Sungguh
Saya Tidak Mengerti
Adi Andojo Soetjipto ; Mantan
Hakim Agung
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Iya. Sungguh saya tidak mengerti mengapa
perkara proyek Hambalang yang telah mendengarkan keterangan dari 67 orang belum
juga meningkat pemeriksaannya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Makanya
jangan dimarahi kalau saya jadi bertanya.
Perkara ini pasti perkara yang superhebat, formidable. Bayangkan saja berapa tebal
berkasnya apabila keterangan dari 67 orang itu menjadi berita acara yang
dijahit dalam satu berkas. Berapa berat berkas perkara itu? Mungkin satu orang
tidak kuat mengangkatnya.
Kalau saya dulu diserahi tugas memeriksa
perkara seperti itu, mungkin saya tidak bisa tidur selama berminggu-minggu.
Bisa mati saya dibuatnya.
Untung, sewaktu saya menjadi hakim selama 40
tahun—dari hakim tingkat paling bawah (PN) sampai paling atas (MA)—saya tidak
pernah bertemu perkara yang demikian. Waktu itu (saya pensiun tahun 1997) saksi
perkara korupsi paling banyak 7 orang. Jumlah uang negara yang dikorupsi juga
hanya ratusan juta, tidak sampai miliaran bahkan triliunan seperti sekarang.
Hanya saja, akal manusia untuk ”lari” dari tuduhan tidak berubah.
Petunjuk Banyak
Mendengar keterangan begitu banyak orang
untuk mendapatkan bukti valid, menurut pendapat saya kurang masuk akal. Alat
bukti petunjuk sudah cukup banyak, baik berupa kejanggalan maupun penyimpangan.
Menurut Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan petunjuk adalah ”perbuatan, kejadian, kejadian atau keadaan
karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan
siapa pelakunya”. Dari rumusan itu, jelas ada keadaan yang janggal karena
ada persesuaian dengan tindak pidana penyuapan.
Adanya alat bukti petunjuk itu sudah pasti
bergantung pada pertimbangan hakim. Ia harus arif dan bijaksana menentukan
bukti tidaknya dakwaan yang dituduhkan kepada terdakwa. Namun, selain berpegang
pada alat-alat bukti menurut KUHAP, saya berpendapat bahwa hakim harus berani
melakukan terobosan, seperti yang pernah saya lakukan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1983 ketika saya
harus mengadili perkara Direktur Bank Bumi Daya berinisial RSN yang dituduh
melakukan tindak pidana korupsi (perkara nomor 275 K/Pid/1983). Oleh PN Jakarta
Pusat, terdakwa dibebaskan karena hakim menafsirkan unsur ”melawan hukum” sama
dengan ”melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”.
Asas Kepatutan
Menurut saya, sesuai pendapat yang berkembang
dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak
tertulis ataupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam
masyarakat. Menurut asas kepatutan, khususnya dalam perkara tindak pidana
korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan
serta keuntungan lainnya dari orang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu
menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara
menyimpang, hal itu sudah merupakan ”perbuatan melawan hukum”. Menurut asas
kepatutan itu merupakan perbuatan tercela yang menusuk perasaan hati masyarakat
banyak.
Ayo, siapa mau menggunakan yurisprudensi MA
ini untuk memberantas korupsi di Indonesia? Tidak perlu susah-susah berkutat
secara kaku-beku pada undang-undang sehingga terkesan mengulur-ulur waktu saja.
Carilah solusi yang berani demi bangsa dan
negara. Jadilah pejuang antikorupsi supaya saya tidak sering bertanya lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar