Jumat, 11 Mei 2012

Peluang dan Tantangan Justice Collaborator


Peluang dan Tantangan Justice Collaborator
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM)  
SUMBER :  SINDO, 11 Mei 2012


Setelah menuai badai cercaan publik yang menetapkan Angelina Sondakh (Angie) dan Miranda Goeltom sebagai tersangka tindak pidana korupsi (TPK) tanpa diikuti dengan penahanan, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memperoleh apresiasi dari berbagai kalangan lantaran berani menahan mantan Putri Indonesia tersebut tanpa kompromi.

KPK dan berbagai kalangan mendesak agar Angie bersikap koperatif dan jujur untuk membantu KPK mengungkap tabir skandal TPK dalam proyek Wisma Atlet Hambalang dan lain-lain. Sejak itu, istilah justice collaborator menjadi populer dalam wacana publik. Istilah ini mula-mula muncul pada kasus pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia yang melibatkan Agus Condro yang berani membongkar keterlibatan dirinya bersama sejumlah anggota DPR yang lain menerima cek pelawat dari Nunun Nurbaeti untuk memenangkan Miranda Goeltom.

Hal serupa juga melekat pada Susno Duadji (mantan Kabareskrim Polri) yang mengungkap secara vulgar keterlibatan koleganya dalam berbagai skandal TPK di tubuh Polri. Anehnya karena meski berjasa membongkar keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus korupsi yang menjeratnya, Wa Ode Nurhayati tidak pernah dikategorikan secara formal sebagai justice collaborator.

Padahal secara teknis yuridis, sikap koperatif  Wa Ode tersebut memenuhi sarat sebagai justice collaborator sesuai dengan Surat Edaran MA (SEMA) No 4/2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Dalam SEMA tersebut, justice collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan secara jujur dan transparan.

Konsep Dasar

Formulasi justice collaborator sebagaimana dikemukakan di atas makin memperoleh tempat dengan lahirnya SKB antara LPSK, Kejagung, Polri, KPK dan MA tertanggal 19 Juli 2011. Berdasarkan ketentuan tersebut, ada tiga kriteria justice collaborator. Pertama, ia adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Kedua, jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif. Ketiga, atas jasa-jasanya menjadi justice collaborator, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.

Dalam hal ini, seorang yang mengemban fungsi sebagai justice collaborator oleh hukum diberi penghargaan dalam bentuk insentif dan kompensasi peringanan hukuman. Namun dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Karena jika tidak berhati-hati, pemberian insentif dan kompensasi berpotensi melahirkan ketidakadilan baru.

Bahkan dapat menimbulkan implikasi luas yang bermuara pada terjadinya kekacauan penegakan hukum dan pemberantasan TPK. Karena itu, pemberlakuan justice collaborator harus tetap mengacu pada konsep dasarnya sebagai upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka mengungkap keadilan yang akan diabdikan kepada publik. Dalam hal ini stressing point-nya tertuju pada target mengungkap keadilan.

Informasi yang diungkap justice collaborator kepada penegak hukum haruslah konkret dan valid serta berkorelasi secara signifikan dengan proses tindak lanjut. Seseorang yang mengemban peran sebagai justice collaborator dalam kasus korupsi secara tidak langsung menerima konsekuensi untuk disebut sebagai salah satu aktor dalam kasus tersebut meski bukan sebagai aktor utama.

Jika justice collaborator koperatif mengembalikan semua aset yang diperoleh dari hasil korupsi, penegak hukum setidak-tidaknya telah memperoleh bukti tambahan berupa sejumlah aset maupun dokumen lain yang terkait dengan korupsi tersebut. Upaya seperti ini bukanlah perkara mudah. Selain karena masih kuatnya mafia dan intervensi terhadap proses penegakan hukum, khususnya TPK yang dominan melibatkan figur elite, juga karena kultur hukum kita sendiri masih sangat lekat dengan mentalitas nonprofesional dari aparat penegak hukum di hampir semua sektor. Adapun dari sisi substansi hukum juga menyumbang persoalan krusial di mana sistem hukum kita belum atau tidak memberlakukan secara konsisten asas hukum seperti asas pembuktian terbalik (shifting burden of proof) dalam pemberantasan korupsi.

Motif Justice Collaborator

Jika KPK membutuhkan justice collaborator untuk mengungkap kasus, ia pertama-tama haruslah melakukan pencermatan secara intensif dan komprehensif terhadap niat seorang pelaku korupsi menjadi justice collaborator. Dalam hal ini, formulasi pelacakan bermuara pada aspek normatif (das sollen). Jika intensi tersebut hanyalah untuk memenuhi target pragmatisme yang dikemas dengan bahasa apologi dan hipokrit, KPK dapat tersandera permainan justice collaborator dengan konfigurasi agent of roadmap dari suatu lintas perspektif das sein dalam law enforcement. Selanjutnya jika kemauan untuk menjadi justice collaborator semata-mata karena menargetkan agent of justice collaborator seorang tersangka, ia sebenarnya mengincar keringanan hukuman dengan membangun alibi bahwa dirinya tak lebih hanyalah korban (the victim of illegal system due to political assessment).

Karena itu jika seorang tersangka menjadi justice collaborator dengan dasar kewajiban umum untuk membantu membongkar kasus, KPK sangat berpeluang untuk mencapai target. Tapi jika intensi tersangka menjadi justice collaborator sekadar untuk meringankan hukuman atau untuk “balas dendam” terhadap pihak lainnya yang turut terlibat meski dengan eskalasi yang sangat kecil, KPK berisiko terseret dalam pusaran kasus yang diskenariokan kepentingan sang justice collaborator.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar