Minggu, 10 Juni 2012

Informasi Seputar Korupsi


Informasi Seputar Korupsi
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2012


BEDAH Editorial Media Indonesia awal minggu ini mengambil topik yang sudah berulang kali kami sampaikan, yakni tentang kasus Bank Century. Sampai kapan topik ini, dan topik-topik tentang korupsi lainnya, akan menjadi pilihan kami? Tidak mudah dijawab; tergantung perkembangan setiap kasus.

Yang perlu diamati, bagaimana tanggapan masyarakat penerima informasi, yang memiliki konsep berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan mereka. Dalam masyarakat heterogen, penyerapan informasi tidak merata baik jumlah maupun mutunya. Philip Kotler dalam Social Marketing menyatakan masyarakat menafsirkan informasi sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut.

Ada juga kelompok yang secara kronis tidak reseptif karena pengetahuan yang minim. Dia baru reseptif jika informasi dianggap menyentuh kepentingannya. Dia menolak apa yang tidak ingin dia ketahui. Sebaliknya, dia menyerap yang bisa memenuhi kebutuhan pikiran dan perasaannya. Tidak mustahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan atau yang merangsang naluri rendah, sekalipun itu hanya bagian kecil dari paket padat informasi dan edukasi. Dari fakta tersebut dapat diambil kesimpulan tentang mengapa terjadi kelambanan reaksi dan aksi masyarakat terhadap gejala korupsi.

Bahwa media massa diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, umumnya kita sepakati. Dr Soedjatmoko (alm), dalam keprihatinannya untuk masa depan, pernah menyatakan, “Terkembangnya masyarakat informasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah mengakibatkan perubahan-perubahan sosial demikian pesat dan mendalam sehingga melampaui kemampuan kebanyakan lembaga, termasuk berbagai sistem politik di dunia.“

Perilaku Keledai

Kita cenderung menghindari sikap menghakimi bila menyangkut perilaku masyarakat. Di abad ke-10 hingga ke-11, kalangan sufi di Timur Tengah yang mengadakan gerakan mistik filosofis dan peduli terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat memiliki kebiasaan membuat kisah-kisah kiasan untuk menyampaikan pesan moral kepada mereka. Sebagian besar kisah kiasan itu menggunakan sosok binatang sebagai tokoh utama. Misalnya untuk menggambarkan orang-orang baik, pekerja keras, tetapi naif, mereka memakai keledai sebagai perumpamaan. Banyak kisah tentang keledai yang beredar sejak zaman itu.

Berkaitan dengan tanggapan masyarakat terhadap informasi tentang korupsi, ada kisah tentang keledai yang rasanya sesuai untuk itu: ada keledai jatuh ke lubang yang dalam. Tiap hari orang membuang `sampah' (informasi) ke dalam lubang itu, tetapi sang keledai tidak juga terselamatkan. Baru setelah lubang itu penuh sampah, keledai itu pun bisa mengentaskan diri. Pesan moralnya, jangan bosan menyampaikan pesan agar masyarakat terbebas dari ketidaktahuan.

Kisah lain berkisar tentang keledai yang mendekam di perpustakaan. Berhari-hari dia tinggal di sana, dikelilingi timbunan buku. Setelah bosan, dia pun pergi tanpa mendapat kesan apa pun. Bila dikaitkan dengan penyerapan informasi masa kini, pesan moralnya: sering kali informasi tidak mencapai sasaran karena sasaran tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber informasi di kelilingnya.

Disiplin Nasional

Merujuk pada pendapat Soedjatmoko, apakah perubahan sosial yang pesat berkat banjir informasi telah membuat lembaga-lembaga kita kewalahan menangani perubahan dengan baik? Kenyataannya demikian. Berbagai pembelajaran dan pencerahan tentang kemudaratan korupsi, misalnya, yang kami kemas dalam bentuk dialog, debat, diskusi, interaksi dengan penonton maupun sekadar berita tampaknya tidak efektif. Kenekatan para tokoh korup dan lembaga-lembaga yang mengusung mereka, lebihlebih bila lembaga-lembaga itu memiliki kekuatan dan/ atau kekuasaan, membuat kita percaya bahwa informasi tidak cukup ampuh untuk mengatasi keadaan. Hukum pun terkesan terombang-ambing.

Bagaimana pengaruhnya? Gemuruh informasi ditanggapi dengan sepi, sebab umumnya kita terdiri dari masyarakat yang tinggal diam. Sebagian karena tidak mengerti, maka tidak peduli. Mereka yang disebut terakhir itu terdiri dari kelas bawah yang tidak reseptif terhadap informasi, yang jumlahnya mencapai sekitar 50% warga kita. Dari sedikit yang mengerti dan peduli, ada kegalauan menghadapi kesiasiaan. Termasuk di antaranya berbagai ormas yang mencakup LSM, kelompok-kelompok rohaniwan, cendekiawan, dan yang terdidik pada umumnya. Mereka itu termasuk sebagian dari 50% penduduk yang tergolong kelas menengah/atas. Mereka di luar kelompok kelas menengah/atas yang memanfaatkan keadaan dan memilih tinggal diam.

Kenyataan tersebut tidak sesuai dengan asumsi bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik menuju masyarakat yang peduli pada keadilan dan kesejahteraan bersama. Juwono Sudarsono pernah mengatakan demokrasi bisa berjalan bila jumlah kelas menengah sudah mencapai 30%. Sekarang jumlahnya tentu sudah melebihi. Akan tetapi tetap saja demokrasi tertatih-tatih karena banyak yang memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.

Cara apa lagi yang bisa ditempuh untuk perbaikan keadaan? Selain informasi dalam berbagai kemasan, termasuk dongeng kiasan, kita mungkin harus kembali kepada jargon lama tentang disiplin nasional. Suasana sosial-politik dan budaya yang baik akan menciptakan spirit kedisiplinan yang positif, asalkan tujuan-tujuannya jelas. Tanpa itu, sulit bagi individu maupun kelompok untuk membayangkan apa gunanya menjalankan disiplin nasional. Yang tidak kalah penting ialah memilih para pemimpin yang seharusnya memberikan inspirasi dan motivasi. Bukan malahan yang melepas tanggung jawab terhadap kerja dan tindakan keliru oleh segenap individu dan kelompok yang mereka pimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar