Minggu, 10 Juni 2012

Grasi, Perspektif Hukum versus Keadilan


Grasi, Perspektif Hukum versus Keadilan
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2012


BELUM tuntas isu tentang pembatasan bahan bakar minyak (BBM) dan pemberantasan korupsi yang melibatkan kalangan elite, kini wacana publik kembali terusik oleh kontroversi pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Schapelle Leigh Corby.

Grasi tersebut diberikan dalam bentuk pengurangan hukuman lima tahun dari vonis 20 tahun oleh PN Denpasar tertanggal 27 Mei 2005 setelah warga negara Australia tersebut kedapatan membawa mariyuana sebanyak 4,2 kg dalam tasnya pada 8 Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Namun, dalam putusan banding pada 12 Oktober 2005 Corby hanya divonis 15 tahun. Akan tetapi, vonis tersebut kembali menjadi 20 tahun melalui putusan kasasi tertanggal 12 Januari 2006 yang membenarkan Corby melanggar Pasal 82 ayat 1a UU No 22/1997 tentang Narkotika. Selama proses persidangan hingga menjalani hukuman, Corby memang sangat agresif melakukan tentangan. Melalui hasil diagnosis Dr Denny Thong (psikiater di Denpasar) tertanggal 26 Mei 2009, Corby dinyatakan menderita depresi berat dengan gejala psikosis.

Berdasarkan hal tersebut, Corby mengajukan grasi dan akhirnya dikabulkan melalui Keppres No 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012. Alhasil niat baik Presiden yang tergali melalui pertimbangan MA dan berbagai pihak lainnya kontan memicu percikan badai kritik bertubi-tubi ke arah istana. Selain ancaman gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh berbagai elemen masyarakat, keppres tersebut juga berisiko menghadapi tekanan politik dalam bentuk penggunaan hak interpelasi oleh DPR.

Grasi Presiden dengan pengurangan lima tahun penjara kepada Corby dinilai banyak kalangan telah mencederai komitmen Presiden sendiri yang menyatakan perang terhadap segala bentuk penyalahgunaan narkoba. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah melalui Menkum dan HAM mengeluarkan kebijakan moratorium atau pengetatan remisi bagi terpidana extraordinary crime. Demikian pula sikap nonkompromi terhadap kejahatan narkoba sebagaimana yang ditunjukkan Wamenkum dan HAM Denny Indrayana saat menyupervisi BNN dalam menggerebek bandar narkoba di Rutan Pekanbaru Riau yang berujung dengan pemukulan terhadap seorang sipir.

Ironisnya, saat Presiden memberikan grasi kepada Corby, terkuak rentetan penangkapan pengedar narkoba di berbagai tempat. Peperangan melawan kejahatan narkoba berpuncak pada terungkapnya kasus penyelundupan ekstasi besar-besaran dari Shenzen, China, yang melibatkan oknum TNI. Melalui Operasi Komodo (28/5), Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama Polri berhasil mengungkap barang haram tersebut sebesar 1.412.476 butir atau 3.784.358 gram. BNN bahkan kembali sukses menggulung bandar narkoba di Jakarta dengan barang bukti sabu-sabu seberat 150 kg (pada 6/6).

Kenyataan itu makin membuyarkan kepercayaan publik terhadap tekad pemerintah yang telah melahirkan UU No 7/1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances), setelah lahirnya UU No 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No 22/1997 tentang Narkotika yang kemudian diubah dengan UU No 35/2009. Sebelumnya pemerintah dan DPR melahirkan UU No 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan UU No 8/1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).

Bersikap Ambigu

Namun, pemberian grasi kepada pelaku penyalahgunaan narkoba seperti Corby tidak saja menunjukkan sikap paradoks dan ambigu pemerintah terhadap perang melawan kejahatan narkoba. Grasi tersebut juga mengindikasikan adanya agenda tersembunyi antara pemerintah RI dan Australia. Tak hanya itu, imbal beli perkara melalui pemberian grasi kepada Corby berpotensi merusak sistem dan semangat jajaran penegak hukum seba gai garda ter depan dalam memerangi penyalahgunaan narkoba melalui law enforcement.

Tak ayal lagi, pemberian grasi tersebut kini menjadi objek kajian dan diskusi secara intensif dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perspektif hukum, Presiden memang berwenang untuk memberikan grasi sebagaimana mandat Pasal 14 (1) UUD 1945. Namun dalam pemberian grasi dimaksud, Presiden tentu tidak boleh meng halalkan segala cara, tetapi perlu mempertimbangkan berbagai hal, antara lain seberapa jauh pemberian grasi tersebut berdampak pada pencederaan terhadap rasa keadilan masyarakat dan pene gakan norma hak a sasi manusia (HAM). Sebagai sebuah pranata hukum, grasi muncul sebagai bagian dari ide negara hukum (the rule of l law) yang berbasis pada tiga ciri, yaitu supremacy of law; equality before the law; and due process of law.

Ketika due process of law dijalankan kekuasaan yudikatif secara subjektif, lahirlah putusan sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip equality before the law. Ketika itu, kepala negara berwenang mengubah putusan yudikatif dengan tetap mengacu ke supremacy of law.

Banyak Pertimbangan

Logika penalaran relasi komponen rule of law tersebut berakar pada risiko vonis yang dijatuhkan hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, ada kemungkinan terjadi kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya dan lainlain. Selebihnya masuk ranah pertimbangan kemanusiaan politik dan lain-lain.

Karena itu, grasi merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk mengoreksi dan mengatasi risiko tersebut. Jadi, grasi ditempatkan di luar lingkup peradilan pidana. Meskipun grasi merupakan kewenangan Presiden yang berada dalam lingkup hukum tata negara, hukum pidana juga memandang keberadaan grasi sebagai upaya terpidana untuk menghindarkan diri dari eksekusi putusan.

Dalam ilmu hukum, sebagian yuris menempatkan grasi terkemas dalam hierarki tatanan hukum sebagai discretionary yang berbentuk prerogatif presiden. Namun, sebagian lainnya menolak pendapat tersebut karena prerogatif secara historis selalu lekat dengan sifat absolut sebagaimana yang dipraktikkan pada masa kerajaan dengan kekuasaan absolut. Lembaga pemberian grasi dalam negara demokrasi modern saat ini, tidak terkecuali Indonesia, hampir tidak ada lagi yang disandarkan pada otoritas absolut, tetapi bersumber dari otoritas konstitusi.

Grasi sebenarnya bukan upaya hukum, melainkan melekat pada kewenangan kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada siapa pun yang telah dipidana pengadilan. Dalam hal ini, grasi diberikan Presiden selaku kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Kewenangan tersebut merupakan hak konstitusional presiden berdasarkan Pasal 14 (1) UUD 1945 dan UU No 22/2002 jo UU No 5/2010. Dengan demikian, grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait pula dengan penilaian terhadap putusan hakim, melainkan lebih banyak bersandar pada pertimbangan moral, HAM, dan lain-lain.

Dalam konteks due process of law, pemberian grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan kewenangan konstitusional presiden sebagai kepala negara. Meski grasi dapat mengubah putusan pengadilan dalam bentuk meringankan, mengurangi atau menghapus kewajiban menjalani pidana, bukan berarti grasi menghilangkan kesalahan atau rehabilitasi terhadap terpidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar