Jumat, 11 Mei 2012

Esensi Justice Collaborator


Esensi Justice Collaborator
Frans H Winarta; Ketua Umum BPP Peradin, Anggota Governing Board
Komisi Hukum Nasional Keamanan Transportasi (EKKT) 2007  
SUMBER :  SINDO, 11 Mei 2012


Wacana mengenai status justice collaborator bagi tersangka kasus suap di Proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Wisma Atlet SEA Games, Angelina Sondakh (Angie), telah menimbulkan respons yang beragam dari masyarakat.
Berbagai optimisme dan pesimisme mewarnai kehadiran wacana tersebut. Dalam konteks inilah akan lebih arif dan bijaksana jika kita mengembalikan semuanya pada maksud dan spirit dari pemberian status sebagai justice collaborator. Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi).

Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.”

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan dari penuntutan’ bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

Selanjutnya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA No 4/2011), pada angka 9 (a dan b) ditegaskan beberapa pedoman untuk menentukan kriteria justice collaborator.

Pertama, yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Kedua, jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelakupelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Berdasarkan SEMA No 4/2011 tersebut, adalah sesuatu yang tidak logis dan di luar logika hukum jika kepada Angie diwacanakan status justice collaborator. Sejak awal Angie lebih banyak menyangkal fakta-fakta yang dituduhkan kepadanya.

Misalnya di kemudian hari Angie menerima tawaran sebagai justice collaborator dan kemudian menarik semua pernyataan yang telah telanjur dilontarkan, sudah pasti ia akan dikenai pasal tentang kesaksian palsu. Justice collaborator seolah sudah basi jika baru diwacanakan sekarang. Sangat diharapkan bahwa lembaga yang berwenang sangat selektif dalam mengualifikasi seseorang ketika akan dijadikan justice collaborator.

Posisi Angie sebagai pelaku utama memang masih dipertanyakan. Sejauh ini media mendeskripsikan posisi dia sebagai makelar saja alias penghubung dari beberapa pihak. Benar bahwa peluang Angie nyaring “bernyanyi” ketika dijadikan justice collaborator akan tinggi. Tersimpan harapan bahwa penelusuran dan pengungkapan pelaku-pelaku lain yang lebih besar dapat terkuak.

Di sinilah imparsialitas dan independensi KPK dipertaruhkan. Jangan sampai KPK hanyut dalam arus permainan para koruptor dan terperangkap pada kepentingan- kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu yang mendesain dan merekayasa kasus ini. Hukum harus dijadikan panglima dalam hal ini. Kepentingan yuridis, yaitu penegakan hukum yang adil, harus diutamakan dari sekadar kepentingan politis pihak-pihak tertentu yang mempunyai skenario tersembunyi terhadap kasus ini.

Terkait dengan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, Pasal 197 angka (1) huruf (f) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, “disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.”

Beberapa hal yang dapat meringankan terdakwa antara lain: tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum, berusia masih muda, berkelakuan baik atau sopan selama persidangan di pengadilan, atau memiliki tanggungan anak dan istri. Posisi sebagai justice collaborator tidak dapat serta-merta dihubungkan dengan upaya untuk memperoleh keringanan hukuman.

Sekiranya hakim memberikan keringanan hukuman, itu adalah berdasarkan hal-hal tersebut di atas, bukan karena setelah menerima tawaran untuk menjadi justice collaborator. Sikap kooperatif seorang terdakwa sudah cukup menjadi dasar bagi hakim untuk memberikan keringanan. Jadi spirit penerapan justice collaborator diletakkan dalam konteks untuk membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negosiasi pihak-pihak yang berkepentingan.

Terkait dengan hal tersebut, mendesak untuk segera disusun sebuah peraturan khusus yang mengatur justice collaborator sehingga tidak hanya berlandaskan pada tafsiran SEMA No 4/2011. Last but not least, keberhasilan dalam mengembalikan aset-aset suatu tindak pidana (stolen asset recovery) menjadi aspek yang harus diutamakan dan tidak semata-mata mengedepankan hukuman bagi pelaku korupsi.

Penggunaan UU Pencucian Uang dapat dilakukan mengingat definisi dan kategori pencucian uang seperti ditegaskan dalam Pasal 3 UU Pencucian Uang dapat diterapkan dalam kasus AS. Mekanisme kerja sama internasional Mutual Legal Assistance (MLA) layak dilakukan jika terdapat bukti adanya penyembunyian aset di luar negeri sebagai hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar