Krisis
Air dan Kearifan Lokal
Siti Nuryati ; Penulis
Skenario Film-Film Dokumenter Lingkungan,
Penerima Anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI
Penerima Anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI
SUMBER : SUARA
KARYA, 4 Juni 2012
Di musim kemarau, ancaman krisis air mendera sejumlah daerah.
Krisis ini makin mengkhawatirkan dan kian meningkat seiring bertambahnya jumlah
penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan air.
Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek
ditemukan bahwa sekitar 77 persen kabupaten/kota di Jawa telah memiliki satu
hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.
Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa
makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air, kita akan mati dalam beberapa
hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air pun menduduki peran utama bagi berbagai
kepentingan seperti untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga
listrik, transportasi, hingga penyediaan air bersih dan bahan baku air minum.
Namun, air kini menghadapi problem serius berupa ancaman kelangkaan.
Dengan keterbatasannya ini, sungguh keliru kalau orang
mengeksploitasi air secara berlebihan. Mereka memanfaatkan air seolah-olah air
berlimpah dan merupakan "barang bebas". Padahal semakin terbatas
jumlahnya, berlakulah hukum ekonomi, bahwa air merupakan benda ekonomi.
Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk
membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis,
seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di
musim kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan
pelayanan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.
Konservasi air merupakan isu serius yang harus betul-betul
digarap. Konservasi yang dapat diterjemahkan sebagai kekekalan dan jangan sampai
hanya dipandang sebagai tindakan penanaman pohon, tetapi merupakan semua
tindakan yang membuat keberadaan air menjadi kekal dan lestari.
Air yang berasal dari hujan yang turun harus ditahan supaya lebih
lama di daratan. Perlu upaya-upaya konservasi air yang disebut panen hujan dan
aliran permukaan. Air dapat ditampung dalam berbagai bentuk konstruksi dari
skala kecil sampai waduk multifungsi yang dapat mempunyai nilai ekonomi tinggi
melalui pembangkit tenaga listrik, usaha perikanan, sumber air bersih dan
pariwisata.
Beberapa sungai di kawasan timur Indonesia telah dimanfaatkan
untuk membangkitkan tenaga listrik seperti di Tondano, Sulawesi Utara. Tetapi,
pembangunan waduk berskala besar tidak dapat dilakukan di semua tempat dan saat
ini waduk besar dianggap tidak sustainable. Waduk besar sering tidak layak
secara ekonomi karena biaya pembangunan dan pemeliharaan yang tinggi dan sulit
diterima secara sosial jika disertai penggusuran. Sehingga, waduk besar
dianggap tidak menguntungkan secara politis, baik bagi pihak pemberi pinjaman
maupun pelaksana pembangunan. Karena itu, kecenderungan saat ini adalah dengan
membangun usaha konservasi air berskala kecil yang dapat dibangun dan
dipelihara oleh masyarakat setempat di pedesaan-pedesaan. Jadi, muncullah berbagai
kearifan lokal di sini.
Topografi dan bentuk wilayah yang sesuai untuk pembangunan
prasarana konservasi air seperti waduk tidak selalu dapat ditemukan di semua
wilayah. Usaha panen hujan skala pedesaan dapat dilaksanakan tanpa perlu
mengorbankan lahan untuk kepentingan utama seperti permukiman dan lahan
pertanian. Struktur seperti rorak atau sumur resapan dam parit (channel
reservoir) hanya memanfaatkan ruang yang ada tanpa mengganggu fungsi lahan
utama. Dam parit hanya memanfaatkan jalur drainase yang sudah ada sehingga
tidak mengganggu lahan pertanian.
Air juga dibiarkan merembes sehingga dapat meningkatkan aliran
dasar sehingga mengisi air sumur di hilir. Pertimbangan dalam menentukan posisi
dam parit adalah daya tampung dan biaya sehingga dipilih jalur ang paling
sempit di hilir cekungan yang cukup besar.
Di Nusa Tengara telah banyak dibangun embung, suatu waduk kecil
yang dapat menampung air antara 5.000-10.000 m3 di lahan pertanian untuk
keperluan musim kemarau. Pemanfaatan air embung biasanya hanya untuk
masing-masing lahan usaha tani petani atau beberapa petani dan keperluan rumah
tangga lainnya. Tetapi, karena peningkatan jumlah penduduk, persaingan semakin
ketat dalam penggunaan lahan sehingga di Lombok, embung yang tersisa hanya di
bagian tenggara pulau ini.
Kelembagaan pengelolaan distribusi air untuk pertanian berbasis
masyarakat telah lama berkembang di Bali dan Lombok. Sistem Subak ternyata jauh
lebih langgeng dibandingkan dengan berbagai proyek irigasi yang lebih top down.
Dengan memiliki sedahan manajer di level daerah aliran sungai (DAS) atau
saluran primer dan pekasih manajer di saluran tersier, petani secara bersama
mengelola air sebaik-baiknya.
Dengan meniru pola Subak, kelompok petani pemakai air di daerah
lain seperti Bandung, dapat mengelola air tidak hanya di saluran tersier tetapi
juga di saluran sekunder. Tetapi, masih ada tarik ulur antara berbagai
kepentingan sehingga perlu dipecah bersama dalam pemanfaatan bersama secara
proporsional.
Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air telah memberi
banyak bukti bahwa konservasi air sangat mungkin dilakukan pada level-level
masyarakat. Hanya saja, demi keberlanjutan di tengah tarik ulur berbagai
kepentingan yang seringkali sulit dihindari, seperti yang dialami di Bandung,
perlu dibentuk semacam Forum DAS dengan memainkan juga peran kelembagaan dari
stakeholders lainnya.
Peran-peran yang harus diisi antara lain, rulator yaitu institusi
pengambil keputusan yang terdiri dari para pejabat yang berwenang menetapkan
kebijakan, keputusan atau perizinan. Peran ini bisa dimainkan oleh Bappeda,
Dinas Tata Ruang, Dinas Kehutanan, Dinas Sumberdaya Air, Dinas Perkebunan,
Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar