Menyelamatkan
Janji Kebangsaan
Benny Susetyo ; Pemerhati
Masalah Sosial
Sumber
: SINAR HARAPAN, 23 Juni 2012
Kemajemukan merupakan fakta yang tak bisa
dimungkiri di negeri ini. Namun, ada fakta lain bahwa tidak semua kelompok
memahami dan menyadari kemajemukan ini. Kelompok yang berpandangan demikian
umumnya adalah mereka yang selalu ingin menang sendiri.
Sikap-sikap seperti itu menjadi bibit bagi
maraknya budaya kekerasan di berbagai kalangan, sekaligus mencerminkan
pemerintah tidak maksimal dalam merawat budaya toleran tersebut. Alih-alih
demikian, pemerintah justru sering gagal menegakkan hukum dan memberi sanksi
yang tegas bagi para pelaku kekerasan. Aparat hukum seolah tunduk dengan
ancaman yang dilontarkan.
Fenomena ini merupakan ancaman serius
terhadap toleransi kehidupan kita. Substansi agama tidak pernah mengajarkan
kekerasan, namun berbagai tindak kekerasan bernuansa agama yang terjadi
akhir-akhir ini merupakan catatan hitam bagi pemerintah saat ini.
Kita berhadapan dengan fakta semakin
meningkatnya jumlah kekerasan ini dari tahun ke tahun di satu sisi, dan
menemukan peran pemerintah yang semakin minimal sebagai jembatan untuk
meredakan kekerasan ini di sisi lain.
Janji Kebangsaan
Negara harus mengambil langkah-langkah guna
menyelamatkan janji kebangsaan. Bangsa Indonesia memerlukan pemikiran progresif
untuk menghadapi dan memperbaiki keretakan hidup berbangsa dan bernegara saat
ini. Negara harus mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan kebinekaan dan
janji kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila serta konstitusi Republik
Indonesia.
Perlu revolusi pemikiran dan cara pandang
mengelola bangsa ini. Itu semua dilakukan untuk menciptakan habitus baru dalam
berperilaku.
Ini karena semakin hari bangsa Indonesia
memiliki tugas demikian berat dalam situasi sulit ini. Kita berharap agar para
penyelenggara secepatnya menghentikan upaya pendangkalan kebangsaan dan
pemasungan toleransi yang secara sistematik telah merasuki masyarakat.
Sudah saatnya empat pilar bangsa ini
(Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Binneka Tunggal Ika) kembali dijadikan acuan hidup bersama dalam menata bangsa.
Empat pilar itu sudah tidak boleh hanya
dijadikan slogan. Tetapi, itu merupakan landasan kebijakan politik untuk
mencapai kesejahteraan dengan menata keadaban politik dengan memperjuangkan
nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selama ini ideologi Pancasila tidak pernah
dijadikan acuan kebijakan publik. Orientasi bangsa tersandera perselingkuhan
negara dan pasar. Sementara itu, fungsi silang negara, pasar dan warga tidak
berjalan seimbang dan mengakibatkan negeri ini kehilangan keadaban publik.
Inilah yang membuat bangsa terpuruk dalam jurang kehancuran sempurna.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meskipun
diakui kebutuhannya, tetapi praktiknya di lapangan tak seindah dan semudah
pengucapan slogan itu, karena masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia
yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan
toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Bahkan, kita seolah semakin jauh dari
cita-cita menjadikan negara ini sebagai rumah bersama berbagai golongan.
Pemahaman bahwa kekerasan, apa pun bentuknya dan apa pun alasannya, sama sekali
tidak dibenarkan dalam negara berdasarkan hukum. Kekerasan terjadi sambil
mencari legalitasnya sendiri dan memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa
setiap persoalan mesti diselesaikan dengan kekerasan pula.
Disadari atau tidak. Padahal hanya bangsa
beradab yang mengedepankan akal sehat dalam menyelesaikan segala persoalan yang
dihadapinya.
Walaupun wacana pluralisme dan toleransi
antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik,
praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah
terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan
atas kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku” justru sering
menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan
Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah
pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang
menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi
antarumat beragama di Indonesia.
Serangkaian perusakan, kekerasan, dan
penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama
lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik beberapa tahun lalu merupakan
fenomena menyedihkan. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri
“Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.
Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai
contoh dicederainya kemajemukan bangsa ini. Masalah kebangsaan kita sering
berhadapan dengan problem pluralitas yang semakin sulit dihargai.
Akar kekerasan masih sering terpicu hilangnya
hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi, kebersamaan, pluralisme,
dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik
sensitifnya hubungan agama di Indonesia.
Tantangan Besar
Kondisi ideal toleransi beragama berada dalam
sebuah tantangan yang tidak kecil. Semua bisa dikembalikan pada cara kita hidup
beragama dan pandangan kita terhadap perbedaan. Intoleransi menjadi salah satu
jalan masuk menuju fundamentalisme yang harus benar-benar diperhatikan.
Artinya, dinamika kebebasan
beragama/berkeyakinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir masih dalam
kondisi memprihatinkan. Sebagian besar peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan semuanya berhubungan dengan radikalisme.
Yang paling serius terkait dengan tempat
ibadah kelompok agama minoritas, kriminalisasi keyakinan tertentu, dan hate
speech. Potret mencemaskan terkait kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang
tiga tahun terakhir menunjukkan intoleransi yang semakin menguat dan kegagalan
negara memberi jaminan konstitusional kebebasan sipil warga negara.
Peran negara dalam rangka menjadi mediator
setiap masalah yang mengemuka kembali harus dipertanyakan. Negara tidak bisa
duduk diam dan mengesankan membiarkan masalah yang terjadi. Negara hadir
sebagai solusi, bukan malah menjadi problem dari karut marut dan problemtika
hubungan keagamaan di Indonesia.
Upaya menciptakan toleransi dan kerukunan
antarumat beragama memang sering kali terhalang karena yang ditonjolkan dalam
diri setiap agama bukanlah persamaannya, melainkan perbedaannya.
Sudah dipahami bahwa agama satu berbeda
dengan lainnya, namun jarang dipahami bahwa salah satu cara baik untuk
terus-menerus memperbaiki kehidupan beragama dalam bingkai pluralitas adalah
memperbesar dan menonjolkan aspek persamaan yang ada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar