Mengurai
Ketegangan Anak Bangsa
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan;
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 15 Mei 2017
Sepanjang sejarah, kita sudah sering konflik. Konflik
antaranak bangsa karena perbedaan suku, agama, atau karena hal lain.
Kerusakan yang ditimbulkannya tidak kecil. Kerusakan fisik dalam skala
triliunan rupiah. Tapi, yang lebih menyedihkan adalah korban jiwa manusia.
Korban berbagai konflik itu sudah begitu banyak, terlalu
banyak. Karena itu konflik harus dicegah, jangan sampai terulang.
Dari begitu banyak konflik, sayangnya, kita tidak mendapat
informasi yang tegas soal apa latar belakangnya. Juga jarang ada tindakan
hukum yang memadai terhadap pelaku kejahatan selama konflik berlangsung. Yang
ada biasanya analisis pada level gosip, mencoba menjelaskan situasinya secara
teoretik.
Sesekali ada tim pencari fakta. Tapi, hasil kerjanya tak
pernah jelas. Kalaupun ada, tidak ada tindak lanjut yang jelas.
Konflik itu ada miripnya dengan kecelakaan; sebab-sebabnya
bisa kita pelajari. Kita sebenarnya bahkan bisa merasakan dan melihat. Hanya
saja, dalam hal konflik, ada faktor-faktor yang tak terlihat, sehingga sering
kita melihatnya sebagai potongan mozaik-mozaik. Yang menghubungkannya sering
kali adalah gosip-gosip tadi.
Sering kita dengar penjelasan, atau analisis tentang
konflik. "Ini bukan soal agama, ini semata soal kesenjangan." Tapi,
apakah kita bisa percaya kesenjangan saja bisa menimbulkan konflik?
Sesederhana sejumlah orang miskin menyerang orang kaya? Tentu, tidak!
Penjelasan tadi terasa seperti sebuah simplifikasi, bahkan terkesan ingin
menutupi fakta tertentu. Tentu saja faktor kesenjangan ada. Tapi, apakah itu
satu-satunya faktor?
Benarkah tidak ada faktor agama yang bermain dalam
konflik? Atau, sebenarnya faktor itu yang dominan? Kalau ada, bagaimana
detailnya? Hal-hal seperti ini tidak pernah dibahas secara terbuka. Orang
cenderung fokus pada usaha memadamkan konflik belaka. Setelah itu, mereka
mencoba melupakannya. Atau, berpura-pura, seolah konflik itu kejadian
insidental saja. Padahal faktanya konflik itu berulang.
Kenapa tak mau membahasnya? Saya khawatir, itu tanda
adanya persoalan yang lebih besar. Sedikit orang yang mau mengakui perasaan
mereka soal agama lain. Banyak orang yang tampil seperti orang yang
menghargai keragaman, tapi jadi berbeda saat berada dalam komunitas tertutup.
Tidak sedikit pula yang bergaul baik dengan orang berbeda
iman, tapi punya pikiran yang sebenarnya radikal soal orang yang tak seagama
dengannya. Demikian pula soal etnis. Ada orang yang begitu rapat bergaul,
berbisnis dengan orang-orang dari etnis tertentu, tapi sebenarnya ia
menyimpan stereotip negatif tentang etnis tersebut.
Usaha-usaha dialog antaragama, atau antaretnis bagi saya
lebih sering merupakan seremoni belaka. Jarang ada dialog yang benar-benar
jujur soal apa yang kita rasakan, dan bagaimana kita memandang kelompok lain.
Padahal ini penting. Sering kali kita tidak sadar soal apa efek tindakan kita
terhadap pihak lain. Tanpa umpan balik dari mereka, kita seperti tak punya
cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Menurut saya, penting bagi kita untuk punya forum dialog,
tempat kita bisa bebas mengatakan apa yang kita rasakan tentang pihak lain.
Termasuk soal hal-hal yang tak ingin mereka dengar sekalipun. Sebaliknya,
pihak sana juga boleh bicara dengan cara yang sama tentang kita. Kita perlu
melihat sosok kita masing-masing, dalam pandangan orang-orang di pihak lain.
Kongkretnya bagaimana? Saya pernah berdialog melalui
mailing list lintas agama. Ketika itu ada kejadian gereja dibakar. Tentu saja
itu menjadi keprihatinan teman-teman Kristen. Saya sampaikan bahwa dalam
ajaran Islam, merusak rumah ibadah orang adalah perbuatan terlarang. Bahkan
dalam suasana perang pun hal itu terlarang. Lalu, kenapa orang sampai jadi
begitu?
Saya jelaskan soal psikologi umat Islam dalam memandang
agama Kristen. Saya katakan bahwa ada orang-orang Kristen yang begitu agresif
melakukan penginjilan, dengan target menambah jumlah pengikut. Itu sungguh
meresahkan bagi umat Islam. Bagi mereka, agama Kristen adalah ancaman. Tak
sedikit teman-teman Kristen saya yang terkejut dengan pernyataan itu.
Mereka tak menolak adanya kelompok seperti itu di tubuh
umat Kristen, tapi memberi catatan bahwa kelompok seperti itu hanya minoritas
di kalangan mereka. Tapi, peringatan saya itu membuat mereka menjadi lebih
mawas diri. Seperti itulah.
Tak ada yang perlu ditakutkan dengan dialog yang jujur dan
berterus terang. Syaratnya, kita ingin cari solusi, bukan mencari pihak lain
untuk disalahkan. Bagi saya, ini adalah langkah penting untuk mengurai
ketegangan antarkelompok, yang menjadi bahan bakar konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar