Membangun
Produktivitas
Penyerapan
Anggaran Publik
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan;
Anggota Tim desain APBD Kabupaten Banyumas
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2012
DIRJEN
Perbendaharaan Negara Kemenkeu Agus Suprijanto menyebutkan realisasi belanja
modal APBN hingga semester I 2012 `lebih baik' daripada tahun sebelumnya, 2011.
Berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan Negara per 23 Mei 2012, realisasi
penyerapan belanja modal sebesar Rp21,2 triliun dan itu berarti mencapai 12,5%
dari pagu anggaran belanja yang dipatok APBN 2012 sebesar Rp168,87 triliun, (Kontan, 18 Juni 2012).
Karena
`keagresifan' penyerapan anggaran itu, Dirjen Perbendaharaan Negara menargetkan
pada Juni 2012 belanja modal sudah tercapai sebesar 20% dalam waktu satu bulan.
Padahal, di 2011, pada saat yang sama (semester 1) itu baru mencapai 6%-7%,
yakni Rp141 triliun.
Grafik
penyerapan anggaran belanja modal demikian tentu saja menimbulkan tanda tanya
besar mengingat dua hal kontraproduktif tradisi penyerapan anggaran belanja
modal selama ini. Pertama, untuk sampai pada realisasi belanja modal setiap
tahun, setidaknya butuh waktu tiga bulan sendiri untuk mengurus ubo rampe administrasi dan manajerial
perencanaan anggaran sehingga agak aneh ketika dalam hitungan waktu satu bulan
berani mematok realisasi penyerapan belanja modal sampai 8% lebih. Lantaran
belanja modal (apalagi yang mencapai angka di atas Rp50 juta--red), setiap
proyek senilai itu harus melalui proses lelang yang amat panjang dan
melelahkan.
Kedua,
penyerapan anggaran belanja modal sering hanya mengejar capaian kuantitatif
sebuah proyek sehingga nilai produktivitas belanja modal tak signifi kan
menjawab persoalan aktual belanja modal. Pakar ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia Latief Adam menyebutkan belanja modal pemerintah selama ini dijadikan
tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, belanja modal itu tampaknya justru
lebih bersifat konsumtif (konsumsi pemerintah), sekadar ‘habis anggaran, habis
perkara’.
Sudah
menjadi rahasia umum, banyak proyek pemerintah yang nilainya menyedot anggaran
publik justru luput dari pengawasan dan pantauan publik, kemudian belakangan
terbukti bermasalah. Kasus pembangunan Wisma Atlet Palembang dan kini terjadi
lagi pada kasus Hambalang (keduanya dari belanja modal Kemenpora) membuktikan
strategi perencanaan dan operasional pelaksanaan belanja modal demikian rapuh.
Tragisnya,
pengalaman demi pengalaman dalam tata kelola anggaran belanja (modal) selama
ini tidak pernah dijadikan media evaluasi sekaligus refleksi terkait dengan
produktivitas realisasi belanja negara sehingga peningkatan anggaran belanja
modal yang per tahun mencapai rata-rata 35% tak signifikan menghasilkan
peningkatan mutu sebanding.
Atas
dasar itulah perumusan strategi membangun produktivitas realisasi penyerapan
anggaran negara (khususnya belanja modal) sangat mendesak karena nilai belanja
modal bagi pertumbuhan ekonomi nasional begitu strategis.
Lalu bagaimana membangun produktivitas realisasi penyerapan anggaran khususnya dalam belanja modal?
Lalu bagaimana membangun produktivitas realisasi penyerapan anggaran khususnya dalam belanja modal?
Belajar dari Jepang
Banyak
pelajaran realisasi anggaran negara khususnya belanja modal di berbagai negara
maju. Jepang, misalnya, merupakan negara dengan tingkat presisi dan akurasi
produktivitas belanja negara yang terbaik di dunia. `Negeri Sakura' berhasil
membangun sistem tata kelola anggaran negara yang produktif, yaitu
merealisasikan anggaran belanja negara (khususnya belanja modal) dengan amat
cerdas dan visioner.
Ada
dua karakter realisasi belanja modal ala Jepang yang bisa memberi inspirasi kepada
para pengambil kebijakan anggaran di negeri ini.
Pertama,
bottom-up. Jauh sebelum perencanaan
belanja modal diketok pada lembagalembaga negara terkait dari berbagai level,
setiap departemen/lembaga negara tempat pos belanja modal akan dipergunakan, departemen
keuangan Jepang secara sistemis dan masif melakukan ‘referendum’ pada level
akar rumput mulai pusat hingga daerah.
Tujuannya
untuk merekam ‘daftar keinginan’ rakyat/publik secara langsung tentang suatu
agenda proyek pemerintah yang benar-benar menjawab persoalan publik.
Daftar
isian proyek setiap kementerian/lembaga negara pun kemudian disinkronisasi
sekaligus diuji publik.
Kedua,
propublik, bukan proelite. Anggaran ‘publik’ ala Jepang juga sarat agendaagenda
publik secara nyata, bukan sekadar ‘atas nama’ belaka seperti terjadi di
Indonesia. Caranya?
Setelah
uji publik dari setiap pos anggaran negara yang ada di tiap kementerian/lembaga
negara, departemen keuangan kemudian melakukan uji produktivitas, yaitu
menilai, menafsir, dan memprediksikan nilai guna, nilai manfaat sosial sebuah
pos anggaran belanja modal terhadap totalitas jumlah dana negara yang akan
dikeluarkan.
Dengan
dua karakter anggaran belanja modal demikian, wajar apabila anggaran Jepang
dikenal amat efi sien, efektif, dan produktif bagi semua kepentingan.
Ubah Strategi
Hal
sebaliknya terjadi di Indonesia. Meskipun sudah bergelar berderet-deret dan
kuliah di luar negeri sekian lama, para perumus kebijakan anggaran nyaris tak
pernah mau dan mampu mengubah strategi perencanaan realisasi belanja negara
(apalagi belanja modal) karena berbagai alasan klasik. Akibatnya, naiknya
anggaran belanja (modal) negara tak hanya dinikmati elite negara dan partai
politik yang dekat dengan pengambil keputusan, tetapi juga sering gagal
menjawab masalah rakyat itu sendiri. Anggaran publik pun akhirnya sekadar `atas
nama' rakyat belaka.
Kini,
persoalan yang terjadi dalam desain anggaran sebenarnya bukan lagi miskin duit
negara atau seperti yang banyak diperdebatkan media, negara sedang tekor
sehingga minim belanja modal. Itu lebih kepada kecerdasan, visi produktivitas
para pengambil kebijakan anggaran di berbagai level pemerintahan itu sendiri
yang kian cekak.
Terlebih
dalam birokrasi di Indonesia, setiap pos belanja modal tak pernah
diujipublikkan, apalagi meminta pendapat rakyat ala pemilu. Para birokrat dan
politisilah yang selama ini menjadi subjek sekaligus objek belanja modal
sehingga seperti disebutkan hasil riset LSM Fitra Jakarta, 80% anggaran publik
(baca: negara) dinikmati dari, oleh, dan untuk para birokrat, pejabat, dan
politisi.
`Pos siluman', yang lahir tanpa
perencanaan matang dan miskin nilai guna sosial, kecuali proyek-proyek pesanan
elite dan politisi, ditempatkan di berbagai pos belanja modal kementerian,
lembaga negara, atau pemerintah daerah. Kasus mafia anggaran yang kini sedang
disidik KPK dengan melibatkan segenap wakil rakyat, elite parpol, dan birokrat
dapat menjadi prototipe realisasi penyerapan anggaran kontraproduktif dimaksud.
Oleh
karena itu, sebelum anggaran negara disandera para penyamun, para pengerat
anggaran itu, pemerintah melalui Kemenkeu dan lembaga terkait harus
bahu-membahu melakukan upaya pencegahan sistemis sekaligus mendesain prototipe
membangun realisasi belanja modal yang lebih efisien, efektif, dan produktif
sehingga anggaran negara menjawab kebutuhan dan keinginan seluruh rakyat.
Komando
untuk mengeksekusi hal demikian kini ada di kementerian keuangan dan lembaga
terkait lainnya yang kini sedang sibuk dengan agenda reformasi birokrasi.
Inilah PR reformasi birokrasi realisasi belanja modal yang tak kalah strategis
untuk segera dibangunkembangkan kini dan nanti. Itu jika pemerintah hendak
menghemat anggaran seperti yang sedang dikampanyekan belakangan ini! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar