Senin, 25 Juni 2012

Kekerasan


Kekerasan
Geger Riyanto ;  Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia
Sumber :  KORAN TEMPO, 24 Juni 2012


Di masa Orde Baru, orang-orang menanti tibanya hari seperti yang kita jalani setiap hari sekarang ini. Tak ada sosok tunggal yang mana kekayaan di seluruh Indonesia dengan gampang terjatuh ke bawahnya, dan warga hanya dapat menonton dengan pasrah dari balik penjagaan tentara. Tak ada sesosok Paman Gober yang mana uang ibarat dicetak hanya untuk mengalir kepadanya.

Dan, benar, inilah eranya. Kemakmuran tidak lagi digenggam bulat-bulat oleh satu sosok. Namun sekarang, siapa yang tidak punya kawan yang tak pernah menghela napas sambil merindukan ketenangan hidup di masa sebelumnya? Saat melangkah ke era ini, kita dengan polos mendambakan keadilan dan gagal melihat bahwa kekerasan juga turut akan terbagi-bagi dengan "adil" ke tengah-tengah masyarakat. Tahu-tahu saja kekerasan menjadi bahasa baru yang menyergap kita. Menengadah ke atas, kita hanya akan menemukan negara yang membatu di hadapan kekerasan kekuatan-kekuatan masyarakat terhadap warga. Dan yang tersisa tinggal apa yang ada di belakang kita.

Masa lalu yang sudah kita lampaui itu terasa sangat tenteram. "Lebih enak hidup di zamanku, toh?" kata potret Soeharto tersenyum dalam gambar rekaan yang menyebar dari telepon seluler ke telepon seluler. Ya, di masa itu, apa-apa harus berurusan dengan aparat. Aparat, aparat, dan aparat begitu keluhan terbanyak pada masa itu. Dan pada hari-hari tergelap era ini, mayat-mayat para preman bergelimangan di jalan. Mereka diubah menjadi seonggok daging tak berharga semata untuk menyampaikan pesan, inilah yang mampu dilakukan negara terhadap para pengganggu keamanan.

Kendati terasa tabu untuk kembali dibicarakan di ruang terbuka, tak hanya satu-dua orang yang menganggap pembantaian sistematis Orde Baru tersebut tindakan yang bisa dibenarkan hari ini. Kekerasan-kekerasannya tak jarang kini dianggap ibarat ketegasan yang perlu dilakukan seorang bapak agar keluarganya tidak berantakan; kekerasan yang merupakan keputusan bijak untuk mengakhiri semua kekerasan lainnya.

Akan tetapi kekangenan seperti ini tak lain berasal dari penglihatan yang kabur, terburu hasrat mencari pegangan model masyarakat ideal. Pegangan itu, bagi para pendambanya, tak perlu jauh-jauh di luar negeri atau masyarakat utopia yang mengawang. Ia ada di masa lalu kita sendiri yang saban hari masih kita tinggali. Pandangan semacam ini bukannya menggambarkan sejarah kita, malah, boleh dikatakan, ahistoris pada tingkat yang sangat ekstrem. Sejarah, toh, adalah sesuatu yang benar-benar terjadi dan bukan sekadar apa yang ingin kita bayangkan pada saat ini.

Logika sederhananya, bahwa di negara Orde Baru yang cengkeramannya nyaris total itu sampai terbentuk lapisan masyarakat yang disebut dengan gali (gabungan anak-anak liar) sebelum akhirnya dilibas dengan penembakan misterius pada 1980-an. Berarti kelompok-kelompok yang punya kapasitas melakukan kekerasan dan lazimnya hidup dengan memeras masyarakat setempat ini pernah berkembang. Seizin negara, tentunya.

Permasalahannya, saat ini berkembang idiom bahwa negara membiarkan kekerasan, dan ini menyimpan kekeliruan mendasar. Dengan begitu, kita memandang negara sebagai pihak yang pasif, tak bergerak, takluk terhadap para pelaku kekerasan. Orang-orang melihat Presiden saat ini sebagai sosok yang menyikapi persoalan dengan imbauan tanpa tindakan nyata, sampai-sampai ada lelucon untuk mematikan televisi, SBY mengimbau televisinya untuk mati sendiri, bukan beranjak mematikannya. Dengan membayangkan bahwa kekerasan sipil adalah kekacauan yang merebak lantaran ketidaktegasan negara, selanjutnya terciptalah kehausan massal akan pemegang otoritas yang berani menyediakan rasa aman bagi warganya.

Padahal, berbicara tentang aparatus keamanan negara adalah berbicara tentang pihak yang kapasitas, keorganisasian, kekuatan, dan persenjataannya disokong oleh uang pajak serta penerimaan negara lainnya yang begitu masif. Ditambah lagi hanya lembaga ini yang dengan wewenang konstitusionalnya dapat secara leluasa mengembangkan teknik-teknik preventif dan koersif yang efektif untuk menegakkan ketertiban. Pertanyaannya, mengapa leviathan sebesar ini mesti takut terhadap segelintir pengganggu keamanan?

Tengoklah juga wajah kekerasan di sekitar kita dengan saksama; aktivitas dalam kelompok-kelompok yang biasa mengatasnamakan ideologi atau etnisitas, yang wilayah pergerakannya jelas, pemilihan sasaran ditimbang-timbang secara rasional. Sebagai kekerasan yang katanya digerakkan oleh impuls membela keyakinan, ini, ganjilnya, terlalu rapi.

Tak masuk akal untuk mengatakan keleluasaan kelompok-kelompok masyarakat mengorganisasi kekerasan di wilayah di mana kekerasan dimonopoli oleh negara semata disebabkan keabaian aparat. Semuanya baru jelas ketika kita dengan terpaksa mengakui: memang, kekerasan punya harga untuk dikelola oleh berbagai pemegang kekuatan bersama-sama. Dengan mengkritik negara gemetar dan lepas tangan terhadap ledakan-ledakan di masyarakat sipil, sayangnya kita sebenarnya melindungi mereka dari kenyataan bahwa tak mungkin leviathan ini tidak terlibat dalam pengembangbiakan kekerasan tersebut.

Ketakutan kita sebagai warga adalah mangsa paling pertama kekerasan. Kuasa melakukan kekerasan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan lokal memungkinkan mereka mengekstraksi berbagai pungutan yang kalau kita hitung-hitung jumlahnya sekurangnya sebanding dengan usaha tingkat menengah. Andaikan kita pemilik sebuah kios kecil di Jakarta dan sekelompok pria berpembawaan angker tiba-tiba datang meminta sumbangan, kita tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka tak memperoleh apa yang mereka inginkan, bukan?

Sebagian besar dari kita tak pernah menjadi korban kekerasan ini secara langsung. Namun cukup sekali melihat citra-citra kekerasan sipil dari televisi dan koran, kita sudah menjadi bagian dari lahan pendapatan mereka yang akan digarap dengan jauh lebih sistematis dari dugaan kita. Pernahkah terlintas pada kita untuk melaporkan praktek-praktek yang melanggar wewenang negara ini kepada aparat? Kemungkinan besar tidak. Kemungkinan besar, terpikir, melapor hanya buang-buang energi; tak mungkin negara tak tahu-menahu adanya kekuatan yang menjadikan kewenangan di wilayahnya ambigu. Dan kalau kita membatin lebih jauh lagi: tak mungkin negara tak terlibat. Bayangkan praktek ini berlarut-larut di negara sebesar ini sebesar apa manfaat yang bisa diambil pengelolanya?

Akan tetapi agaknya kita tak kuat untuk lama-lama berpikir bahwa kita seterjebak itu. Mengapa setelah melihat aparat negara berpihak kepada pelaku kekerasan dalam peristiwa penyerangan terhadap satu kelompok minoritas, kita masih berpikir bahwa ini dikarenakan negara gentar, bukan lantaran mereka beraliansi dengan satu pihak? Agaknya, kita ingin membayangkan bahwa masih ada jalan keluar dari sergapan potensi-potensi kekerasan bahwa apa yang terjadi semata disebabkan oleh kelemahan pribadi-pribadi yang mungkin untuk diubah selama kita berpegangan pada nilai integritas yang jelas.

Dan ujung-ujungnya, pengharapan yang seperti ini akan dijemput dalam pemilihan umum oleh sosok-sosok yang citra tegasnya dipoles dengan uang miliaran rupiah atau, seperti yang sudah terjadi, dihibur dengan kerinduan terhadap masa lalu (atau, tepatnya, apa yang kita angankan sebagai masa lalu kita).

Karenanya, mesti kita camkan, suka-tidak suka, dari waktu ke waktu, kekerasan akan terus menjadi sesuatu yang menggiurkan untuk dikelola. Mengurainya sama sekali bukan sebuah pekerjaan yang sesederhana mencoblos figur-figur gagah atau mencari-cari era idaman di halaman masa silam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar