Senin, 25 Juni 2012

Dampak Lanjutan Krisis Eropa


Dampak Lanjutan Krisis Eropa
A Prasetyantoko ;  Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


Mungkin benar, kemenangan ”Der Panzer” atas Yunani di perempat final menunjukkan hegemoni Jerman. Beberapa jam sebelum pertandingan, Angela Merkel bertemu dengan Presiden Perancis Francois Hollande, Perdana Menteri Italia Mario Monti, dan Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy di Roma untuk menyepakati ”pakta pertumbuhan Eropa”.
Pertemuan itu, terutama Jerman, setuju menambah modal guna mendorong pertumbuhan Eropa. Syaratnya, ada integrasi politik lebih besar sehingga posisi Jerman di Eropa semakin dominan.

Mungkin juga benar, Piala Eropa (Euro 2012) menjadi representasi sekaligus simulasi kondisi politik-ekonomi Eropa menghadapi krisis.

Paling tidak, bagi tim analis ABN-AMRO, korelasi keduanya menjadi hal serius, tecermin dalam laporan mereka berjudul ”Soccernomics 2012”.

Satu yang pasti, baik krisis maupun sepak bola, keduanya mengandung ketidakpastian sangat tinggi.

Hasil pemilu Yunani memberi napas lega sejenak. Namun, pemerintahan Antonis Samaras yang setuju dengan bail out (dana talangan) menghadapi persoalan sistemik begitu akut.

Daya saing Yunani, dan sebagian besar negara zona euro, sangatlah rendah. Satu- satunya negara dengan surplus perdagangan solid hanyalah Jerman.

Dalam zona euro sendiri terjadi ketidakseimbangan (imbalances) ekonomi yang begitu besar. Belum lagi terhadap wilayah lain. Bagaimana Eropa bisa keluar dari situasi buruk ini?

Dua ekonom ternama, Aaron Tornell dan Frank Westermann, menulis opini di surat kabar International Herald Tribune (22/6) tentang integrasi perbankan (moneter) Eropa.
Mereka mengusulkan Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi semacam The Fed (bank sentral Amerika Serikat). Sementara bank sentral negara masing-masing menjadi seperti 12 Federal Reserve Banks di AS.

Di sisi lain, IMF juga mendorong integrasi fiskal melalui penerbitan eurobonds untuk menyelesaikan persoalan likuiditas bank-bank bermasalah.

Skenarionya, bail out diberikan langsung kepada bank melalui Fasilitas Stabilitas Finansial Eropa (EFSF) atau Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM), tak lagi dengan perantara.

EFSF ataupun ESM diperkirakan butuh 750 miliar euro lebih, dengan andalan utama Jerman. Namun, negara ini mengalami trauma dalam proses integrasi Jerman Barat dan Timur karena harus mentransfer dana sangat besar ke bagian timur untuk rekonstruksi.

Belajar dari pengalaman tersebut, Jerman meminta jaminan penyatuan politik lebih besar di kawasan Eropa.

Ketidakpastian Eropa masih ditambah dengan suramnya proyeksi perekonomian global. Baru saja AS mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2012 dari 2,4-2,9 persen menjadi 1,9-2,4 persen serta proyeksi pengangguran dari 7,8-8,0 persen menjadi 8,0-8,2 persen.

Belum lagi penurunan peringkat 15 bank besar yang baru saja dilakukan lembaga pemeringkat Moody’s.

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah kita menghadapi ketidakpastian tersebut?
Crisis Management Protocol harus dirancang dengan baik, terutama terkait dengan masa transisi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

Tekanan pada sektor keuangan dipastikan masih akan terus terjadi sehingga dibutuhkan manajemen ekspektasi supaya indeks pasar saham, nilai tukar, dan cadangan devisa berada pada batas yang bisa ditoleransi.

Meski masalah fundamental adalah kunci, persoalan ekspektasi juga penting dikelola. Namun, jangan sampai terlena mengurusi ekspektasi (jangka pendek) tanpa mengerjakan hal fundamental (jangka panjang). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar