Perbaiki
Manajemen Energi
Kurtubi
; Pengajar Pascasarjana FE UI
Sumber :
SUARA KARYA, 25 Juni 2012
Salah satu fakta betapa manajemen energi nasional selama ini
sangat "buruk", di mana pemerintah terkesan mengabaikan dan
membiarkan kekeliruan terus terjadi, adalah terkait dengan pengelolaan gas
nasional. Selama bertahun-tahun kalangan industri pemakai gas, termasuk
Perusahaan Listrik Negara (PLN), kekurangan gas, namun nyaris tidak pernah ada
solusi yang memadai.
Padahal jumlah cadangan dan produksi gas dalam negeri relatif
"melimpah". Yang sebenarnya terjadi adalah pemerintah salah kelola.
Pemerintah terkesan abai tidak mengambil langkah-langkah konkret yang tepat,
guna memenuhi kebutuhan gas dalam negeri. Semestinya infrastruktur gas sudah
lama dipersiapkan oleh pemerintah sehingga gas yang relatif melimpah di sisi
hulu dapat dialirkan ke konsumen yang sangat membutuhkan, termasuk untuk sektor
transportasi, guna mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Faktanya, pada saat konsumen dan sektor transportasi dalam negeri
kekurangan gas, gas (LNG) dari Tangguh, Papua, terus dikapalkan ke China dengan
harga sangat murah, hanya 3,35 dolar AS/mmbtu, jauh di bawah harga jual gas
untuk dalam negeri sekitar 6 dolar AS/mmbtu. Bahkan, PGN telah menaikkan harga
gas dari 6,7 dolar AS/mmbtu menjadi 10,2 dolar AS/mmbtu, meski belakangan oleh
pemerintah sedikit dikoreksi, namun tetap sekitar 300 persen dari harga jual ke
China. Fakta lain adalah masalah kuota BBM bersubsidi yang setiap tahun selalu
terlampaui dan setiap tahun pula kuota BBM pada akhirnya ditambah. Ini
menunjukkan bahwa mekanisme kuota BBM sebenarnya merupakan kebijakan yang tidak
realistis dan sangat kontraproduktif. Di satu pihak kita ingin adanya
percepatan pertumbuhan ekonomi (GDP), di mana untuk tahun 2012 ditargetkan 6,5
persen, guna dapat lebih banyak menyerap tenaga kerja, tetapi BBM-nya dibatasi.
Mustahil ada pertumbuhan ekonomi tanpa tersedianya energi (BBM) dalam jumlah
yang cukup. Subsidi BBM itu sebaiknya dipecahkan dengan kebijakan diversifikasi,
tidak dengan pembatasan! Sedangkan masalah makin tingginya ketergantungan pada
minyak impor yang telah menyedot devisa dalam jumlah yang sangat besar,
sebaiknya dipecahkan dengan berusaha menaikkan produksi, baik minyak mentah
dengan menyederhanakan sistem maupun produksi BBM dengan membangun kilang baru.
Agar produksi minyak mentah ke depan bisa ditingkatkan, maka
sebaiknya segera mengganti atau mencabut UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas yang menurut survei dari Fraser Institute, Kanada, merupakan penyebab
utama mengapa kondisi investasi dan industri migas di Indonesia sangat buruk,
menempati peringkat 114 dari 145 negara yang disurvei. Lebih buruk dari semua
negara tetangga termasuk Timor Leste, PNG, Vietnam, Filipina, dan sebagainya.
Sejak UU Migas, nyaris tidak ada penemuan cadangan yang signifikan sehingga
produksi terus anjlok, padahal potensi sumber daya migas nasional masih relatif
sangat besar, sekitar 50 miliar BBLS minyak dan sekitar 350 TEF gas. Blok Cepu
yang menjadi satu-satunya harapan terdongkraknya produksi minyak, ditemukan sebelum
UU Migas.
Kalau sistem pengelolaan migas nasional tidak dikoreksi, peluang
Indonesia menjadi negara gagal seperti yang dimuat dalam failed states index yang menempatkan Indonesia berada pada
peringkat 63 dari 178 negara, menjadi makin besar. Hindarilah menjadi negara
gagal antara lain dengan segera memperbaiki manajemen energi/migas nasional! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar