Senin, 25 Juni 2012

Kentut


Kentut
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Sumber :  SINDO, 24 Juni 2012
 

Pada suatu kali, Presiden Amerika Serikat (AS) George Bush mengunjungi Inggris dan sebagai penghormatan, Ratu Elizabeth II mengajak presiden negara adidaya itu naik kereta kerajaan yang ditarik oleh delapan ekor kuda dari lapangan upacara militer ke Istana Buckingham.
Dalam perjalanan agung itu, tiba-tiba salah seekor kuda yang paling belakang, jadi paling dekat dengan tempat duduk kedua pembesar agung itu, kentut dan menyebarkan terapi aroma yang bisa membuat sakit kepala langsung sembuh karena digantikan dengan rasa mual yang luar biasa. Tapi sebagai priyayi-priyayi agung yang sangat paham aturan protokoler (maksudnya: tata krama),kedua wakil negara itu menahan diri, hanya saling senyum, sambil terus melambai- lambaikan tangan kepada masyarakat yang mengelu-elukan kedua beliau itu.

Sampai pada suatu saat, karena bau yang tidak hilang-hilang, sang Ratu merasa perlu untuk meminta maaf kepada tamunya sang Presiden. Maka Ratu pun bersabda, “Mohon maaf, Yang Mulia Presiden, di dunia ini ada kalanya memang terjadi sesuatu yang kurang bikin nyaman, yang tidak bisa kita hindari.” Presiden Bush, arsitek perang Irak yang cerdas, tentu langsung menangkap maksud kata-kata Baginda Ratu yang terkait dengan bau yang memualkan itu. Maka Presiden pun menjawab dengan sopan, “Tidak apa-apa,Baginda Ratu. Jujur saja, sebelum Baginda mengatakannya, saya kira sesuatu yang kurang nyaman itu berasal dari kuda kita.”  

Jadi kata yang tidak sopan itu (apalagi untuk dijadikan judul artikel) sebetulnya biasa-biasa saja. Bahkan alamiah. Semua makhluk hidup kentut. Kuda saja kentut, maka manusia pun pasti kentut. Termasuk Baginda Ratu Inggris (dan pastinya Presiden Bush juga). Namun perihal kentut-mengentut ini, di kalangan manusia yang beradab ada aturannya.

Misalnya, tidak boleh kentut waktu bersanding jadi pengantin atau kentut waktu audisi model atau yang sederhana saja, kentut di meja makan, apalagi kalau posisinya jongkok di meja makan itu. Dalam Islam, kentut ini juga diatur. Sewaktu salat, misalnya, dilarang keras kentut. Kalau kentut salatnya batal. Kalau salat berjamaah dia harus membatalkan salatnya, meninggalkan barisan, mengambil wudu lagi, dan kembali ke barisan kalau masih sempat, serta menambah rakaat pada akhir salat sebanyak yang tadi dia batalkan.

Kalau yang kentut itu imam, walaupun kentut itu tidak berbau dan tidak ada audionya, dia pun harus membatalkan salatnya dan segera digantikan oleh orang yang terdekat di belakang imam, biasanya yang berdiri tepat sebelah kanan belakang imam. Alhamdulillah, selama saya salat berjamaah dalam hidup saya, belum pernah saya mengalami imam kentut. Jadi saya tidak tahu persis bagaimana penerapan aturan kentut ini dalam salat sesungguhnya.

Yang pernah saya alami adalah oknum di sebelah kanan saya di salah satu salat Jumat kentut pas di saat sujud.Tidak terlalu keras, tetapi wallahi saya mendengarnya dan saya yakin jamaah lain di sekitar dia juga mendengar. Tapi apa daya, ada aturan lain dalam tata-tertib salat, yaitu selagi salat kita dilarang ngomong.

Sialnya, umat yang sakit perut itu pura-pura tidak tahu dan terus saja salat dengan khusuk. Saya gemas betul, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya aturan dilarang bicara itu tadi. Seusai salat, seperti biasa kami bersalam-salaman ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada yang ngomong soal kentut tadi.

Saya tunggu orang lain untuk menegur duluan si jamaah yang tidak sopan dan melecehkan agama itu, tetapi tidak ada satu pun yang ngomong, pastinya karena menjaga tata krama atau protokoler kemasjidan,seperti yang terjadi pada Presiden AS dan Ratu Inggris di atas. Maka saya pun ikut-ikutan diam dan si bapak yang loncer tadi dengan santai menyelesaikan doanya, menggulung sajadahnya, dan melenggang pergi. Astagfirullahal aadziiiim....  

Dalam melaksanakan salat, apalagi salat berjamaah (bersama) di dalam Islam, ada aturan yang ketat.Tidak hanya dalam soal yang kurang sopan tadi, tetapi dalam banyak hal seperti saf harus lurus, bagaimana caranya kalau kita tertinggal rakaat, jamaah tidak boleh mendahului imam, kalau imam lupa atau salah baca ayat, makmum yang di belakangnya wajib membisikkan bacaan yang benar dan seterusnya.

Pendek kata salat berjamaah adalah miniatur dari organisasi masyarakat yang mana pun. Baik pemerintah, bisnis, organisasi sosial maupun perkumpulan sepak bola. Dalam setiap organisasi pasti ada pemimpin, pelaksana, pengikut, dan seperangkat aturan yang mengikat semua yang terlibat dalam organisasi itu. Begitu juga dengan negara dan pemerintahan. Ada presiden, ada DPR, ada lembaga peradilan, partai politik, LSM, media massa,dsb.

Seluruh pimpinan dan stakeholder suatu negara terikat pada aturan-aturan tertentu seperti konstitusi, undang-undang, peraturan, AD/ART, surat keputusan, nota kesepahaman, dan seturusnya dan semua harus menaatinya. Makin kompak semuanya mengikuti aturan, makin tinggi kinerja dan makin produktif negara dan bangsa itu.

Ibaratnya salat di Masjidilharam, jutaan makmumnya, tetapi selalu tertib, tidak pernah kacau, apalagi rusuh (kecuali kasus-kasus kecil seperti saling serobot tempat duduk). Padahal umat itu sangat heterogen, bangsanya beda, bahasanya beda, adat-istiadatnya beda, warna kulitnya beda, bahkan baunya pun beda. Pasalnya semua orang, mulai dari imam sampai makmum di deret paling belakang sama-sama tahu aturan dan ber-nawaitu untuk melaksanakan aturan itu dengan sungguh-sungguh.

Sebaliknya, kalau seperangkat aturan yang sudah disepakati bersama itu tidak dilaksanakan, akan kacaulah jadinya. Apalagi kalau yang melanggar aturan itu orang banyak atau bahkan pemimpinnya pun ikut melanggar aturan. Kita lihat saja contoh dari sebuah pertandingan sepak bola. Kalau pemain curang, wasit masih bisa mengendalikannya dengan memberi kartu kuning atau merah. Tapi kalau wasit yang curang, tak pelak lagi akan terjadi tawuran.

Begitu juga di negeri kita NKRI ini. Ibaratnya salat berjamaah, bukan saja jamaahnya yang kentut, tetapi imamnya pun kentut. Terus yang kentut itu bukannya otomatis mundur dan digantikan temannya, tetapi malah terus mau jadi imam. Awalnya semua masih menahan diri karena aturannya kalau salat tidak boleh ngomong. Tapi lama-lama bau itu makin mengganggu sehingga dikhawatirkan menimbulkan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), maka mulai ada yang ngomong.

Mula-mula satu orang menggerundel, lama kelamaan ramai dan akhirnya semua orang batal salatnya dan jamaah salat berubah menjadi ajang debat yang riuh rendah, semua merasa benar sendiri, yang salah tidak mau disalahkan, dan yang tidak salah tidak mau dikalahkan. Makin lama makin riuh debatnya, tetapi makin rendah derajat umat itu di mata Allah. Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar