian, peringatan, dan teguran kalau bukan hukuman.

Dalam catatan sejarah, tipikor dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga menyengsarakan suatu bangsa. Rezim Chiang Kai Shek di Tiongkok, Ngo Dim Diem di Vietnam, Raja Farouk di Mesir, Raja Idris di Libia, Ferdinand Marcos di Filipina, dan Soeharto di Indonesia adalah akibat langsung dari tipikor yang meluas.

Aroma Kenduri

Ironisnya, meski saat ini tengah dilancarkan gerakan antitipikor di Tanah Air, aroma kenduri tipikor hingga kini masih saja tercium di mana-mana. Padahal kita telah memiliki institusi pemberantasan tipikor yang berlapis-lapis, bahkan perangkat hukum pemberantasannya telah mencantumkan ancaman yang sangat keras. Tetapi output pencapaian hasil ternyata tidak signifikan.

Andi Hamzah menilai ancaman pidana UU Tindak Pidana Korupsi sungguh mengerikan (pidana mati atau seumur hidup). Namun sampai sekarang belum pernah ada pelaku tipikor yang dijatuhi vonis seumur hidup apalagi dihukum mati.

Ini berarti bahwa tindakan represif semata, apalagi jika dilakukan dengan sete ngah hati dan hanya diterapkan kepada lawan politik, tidak akan ada hasilnya.

Pengalaman membuktikan bahwa 28 tahun berlakunya UU No 3/1971, hasilnya hampir nihil. Perbaikan perundang-undangan hanya salah satu sarana dalam mem berantas tipikor, sarana terpenting ialah penegak hukum yang jujur, cakap, serta integritasnya terjamin (KPK dan pengadilan tipikor) disertai political will pemerintah.

Tidak kurang pentingnya ialah kesadaran hukum rakyat tentang perlunya ikut serta memerangi tipikor. Pengalaman pemberantasan tipikor di Hong Kong dimulai pada saat pembentukan KPK. Daya ke berlakuan hukum menggunakan asas nonretroaktif, artinya kasus artinya kasus kasus tipikor yang terjadi sebelum re formasi diposisikan sebagai kesalahan kolektif yang harus di per tang gungjawabkan bersama. Sedangkan kasus besar tipikor di dunia perbankan, mark up pada proyek-proyek besar akan tetap dilakukan proses hukum.

Nihilkan peran DPR

Adapun pengalaman pemberantasan tipikor di Thailand dimulai dengan menciptakan National Counter Corruption Commision. Dalam hal ini intervensi DPR maupun perdana menteri dinihilkan dalam penyusunan anggota dan pertanggungjawaban komisi, meski UU disusun oleh DPR. Di sini kepentingan nasional berada di atas semua kepentingan kelompok dan golongan.

Harus diperhatikan bahwa praktik tipikor telah mendunia sehingga menimbulkan reaksi global pula untuk memberantasnya. Amerika Serikat pada 1977 telah menyusun UU antipenyuapan kepada pihak asing yaitu Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang diubah pada 1988.

Kemudian sebanyak 29 negara maju bersatu dalam mengkriminalisasi penyuapan terhadap pejabat (pemerintah) asing pada 1988, dengan nama Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Selanjutnya negara-negara di Amerika mengadakan konvensi melawan tipikor (Inter American Convention Against Corruption). Begitu pula PBB telah mengadopsi Konvensi tentang Antikorupsi 2003 dan Konvensi Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah kita ratifikasi. Transparansi Internasional di Berlin juga giat melakukan pemantauan. Salah satu hasil laporannya menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara keempat terkorup di dunia. Bank Dunia dan badan-badan antitipikor beserta IMF selalu mengaitkan pinjaman dengan pemberantasan tipikor di negara peminjam, termasuk Indonesia.

Tekanan publik ke arah terciptanya pemerintahan yang bersih sangat menonjol, misalnya kampanye untuk tidak memilih pejabat publik dari figur yang terindikasi korupsi. Berlainan dengan Indonesia yang justru menampilkan koruptor yang menyewa demonstran demi mempromosikan di rinya menduduki jabatan publik.

Berdasarkan pengalaman di mancanegara kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam memberantas tipikor, ancaman pidana berat bukanlah faktor yang paling esensial. Sistem manajemen negara yang rawan tipikor harus ditanggulangi lebih dahulu sebelum mengambil tindakan represif.

Umumnya hukum pidana materiil yang diterapkan di negara-negara itu ialah delikde lik tipikor yang tersedia dalam KUHP tanpa mengubah ancaman pidananya menjadi lebih berat sebagaimana dilakukan di Indonesia.

Sayangnya pemberlakuan sistem pembalikan beban pembuktian (shifting burden of proof), yang merupakan penyimpangan dari asas hukum pidana universal yaitu pressumption of innocence, dalam UU Tipikor kita hanya berfungsi sebagai kosmetik hukum.

Meski banyak kasus tipikor yang layak diberantas dengan sistem tersebut, aparat penegak hukum sendiri yang sering mengabaikannya. Mengingat tipikor di negeri kita sudah melintasi stadium kronis bahkan akut, terapi konvensional tidak efektif lagi menjangkau sasaran, perlu strategi baru untuk menaklukkan tipikor sebagai extraordinary crimes.

Kalau KPK di Australia dan Singapura berfungsi sebagai pengisap debu (vacuum cleaner), di Malaysia dan Hong Kong sebagai sapu ijuk dalam rumah, di Thailand sebagai sapu lidi di pekarangan, KPK di Indonesia harus berfungsi seperti buldoser karena tipikornya sudah menggunung.

Karena itu, tekad untuk memberantas tipikor tidak dapat dilakukan tanpa sistem yang jitu, objektif, berani dan berkeadilan, lepas dari dendam yang membabi buta. Pengalaman yang bermanfaat dari mancanegara dalam memberantas tipikor semestinya dipelajari, dikaji, diadopsi yang baik dan telah terbukti efektif, memperbaiki yang kurang.

Keadaan objektif di lapangan sangat berbeda. Karena terlalu jauh menyimpang dari jalur hukum selama bertahuntahun, banyak jenis perbuatan yang sudah termasuk tipikor justru dirasakan oleh banyak orang sebagai hal biasa, bukan tipikor.

Parahnya lagi karena aparat penegak hukum justru sering membebaskan atau meminimalkan hukuman kepada pelaku tipikor berdasarkan independensi dan interpretasinya maupun karena koneksi dengan mafia peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar