Senin, 25 Juni 2012

Lubang Besar Muhammadiyah


Lubang Besar Muhammadiyah
Nasrullah ;  Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber :  REPUBLIKA, 23 Juni 2012


Ada yang menarik dari kritik mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amien Rais tentang penguasaan media massa oleh umat Islam. Dalam dialog tokoh pada Tanwir Muhammadiyah di Bandung, Kamis (21/6), Amien menyinyalir kesadaran umat Islam, khususnya Muhammadiyah, dalam mengelola media massa masih rendah. Umat Islam belum mengerti pentingnya media sebagai pilar keempat demokrasi. Secara khusus, Amien meng ajak warga Muhammadiyah ikut memiliki perasaan berdosa (guilty feeling) bahwa terdapat lubang besar di tubuh Muhammadiyah, yaitu media massa (Republika, 22/6).

Sebagai sebuah manifestasi kegelisahan, pernyataan tokoh reformasi itu bisa dipahami dari tiga sudut pandang, yakni perjalanan sejarah Muhammadiyah, realitas konglomerasi media saat ini, dan pengalaman sosio-politik Amien dengan keterlibatannya dalam media.
Pertama, sejak didirikan seabad lalu, KH Ahmad Dahlan menggerakkan Muhammadiyah dengan menaruh perhatian besar pada bidang pustaka. Bidang ini menangani publisitas dakwah, pemikiran, dan gerakan yang dipahami serta dilakukan oleh Muhammadiyah melalui media selebaran maupun majalah. Majalah Suara Muhammadiyah pun lahir pada awal 1920-an untuk mewujudkan publisitas dakwah tersebut. Dalam bahasa kekinian, bidang pustaka itu bisa disebut media massa.

Bidang pustaka merupakan salah satu dari tiga bidang yang ditangani Muhammadiyah pada masa-masa awal selain bidang tabligh (dakwah), sekolah (pendidikan), dan pertolongan kesengsaraan oemat (PKO, bidang kesehatan, dan kesejahteraan sosial). Namun, di tengah perjalanan sejarahnya, sementara bidang-bidang lain berjalan relatif sukses, tidak demikian di bidang pustaka.

Bidang tabligh relatif berkembang. Demikian pula pendidikan. Sebaliknya, di bidang pustaka, Suara Muhammadiyah masih relatif menjadi pemain yang kesepian, kecuali ditemani media website resmi Muhammadiyah dan majalah-majalah yang diterbitkan oleh majelis maupun pimpinan wilayah dan daerah Muhammadiyah di berbagai provinsi.

Dari sisi kualitas, konten media-media tersebut juga masih belum mampu menjadi sumber utama informasi dan pencerahan bagi warga Muhammadiyah sendiri. Loyalitas pembaca di kalangan Muhammadiyah saja masih minim, apa lagi berharap dari pembaca di luar Muhammadiyah. Akibatnya, dakwah melalui media milik Muhammadiyah bukan hanya sulit menjangkau umat Islam secara luas, melainkan juga sulit diharapkan pengaruhnya secara signifikan.

Kedua, sebenarnya kondisi di atas bukan saja sebagai kelemahan Muhammadiyah mengelola media massa. Siapa pun, ormas apa pun, saat ini akan kesulitan berhadapan dengan realitas konglomerasi media dan serbuan media asing yang membabi buta. Publik disuguhi pilihan media yang teramat banyak, tetapi sesungguhnya pemiliknya itu-itu juga. Data penelitian Merlina Lym (2011) menyebutkan, saat ini pemilik media terbesar Indonesia ada di tangan MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), Kompas Gramedia Group (Jacob Oetama), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), Media Group (Surya Paloh), Viva Group (Bakrie & Brothers), Trans Corp (Chairul Tanjung), Emtek Group (Eddy Kusnadi Sariatmadja), dan Mahaka Group (Erik Tohir). Tak hanya bermain di media cetak, sebagian besar mereka juga mengandalkan media televisi, online media, dan radio.

Baik UU Pers No 44/1999 maupun UU Penyiaran No 32/2002, memiliki semangat demokratisasi media, namun alih-alih semangat diversity of ownership dan diversity of content yang dijalankan, justru konsentrasi pemilik dan keseragaman isi media yang terjadi. Lebih miris lagi ketika kita saksikan secara kasat mata para pemilik media tersebut bermain-main di ranah politik praktis maka lengkaplah sudah carut sengkarut sistem media kita ini untuk diuraikan.

Ketiga, pengalaman Amien mendorong reformasi di negeri ini menyadarkan kepada kita betapa besarnya kekuatan media massa jika diberi ruang yang semestinya sebagai pilar keempat demokrasi. Reformasi telah mengubah sistem media kita menjadi sangat liberal sehingga bisa memobilisasi kekuatan massa tanpa menemuhi kendala kontrol dari penguasa.

Maka, melihat tiga alasan di atas, kita tak lagi melihat bahwa media merupakan “lubang besar” Muhammadiyah dalam pengertian yang selalu negatif. Lubang besar itu bukan hanya sebagai sebuah kesalahan yang tak bisa diperbaiki, melainkan peluang yang di dalamnya bisa kita tumbuhkan harapan besar.

Pertama, Muhammadiyah memiliki sejarah merintis media massa dan pernah cukup berhasil pada masanya. Sejarah pernah mencatat, tulisan tokoh Muhammadiyah Daerah Malang, KH Bedjo Dermoleksono, tentang “Islam Sontoloyo” sempat menjadi kritik yang efektif terhadap keberagamaan Presiden Soekarno. Selemah apapun, media yang di miliki Muhammadiyah tetap penting sebagai arsip dokumentasi sejarah. Kelak, dari media-media itulah anak cucu kita mengambil pelajaran.

Kedua, di tengah-tengah derasnya arus media asing dan konglomerasi media nasional, masih ada harapan mengambil posisi media komunitas. Jika demokratisasi media nanti bisa ditertibkan maka sebagai ormas, Muhammadiyah bisa menambah lagi media-media yang digerakkan dan berbasis pada sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan rumah sakit-rumah sakit. Namun, pilihan strategis harus tetap kita lakukan sebaik mungkin dengan memilih media apa yang paling efektif. Di sinilah pentingnya membangun media literacy (melek media) di kalangan warga Muhammadiyah.

Ketiga, selain bermain pada media komunitas, Muhammadiyah harus bisa menyusup ke dalam media-media mainstream. Pamela Shoemaker dan Stephen Reese (1998) menyebutkan, individu di dalam media merupakan lapisan paling dekat dengan teks media sedangkan level ideologi merupakan lapisan paling luar. Artinya, individu yang memiliki pandangan dan ideologi tertentu akan sangat menentukan isi media.

Pada titik inilah, dorongan Amien agar Muhammadiyah memperbanyak wartawan yang diberi beasiswa ada relevansinya. Muhammadiyah harus menyiapkan individu-individu andal yang berkomitmen tinggi pada Islam, berkemajuan menjadi bagian yang berpengaruh pada teks media. Di sisi lain, sekolah maupun kampus, serta pimpinan Muhammadiyah di semua lini, harus memiliki hubungan sinergis dengan media massa agar memperoleh porsi yang proporsional dalam memublikasikan karya-karya Muhammadiyah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar