Ekonomi
Hijau dan Policy Energi
Ahmad
Erani Yustika ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur
Eksekutif Indef
Sumber
: JAWA POS, 25 Juni 2012
"Masalah
primernya adalah digunakannya alasan konservasi lingkungan untuk meminggirkan
petani/pekebun dari tanahnya atas nama regulasi. Selanjutnya, regulasi itu
ternyata diproduksi untuk melayani korporasi kakap..."
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 (19-21 Juni 2012) yang menghasilkan dokumen The Future We Need telah usai, namun menyisakan pesimisme bagaimana konsep itu dapat dijalankan. Akhir bulan lalu (29-30 Mei 2012), saya juga mngikuti pertemuan dengan para aktivis organisasi nonpemerintah (NGO) Asia yang menangani isu-isu konflik lahan/pertanian, buruh migran, dan eksplorasi sumber daya alam. Delegasi yang datang cukup banyak. Sekurangnya dari Filipina, India, Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan Hongkong.
Pertemuan NGO ini memiliki dua agenda yang mirip dengan KTT Rio+20. Pertama, membahas konsep dan implementasi green economy. Kedua, merumuskan gerakan sosial Asia (Asia social movement) atas praktik ekonomi-politik yang terus meminggirkan sebagian besar masyarakat. Pada sesi diskusi soal pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada lingkungan (ekonomi hijau), para aktivis menolak ekonomi hijau itu karena di lapangan praktiknya tidak lebih pengusiran rakyat dari sumber daya ekonomi (alam) atas nama konservasi.
Peminggiran Warga
Konsep ekonomi hijau sendiri sebetulnya berorientasi untuk mengurangi dan menghilangkan aktivitas ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan. Sekurangnya terdapat empat sektor yang menjadi fokus ekonomi, yaitu: (1) pemindahan kegiatan ekonomi yang bertumpu energi tak terbarukan kepada energi yang terbarukan (renewable resources); (2) pembangunan gedung-gedung yang ramah lingkungan dan teknologi yang efisien energi; (3) pembenahan infrastruktur dan transportasi yang efisien energi; dan (4) pengembangan daur ulang dan sampah untuk penciptaan energi (Eco Canada, 2010).
Dengan deskripsi tersebut, ekonomi hijau tak hanya berorientasi kepada penciptaan energi yang bersih, tapi juga desain teknologi yang membantu terjadinya proses produksi yang ramah lingkungan. Konsep ini tentu harus disambut dengan tangan terbuka, mengingat model pembangunan yang dikerjakan selama ini telah membuat luka lingkungan yang teramat dalam.
Ternyata konsep yang bagus itu tidak mudah dilakukan di lapangan. Entah karena faktor benturan dengan persoalan ekonomi riil yang dihadapi masyarakat (kemiskinan dan pengangguran) maupun jebakan pemilik modal (korporasi). Di negara yang relatif kaya sumber daya alam sekaligus marak dengan masalah kemiskinan, seperti Indonesia, tentu tidak gampang memindahkan aktivitas keseharian masyarakat yang bertumpu kepada pemanfaatan sumber daya alam (yang dianggap merusak lingkungan) menuju kegiatan ekonomi lain.
Di sini diperlukan penciptaan kegiatan ekonomi dan peningkatan keterampilan agar warga tersebut nyaman bekerja di bidang lain. Tapi, ini isu sekunder. Masalah primernya adalah digunakannya alasan konservasi lingkungan untuk meminggirkan petani/pekebun dari tanahnya atas nama regulasi. Selanjutnya, regulasi itu ternyata diproduksi untuk melayani korporasi kakap yang hendak mengolah lahan konservasi tersebut.
Realitas itulah yang membuat konflik lahan makin intensif terjadi akibat implementasi ekonomi hijau yang terjadi belakangan. Aktivis gerakan petani di Jambi, misalnya, menceritakan bagaimana penggusuran petani terjadi secara massif saat pemerintah (daerah) hendak membuat kawasan konservasi. Petani berang bukan semata lahannya hendak diambil alih menjadi kawasan konservasi, melainkan melihat dengan kasatmata upaya itu tak lebih untuk memuluskan perusahaan dalam mengeruk area tersebut.
Jadi, problem implementasi ekonomi hijau bukan dalam tataran konseptual (meski pada aras ini tetap memerlukan penyempurnaan), tapi lebih ketidaksanggupan pemerintah menjamin hak pekerjaan rakyat dan melawan jerat modal korporasi. Seandainya pemerintah menjalankan konsep ini dengam fase yang berurutan (membuka pekerjaan alternatif bagi rakyat/petani dan menjauhkan diri dari kepentingan pemodal), peluang implementasinya menjadi terbuka lebar.
Agenda Hemat Energi
Dengan begitu, ekonomi hijau secara konseptual merupakan keniscayaan untuk diimplementasikan. Hanya ini mesti dibersihkan dari anasir-anasir licik di balik praktik perlindungan pemodal. Bagaimana relasi ekonomi hijau ini dengan kebijakan hemat energi yang disampaikan beberapa waktu lalu? Tentu hubungannya sangat erat, namun program pemerintah itu sangat artifisial.
Pertama, kebijakan itu tidak bisa disebut hemat energi, karena yang terjadi hanyalah pemindahan konsumsi dari premium ke pertamax atau gas (keduanya energi yang tak terbarukan). Kedua, konsep penghematan energi tidak hanya didesain dari sisi hilir (konsumsi energi), namun -seperti di tulis di muka- yang lebih penting adalah pilihan pengembangan teknologi, infrastruktur, dan proses produksi yang hemat energi. Ketiga, lebih mendasar lagi, selama pemerintah masih tergelincir dalam pilihan strategi pertumbuhan untuk memaknai pembangunan, ekonomi hijau dan penghematan energi tak pernah bisa direalisasikan.
Jika pemerintah serius soal penghematan energi itu, ada tiga perkara yang mesti dikerjakan. Pertama, pembangunan tidak boleh diukur dari pertumbuhan. Sebab, di dalam konsep itu terkandung unsur pertambahan output yang mengeskplotasi sumber daya ekonomi, termasuk alam. Pembangunan harus dimaknai sebagai penambahan kapasitas ekonomi.
Kedua, seluruh kebijakan dan pilihan kegiatan ekonomi, infrastruktur, teknologi, moda transportasi, dan proses produksi mengacu kepada pemanfaatan sumber daya ekonomi yang bisa diperbarui dan hemat energi. Ini pekerjaan raksasa karena kepentingan modal akan berupaya memenggal pilihan kebijakan ini.
Ketiga, membuka alternatif pekerjaan dan keterampilan bagi warga yang selama ini menyandarkan kegiatan ekonomi kepada sumber daya alam. Mereka bukanlah makhluk buas yang perlu mengakumulasi kekayaan, tapi hanyalah warga negara yang butuh kepastian hidup secara bersahaja. ●
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 (19-21 Juni 2012) yang menghasilkan dokumen The Future We Need telah usai, namun menyisakan pesimisme bagaimana konsep itu dapat dijalankan. Akhir bulan lalu (29-30 Mei 2012), saya juga mngikuti pertemuan dengan para aktivis organisasi nonpemerintah (NGO) Asia yang menangani isu-isu konflik lahan/pertanian, buruh migran, dan eksplorasi sumber daya alam. Delegasi yang datang cukup banyak. Sekurangnya dari Filipina, India, Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan Hongkong.
Pertemuan NGO ini memiliki dua agenda yang mirip dengan KTT Rio+20. Pertama, membahas konsep dan implementasi green economy. Kedua, merumuskan gerakan sosial Asia (Asia social movement) atas praktik ekonomi-politik yang terus meminggirkan sebagian besar masyarakat. Pada sesi diskusi soal pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada lingkungan (ekonomi hijau), para aktivis menolak ekonomi hijau itu karena di lapangan praktiknya tidak lebih pengusiran rakyat dari sumber daya ekonomi (alam) atas nama konservasi.
Peminggiran Warga
Konsep ekonomi hijau sendiri sebetulnya berorientasi untuk mengurangi dan menghilangkan aktivitas ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan. Sekurangnya terdapat empat sektor yang menjadi fokus ekonomi, yaitu: (1) pemindahan kegiatan ekonomi yang bertumpu energi tak terbarukan kepada energi yang terbarukan (renewable resources); (2) pembangunan gedung-gedung yang ramah lingkungan dan teknologi yang efisien energi; (3) pembenahan infrastruktur dan transportasi yang efisien energi; dan (4) pengembangan daur ulang dan sampah untuk penciptaan energi (Eco Canada, 2010).
Dengan deskripsi tersebut, ekonomi hijau tak hanya berorientasi kepada penciptaan energi yang bersih, tapi juga desain teknologi yang membantu terjadinya proses produksi yang ramah lingkungan. Konsep ini tentu harus disambut dengan tangan terbuka, mengingat model pembangunan yang dikerjakan selama ini telah membuat luka lingkungan yang teramat dalam.
Ternyata konsep yang bagus itu tidak mudah dilakukan di lapangan. Entah karena faktor benturan dengan persoalan ekonomi riil yang dihadapi masyarakat (kemiskinan dan pengangguran) maupun jebakan pemilik modal (korporasi). Di negara yang relatif kaya sumber daya alam sekaligus marak dengan masalah kemiskinan, seperti Indonesia, tentu tidak gampang memindahkan aktivitas keseharian masyarakat yang bertumpu kepada pemanfaatan sumber daya alam (yang dianggap merusak lingkungan) menuju kegiatan ekonomi lain.
Di sini diperlukan penciptaan kegiatan ekonomi dan peningkatan keterampilan agar warga tersebut nyaman bekerja di bidang lain. Tapi, ini isu sekunder. Masalah primernya adalah digunakannya alasan konservasi lingkungan untuk meminggirkan petani/pekebun dari tanahnya atas nama regulasi. Selanjutnya, regulasi itu ternyata diproduksi untuk melayani korporasi kakap yang hendak mengolah lahan konservasi tersebut.
Realitas itulah yang membuat konflik lahan makin intensif terjadi akibat implementasi ekonomi hijau yang terjadi belakangan. Aktivis gerakan petani di Jambi, misalnya, menceritakan bagaimana penggusuran petani terjadi secara massif saat pemerintah (daerah) hendak membuat kawasan konservasi. Petani berang bukan semata lahannya hendak diambil alih menjadi kawasan konservasi, melainkan melihat dengan kasatmata upaya itu tak lebih untuk memuluskan perusahaan dalam mengeruk area tersebut.
Jadi, problem implementasi ekonomi hijau bukan dalam tataran konseptual (meski pada aras ini tetap memerlukan penyempurnaan), tapi lebih ketidaksanggupan pemerintah menjamin hak pekerjaan rakyat dan melawan jerat modal korporasi. Seandainya pemerintah menjalankan konsep ini dengam fase yang berurutan (membuka pekerjaan alternatif bagi rakyat/petani dan menjauhkan diri dari kepentingan pemodal), peluang implementasinya menjadi terbuka lebar.
Agenda Hemat Energi
Dengan begitu, ekonomi hijau secara konseptual merupakan keniscayaan untuk diimplementasikan. Hanya ini mesti dibersihkan dari anasir-anasir licik di balik praktik perlindungan pemodal. Bagaimana relasi ekonomi hijau ini dengan kebijakan hemat energi yang disampaikan beberapa waktu lalu? Tentu hubungannya sangat erat, namun program pemerintah itu sangat artifisial.
Pertama, kebijakan itu tidak bisa disebut hemat energi, karena yang terjadi hanyalah pemindahan konsumsi dari premium ke pertamax atau gas (keduanya energi yang tak terbarukan). Kedua, konsep penghematan energi tidak hanya didesain dari sisi hilir (konsumsi energi), namun -seperti di tulis di muka- yang lebih penting adalah pilihan pengembangan teknologi, infrastruktur, dan proses produksi yang hemat energi. Ketiga, lebih mendasar lagi, selama pemerintah masih tergelincir dalam pilihan strategi pertumbuhan untuk memaknai pembangunan, ekonomi hijau dan penghematan energi tak pernah bisa direalisasikan.
Jika pemerintah serius soal penghematan energi itu, ada tiga perkara yang mesti dikerjakan. Pertama, pembangunan tidak boleh diukur dari pertumbuhan. Sebab, di dalam konsep itu terkandung unsur pertambahan output yang mengeskplotasi sumber daya ekonomi, termasuk alam. Pembangunan harus dimaknai sebagai penambahan kapasitas ekonomi.
Kedua, seluruh kebijakan dan pilihan kegiatan ekonomi, infrastruktur, teknologi, moda transportasi, dan proses produksi mengacu kepada pemanfaatan sumber daya ekonomi yang bisa diperbarui dan hemat energi. Ini pekerjaan raksasa karena kepentingan modal akan berupaya memenggal pilihan kebijakan ini.
Ketiga, membuka alternatif pekerjaan dan keterampilan bagi warga yang selama ini menyandarkan kegiatan ekonomi kepada sumber daya alam. Mereka bukanlah makhluk buas yang perlu mengakumulasi kekayaan, tapi hanyalah warga negara yang butuh kepastian hidup secara bersahaja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar