Grasi,
Perspektif Hukum versus Keadilan
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 08 Juni 2012
BELUM
tuntas isu tentang pembatasan bahan bakar minyak (BBM) dan pemberantasan
korupsi yang melibatkan kalangan elite, kini wacana publik kembali terusik oleh
kontroversi pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada
Schapelle Leigh Corby.
Grasi
tersebut diberikan dalam bentuk pengurangan hukuman lima tahun dari vonis 20
tahun oleh PN Denpasar tertanggal 27 Mei 2005 setelah warga negara Australia
tersebut kedapatan membawa mariyuana sebanyak 4,2 kg dalam tasnya pada 8
Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.
Namun,
dalam putusan banding pada 12 Oktober 2005 Corby hanya divonis 15 tahun. Akan
tetapi, vonis tersebut kembali menjadi 20 tahun melalui putusan kasasi
tertanggal 12 Januari 2006 yang membenarkan Corby melanggar Pasal 82 ayat 1a UU
No 22/1997 tentang Narkotika. Selama proses persidangan hingga menjalani
hukuman, Corby memang sangat agresif melakukan tentangan. Melalui hasil
diagnosis Dr Denny Thong (psikiater di Denpasar) tertanggal 26 Mei 2009, Corby
dinyatakan menderita depresi berat dengan gejala psikosis.
Berdasarkan
hal tersebut, Corby mengajukan grasi dan akhirnya dikabulkan melalui Keppres No
22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012. Alhasil niat baik Presiden yang tergali
melalui pertimbangan MA dan berbagai pihak lainnya kontan memicu percikan badai
kritik bertubi-tubi ke arah istana. Selain ancaman gugatan hukum melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh berbagai elemen masyarakat, keppres
tersebut juga berisiko menghadapi tekanan politik dalam bentuk penggunaan hak
interpelasi oleh
DPR.
Grasi
Presiden dengan pengurangan lima tahun penjara kepada Corby dinilai banyak
kalangan telah mencederai komitmen Presiden sendiri yang menyatakan perang
terhadap segala bentuk penyalahgunaan narkoba. Masih segar dalam ingatan kita
bagaimana pemerintah melalui Menkum dan HAM mengeluarkan kebijakan moratorium
atau pengetatan remisi bagi terpidana extraordinary
crime. Demikian pula sikap nonkompromi terhadap kejahatan narkoba
sebagaimana yang ditunjukkan Wamenkum dan HAM Denny Indrayana saat menyupervisi
BNN dalam menggerebek bandar narkoba di Rutan Pekanbaru Riau yang berujung
dengan pemukulan terhadap seorang sipir.
Ironisnya,
saat Presiden memberikan grasi kepada Corby, terkuak rentetan penangkapan
pengedar narkoba di berbagai tempat. Peperangan melawan kejahatan narkoba
berpuncak pada terungkapnya kasus penyelundupan ekstasi besar-besaran dari
Shenzen, China, yang melibatkan oknum TNI. Melalui Operasi Komodo (28/5), Badan
Narkotika Nasional (BNN) bersama Polri berhasil mengungkap barang haram
tersebut sebesar 1.412.476 butir atau 3.784.358 gram. BNN bahkan kembali sukses
menggulung bandar narkoba di Jakarta dengan barang bukti sabu-sabu seberat 150
kg (pada 6/6).
Kenyataan
itu makin membuyarkan kepercayaan publik terhadap tekad pemerintah yang telah
melahirkan UU No 7/1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United
Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances), setelah lahirnya UU No 5/1997 tentang Psikotropika dan UU No
22/1997 tentang Narkotika yang kemudian diubah dengan UU No 35/2009. Sebelumnya
pemerintah dan DPR melahirkan UU No 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 dan UU No 8/1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika
1971).
Bersikap Ambigu
Namun,
pemberian grasi kepada pelaku penyalahgunaan narkoba seperti Corby tidak saja
menunjukkan sikap paradoks dan ambigu pemerintah terhadap perang melawan
kejahatan narkoba. Grasi tersebut juga mengindikasikan adanya agenda
tersembunyi antara pemerintah RI dan Australia. Tak hanya itu, imbal beli
perkara melalui pemberian grasi kepada Corby berpotensi merusak sistem dan
semangat jajaran penegak hukum seba gai garda ter depan dalam memerangi
penyalahgunaan narkoba melalui law enforcement.
Tak
ayal lagi, pemberian grasi tersebut kini menjadi objek kajian dan diskusi
secara intensif dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perspektif hukum, Presiden
memang berwenang untuk memberikan grasi sebagaimana mandat Pasal 14 (1) UUD
1945. Namun dalam pemberian grasi dimaksud, Presiden tentu tidak boleh meng
halalkan segala cara, tetapi perlu mempertimbangkan berbagai hal, antara lain
seberapa jauh pemberian grasi tersebut berdampak pada pencederaan terhadap rasa
keadilan masyarakat dan pene gakan norma hak a sasi manusia (HAM). Sebagai
sebuah pranata hukum, grasi muncul sebagai bagian dari ide negara hukum (the rule of l law) yang berbasis pada
tiga ciri, yaitu supremacy of law; equality before the law; and due process of
law.
Ketika
due process of law dijalankan
kekuasaan yudikatif secara subjektif, lahirlah putusan sewenang-wenang yang
bertentangan dengan prinsip equality
before the law. Ketika itu, kepala negara berwenang mengubah putusan
yudikatif dengan tetap mengacu ke supremacy
of law.
Banyak Pertimbangan
Logika
penalaran relasi komponen rule of law
tersebut berakar pada risiko vonis yang dijatuhkan hakim, khususnya untuk
pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi
terhadap innocent people. Selain itu, ada kemungkinan terjadi kekhilafan dalam
proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau
keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya dan lainlain. Selebihnya masuk
ranah pertimbangan kemanusiaan politik dan lain-lain.
Karena
itu, grasi merupakan salah satu lembaga yang berfungsi untuk mengoreksi dan
mengatasi risiko tersebut. Jadi, grasi ditempatkan di luar lingkup peradilan
pidana. Meskipun grasi merupakan kewenangan Presiden yang berada dalam lingkup
hukum tata negara, hukum pidana juga memandang keberadaan grasi sebagai upaya
terpidana untuk menghindarkan diri dari eksekusi putusan.
Dalam
ilmu hukum, sebagian yuris menempatkan grasi terkemas dalam hierarki tatanan
hukum sebagai discretionary yang
berbentuk prerogatif presiden. Namun, sebagian lainnya menolak pendapat
tersebut karena prerogatif secara historis selalu lekat dengan sifat absolut
sebagaimana yang dipraktikkan pada masa kerajaan dengan kekuasaan absolut. Lembaga
pemberian grasi dalam negara demokrasi modern saat ini, tidak terkecuali
Indonesia, hampir tidak ada lagi yang disandarkan pada otoritas absolut, tetapi
bersumber dari otoritas konstitusi.
Grasi
sebenarnya bukan upaya hukum, melainkan melekat pada kewenangan kepala negara
untuk memberikan pengampunan kepada siapa pun yang telah dipidana pengadilan.
Dalam hal ini, grasi diberikan Presiden selaku kepala negara bukan sebagai
kepala pemerintahan (eksekutif). Kewenangan tersebut merupakan hak
konstitusional presiden berdasarkan Pasal 14 (1) UUD 1945 dan UU No 22/2002 jo
UU No 5/2010. Dengan demikian, grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis
peradilan dan tidak terkait pula dengan penilaian terhadap putusan hakim,
melainkan lebih banyak bersandar pada pertimbangan moral, HAM, dan lain-lain.
Dalam
konteks due process of law, pemberian
grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan
kewenangan konstitusional presiden sebagai kepala negara. Meski grasi dapat
mengubah putusan pengadilan dalam bentuk meringankan, mengurangi atau menghapus
kewajiban menjalani pidana, bukan berarti grasi menghilangkan kesalahan atau
rehabilitasi terhadap terpidana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar