Selasa, 30 Juni 2015

Wajib Belajar 12 Tahun

Wajib Belajar 12 Tahun

  Amich Alhumami ;   Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan;
Bekerja di Direktorat Pendidikan Kementerian PPN/Bappenas
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2015 ini resmi memulai pelaksanaan program Wajib Belajar 12 Tahun. Dijelaskan dengan sangat gamblang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015--2019, melalui program ini pemerintah berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak usia 7-18 tahun sampai jenjang menengah. Karena itu, Wajib Belajar 12 Tahun harus dimaknai sebagai upaya peningkatan layanan pendidikan mulai dari SD/MI sampai SMA/ SMK/MA.

Program Wajib Belajar 12 Tahun merupakan upaya perluasan dan pemerataan pendidikan. Kita tahu, bahwa program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang sudah dilaksanakan sejak 1994 telah berhasil meningkatkan partisipasi pendidikan anak-anak usia 7-15 tahun. Peningkatan itu tecermin pada angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs yang telah mencapai 96,9% (Kemendikbud 2013). Dengan keberhasilan ini, cukup beralasan bila pemerintah berinisiatif untuk memulai program Wajib Belajar 12 Tahun, terutama di daerah-daerah yang sukses melaksanakan Wajib Belajar Sembilan Tahun.

Tujuan utama

Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dinilai penting untuk memberikan layanan pendidikan bagi para lulusan SMP/MTs sesuai dengan kebutuhan individual setiap penduduk Indonesia. Program ini bertujuan utama untuk: (i) memperluas pemerataan pendidikan dan mewujudkan keadilan sosial di bidang pendidikan; (ii) mengurangi kesenjangan capaian pendidikan tingkat menengah antarkelompok masyarakat berstatus ekonomi berbeda; (iii) meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa melalui pengembangan pengetahuan, keahlian, serta keterampilan bagi penduduk usia muda; dan (iv) mempersiapkan anakanak didik dengan landasan keilmuan yang lebih baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Selain itu, Wajib Belajar 12 Tahun juga bernilai strategis, terutama untuk (i) menciptakan lapisan critical mass-suatu kelompok masyarakat berpendidikan menengah ke atas--sebagai basis sosial untuk membangun masyarakat demokratis, toleran, dan inklusif; dan (ii) mempersiapkan penduduk usia produktif memasuki masa transisi antara meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi atau langsung masuk ke pasar kerja.

Menurut Bank Dunia (2012), satu dari tiga lulusan sekolah menengah meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi, selebihnya memilih bekerja.Bagi anak-anak didik yang memilih untuk memasuki pasar kerja, Wajib Belajar 12 Tahun akan membekali mereka dengan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan yang lebih baik sehingga diharapkan lebih produktif di dunia kerja.

Kesenjangan partisipasi

Wajib Belajar 12 Tahun merupakan program strategis untuk melakukan percepatan dalam upaya meningkatkan partisipasi pendidikan pada jenjang menengah, yang ditargetkan sekitar 92% pada 2020. Sejalan dengan upaya perluasan dan pemerataan pendidikan menengah, sangat penting melihat disparitas partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat yang tecermin pada angka partisipasi sekolah (APS) anak-anak usia 16-18 tahun.

Data Susenas 2012 menunjukkan kesenjangan partisipasi pendidikan antara pen duduk kaya dan miskin sangat mencolok. APS penduduk usia 16-18 tahun pada kelompok kuantil pertama (20% termiskin) baru mencapai 42,9%, sementara pada kelompok kuantil lima (20% terkaya) sudah mencapai 75,3%. Fakta itu menjadi dasar yang sangat kuat bagi pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, yang dimaksudkan untuk meningkatkan layanan pendidikan jenjang menengah, terutama untuk siswa-siswa dari keluarga tidak mampu sehingga kesenjangan partisipasi pendidikan dapat dikurangi.

Perlu juga dilihat kesenjangan partisipasi pendidikan antarwilayah--antarprovinsi, dan antarkabupaten di dalam satu provinsi. Penting dicatat, masih terdapat sebanyak sembilan provinsi dan 177 (32,5%) kabupaten dengan angka partisipasi murni (APM) jenjang pendidikan dasar--SMP/MTs--di bawah rata-rata nasional (76,6%). Sekadar menyebut sebagian saja, Sukabumi dan Pangandaran (Jawa Barat), yakni 54,28% dan 56,85%; Sampang dan Bangkalan (Jawa Timur), yakni 54,56% dan 63,46%; Bangka Selatan dan Bangka Tengah (Bangka Belitung), yakni 41,73% dan 63, 05 % ; Waropen dan Puncak (Papua), yakni 24,87% dan 24,92% (Kemendikbud 2013). Tentu saja, kabupaten dengan APM pendidikan dasar yang masih rendah ini harus didorong untuk menuntaskan Wajib Belajar Sembilan Tahun, agar pada waktunya siap melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun.

Kualitas dan relevansi

Upaya mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan-antarkelompok sosial-ekonomi dan antarwilayah--jelas merupakan tantangan serius dalam pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun. Namun, program ini tak akan punya signifikansi sosial-ekonomi bila tak disertai upaya peningkatan mutu dan relevansi. Sungguh, perluasan dan pemerataan pendidikan menengah harus dibarengi dengan peningkatan kualitas dan relevansi agar Wajib Belajar 12 Tahun dapat memberi manfaat sosial-ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan berkembangnya perekonomian nasional yang tecermin pada kegiatan usaha/industri yang terus tumbuh sehingga kebutuhan tenaga kerja makin meningkat.

Dengan pendidikan yang lebih baik sampai jenjang menengah diharapkan pasokan tenaga kerja menjadi lebih berkualitas. Data Sakernas (2013) menunjukkan, sebagian besar (61,32%) tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah. Itu berarti sangat minim pengetahuan dan rendah keterampilan. Dengan perekonomian yang semakin kompetitif, dunia usaha/ dunia industri niscaya membutuhkan tenaga kerja yang kompeten untuk mendukung persaingan usaha. Karena itu, pendidikan menengah, terutama SMK harus lebih mengutamakan bidang-bidang keterampilan dan keahlian khusus yang dibutuhkan dunia usaha/dunia industri, agar lebih cepat terserap di pasar kerja. Daya serap yang tinggi di dunia kerja bagi lulusan sekolah menengah merupakan indikator utama relevansi pendidikan menengah terhadap dunia usaha/dunia industri.

Strategi pelaksanaan

Agar Wajib Belajar 12 Tahun dapat dilaksanakan dengan baik, perlu strategi implementasi yang dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut, yakni (1) pemetaan kesiapan daerah--provinsi dan kabupaten/kota--serta permintaan layanan pendidikan menengah di setiap wilayah; (2) penyediaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan (e.g.unit sekolah baru, ruang kelas baru, perpustakaan, dan laboratorium) dengan memanfaatkan berbagai alternatif sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta (CSR).

Selain itu, (3) penyediaan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu tersebar merata di seluruh wilayah; (4) pengembangan kurikulum pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan relevan dengan dinamika industri dan pasar kerja, termasuk (5) penyediaan biaya operasional sekolah yang memadai; (6) penyediaan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, bantuan untuk daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.

(7) pengembangan sistem penjaminan mutu pendidikan menengah untuk menjaga kualitas pendidikan; dan (8) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pendidikan menengah didasarkan pada delapan standar nasional pendidikan, sehingga semua satuan pendidikan menengah dapat berkinerja baik dan mencapai standar kualitas yang ditetapkan. Wajib Belajar 12 Tahun tanpa disertai jaminan mutu hanya akan melahirkan lulusan-lulusan sekolah menengah tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai sehingga potensial memicu munculnya masalah-masalah sosial baru di masyarakat.

Kesetaraan dalam Desentralisasi Pendidikan Kita

Kesetaraan dalam Desentralisasi Pendidikan Kita

  Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEBIJAKAN wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK patut diapresiasi semua pihak. Meskipun angka partisipasi kasar menunjukkan kemajuan yang berarti serta mendukung dilakukannya kebijakan wajib belajar 12 tahun, dalam banyak hal, pemerintah tetap harus dikritisi secara cerdas. Terutama berkaitan dengan aspek desentralisasi pendidikan kita yang masih amburadul di tingkat lokal dan pusat. Belum lagi jika kita lihat tidak seimbangnya jumlah lembaga pendidikan dasar dan menengah serta peran penting sekolah swasta yang selama ini belum diperhatikan secara baik. Itu pasti akan membawa implikasi yang tidak mudah bagi kebijakan baru tersebut.

Lima indikator

Péter Radó dalam Governing Decentralized Education Systems: Systemic Change in South Eastern Europe (2010) setidaknya mengingatkan lima hal yang harus secara terusmenerus dilakukan pemerintah untuk menjaga sebuah kebijakan pendidikan. Pertama ialah membenahi aspek manajemen pendidikan terutama yang berkaitan dengan aspek pembiayaan dan relasi sumber daya pusat dan daerah. Sudah banyak sekali kajian yang menyebutkan bahwa skema pembiayaan pendidikan melalui penyaluran dana BOS rentan sekali untuk dimanupulasi karena tidak didukung kualitas sumber daya pendidikan yang tidak merata, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kedua ialah masalah kurikulum yang hingga saat ini belum dimatangkan secara operasional. Ambiguitas para guru, kepala sekolah, dan pengawas dalam melakukan evaluasi pendidikan jelas menjadi terganggu karena kebijakan soal kurikulum masih menggantung antara KTSP dan K-13.Jika terus dibiarkan, situasi itu akan berimplikasi secara serius dalam proses belajar mengajar di ruang kelas. Padahal, jika kebijakan kurikulum itu seiring sejalan dengan kebijakan pembiayaan pendidikan, yaitu sekolah diberikan keleluasaan yang besar dalam mendesain dan mengimplementasikan kurikulum sebagaimana tertera dalam kebijakan KTSP, setidaknya itu akan membantu sekolah untuk belajar secara mandiri.

Ketiga, pemerintah harus terus meningkatkan kualitas evaluasi pendidikan secara mikro dan makro. Evaluasi pendidikan bukan hanya menyangkut hal teknis tentang bagaimana evaluasi dilakukan terhadap siswa, seperti ujian nasional, melainkan juga penting untuk membuat lembaga-lembaga independen yang mampu mengevaluasi kinerja guru, kepala sekolah, pengawas, dan komite sekolah secara terus-menerus. Sejak lama saya membayangkan seharusnya lembaga sejenis BNSP bukan hanya ada di tingkat pusat, melainkan juga ada di tingkat provinsi serta kabupaten/kota. Seluruh perguruan tinggi negeri juga harus menjadi pioner dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan secara bermartabat dan bertanggung jawab.

Lembaga-lembaga independen jenis itu merupakan prasyarat keempat dalam proses desentralisasi pendidikan kita yang tidak pernah digarap secara serius. Bahkan, pemisahan pendidikan tinggi dan kementerian akan semakin mengecilkan harapan kita bahwa ada lembaga profesional dan independen yang akan mengawal proses manajemen kependidikan di seluruh level dan jenjang pendidikan.

Indikator kelima yang juga penting dalam menjaga proses desentralisasi pendidikan secara benar ialah kepastian sebuah kebijakan dijalankan secara benar oleh para pelaku pendidikan di tingkat lokal. Misalnya, teramat penting bagi pemerintah untuk membuat platform pendidikan agar da pat dijalankan secara serius selama minimal empat tahun, sebelum diubah berdasarkan hasil evaluasi dan kajian yang serius, seperti perubahan kurikulum dari waktu ke waktu.Kita harus belajar dari Finlandia dalam melakukan hal itu. Mereka mempunyai kesekapatan evaluasi terhadap kebijakan kurikulum dilakukan setiap empat tahun sekali, dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.

Tidak adanya kajian yang serius terhadap kelima indikator desentralisasi pendidikan itulah yang menyebabkan kita kesulitan menunjukkan bukti kesetaraan dalam pendidikan. Padahal, sejatinya, kesetaraan dalam pendidikan merupakan fitrah yang secara normatif, bahkan telah dimuat secara kasatmata dalam UUD 1945. Sesungguhnya kesetaraan bukan hanya berorientasi kepada akses dan partisipasi semata. Kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari tujuan dan proses pendidikan semata, melainkan juga harus mem pertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti itulah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang pro pada kebutuhan publik.

Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam kesetaraan kondisi (equality of condition), kita berfokus bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas serta cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan untuk dapat direalisasikan.

Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang memadai.

Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru dengan 
siswa yang semakin peduli dengan proses belajar mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan itu akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing. Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks itu, kesetaraan kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pendidikan kita.

Ramadan yang Bahari

Ramadan yang Bahari

  Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEBENARNYA apa arti Ramadan bagi kita, manusia Indonesia? Apa arti puasa wajib di bulan suci itu? Terus terang, saya agak khawatir dengan jawaban-jawaban yang tersedia untuk itu, terutama ketika mengacu pada praksisnya. Setidaknya di sebagian atau bahkan bisa jadi di kalangan mayoritas publik kita.

Seperti biasa, saya tidak akan memenuhi tulisan ini dengan berbagai kutipan, mengenai makna, hikmah, hingga aturan fikih tentang puasa, baik dari kitab suci, hadis, maupun ungkapan para ulama yang berijtihad. Saya hanya ingin melihat dan belajar bagaimana praksisnya dalam keseharian kita. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang suci itu ada dalam hidup dan dunia di sekeliling kita, di mana arti, makna dan hikmahnya terhijab oleh fakta, data, dan peristiwa (fenomena) yang ada dan terjadi di sekitar kita, setiap hari, setiap saatnya. Ayat dan kitab menjadi kosong bila ia hanya menjadi catatan kaki (footnote), bukan menjadi rekam jejak (footprint).

Macam sebuah pertanyaan, sebenarnya kita melaksanakan puasa Ramadan itu sungguh karena (perintah) Allah, atau hanya karena ia sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat terinternalisasi sejak kita kanak-kanak)? Bila karena satu sebab, misalnya, kita tidak puasa atau batal puasanya, kita sungguh merasa dosa (lantaran paham maksudnya) atau sekadar merasa `bersalah' karena tradisi tubuh itu kita langgar? Semacam kita merasa bersalah (bisa jadi berdosa) karena suatu kali tidak mengikuti perintah orangtua, padahal biasanya selalu? 
Semacam juga kita merasa bersalah bangun kesiangan karena terbiasa bangun lebih dini; tidak mudik karena tertradisikan untuk selalu mudik; bolos sekolah karena sejak PAUD kita diajarkan untuk selalu masuk sekolah? Dan seterusnya....

Maka saya bertanya kepada seorang sahabat, yang sejak usia 5 tahun hingga 50 tahun kemudian, tidak pernah bolong puasa Ramadannya, apakah dia masih berpuasa setelah menonton sepotong video porno, sebagaimana hobinya? “Masih dong,“ katanya.“Itu artinya kamu tidak minum dan makan, kan?“ tanya saya lagi. “Kecuali sebelum imsak tadi,“ jawabnya polos. Saya pun tersenyum, seperti terlihat bangga padanya.

Saya tidak membenarkan sahabat saya. Namun, tampaknya ia menjadi representan atau simbol sekurangnya dari cara kita berpuasa Ramadan. Selama kita tidak makan dan minum, perut tetap berpuasa, tetapi bagian-bagian lain (mata, telinga, lidah, kata-kata, pikiran, hati, dsb) ternyata tidak berpuasa, kita merasa sah melanjutkan ibadah Ramadan itu, dan turut berbuka bersama yang lain.

Maka saya akan tetap berpuasa ketika saya asyik menggosip atau menggunjingkan orang, teman, atau sendiri kita. Saya akan tetap bukber, tarawih, dan mengaji tiap malam, sahur dan berpuasa hingga magrib, walau mata dan telinga saya melihat dan mendengar hal tak senonoh, pikiran kita mengotori akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain hingga mencuri uang negara alias korupsi, lalu mendermakan sebagian kecilnya untuk infak, zakat, sumbangan masjid, panti asuhan, atau sekadar takjil gratis.

Bila ada 10 bagian dari diri kita yang `ilahiah' ini ternyata ada satu bahkan sembilan bagian tidak menjalankan aturan puasa, tapi perut tetap menjalankannya, kita akan menyatakan, “Saya (masih) puasa.“ Mungkin kurang berkualitas puasanya, kata sebagian secara apologetik. Puasa ternyata secara sosial ada grade-nya. Lalu apa grade-nya bila sebagian besar, tujuh hingga sembilan bagian dari kita, kecuali perut, tidak puasa? Jawaban akan beragam, tentu. Namun, apakah bukan kenyataan itu menunjukkan ketidakutuhan integritas kita, keterbelahan pribadi dan keyakinan, sikap hipokrit?

Mengurangi `lebih dari lebih'

Ada fakta lain yang dapat dibuktikan bila Anda mau dan mampu? Bahkan seorang wadam atau waria, yang bermata pencaharian menjual jasa `seksual' di malam hingga dini hari, masih ada yang tetap puasa dan mengaji saat subuh sepulang dari kerja atau `praktik'-nya. “Karena saya harus mengajari dan membiasakan kedua anak saya, mendengar suara orang ngaji saat ia bangun pagi. Apalagi jika itu suara bapaknya,“ salah seorang dari wadam itu bercerita.

Tahukah Anda, bila seorang muncikari atau germo menawarkan (tepatnya mendagangkan jasa seksual) dari anak buahnya, setelah ia buka puasa dan salat magrib?

Bahkan sang PSK pun sebagian `libur' siang untuk menjalankan ibadah Ramadan dan melanjutkan kerjanya setelah puasa hari itu lewat. Bagaimana pikiran dan hati kita mendengar, melihat, dan coba memahami semua realitas itu? Saya tak bisa menggambarkan. Bahkan bukan hanya mati dan hati, pikiran pun menitikkan air yang menetes tanpa dapat kita usap atau keringkan.

Tidak seluruh fakta saya mewakili mayoritas, tentu saja. Namun, contoh-contoh yang saya sebut mewakili pertanyaan spiritual, sikap dan tindak beragama kita, Islam khususnya, puasa Ramadan dalam hal ini. Ini menjadi refleksi untuk segala, ibadah kita di bagian yang lain, agama yang lain, sikap spiritual dan keberagamaan kita. Karena segalanya adalah hasil dari proses dan dinamika kebudayaan kita. Semua itu adalah hasil dari kita bermasyarakat, berbangsa, dan berbudaya. Sebagian, mau tak mau, diakui jujur atau tidak, adalah juga bagian dari diri kita, jati diri bangsa kita.

Ramadan, yang para ustaz pasti menyatakan adalah bulan yang kita tunggu, yang kita harus berterima kasih karena masih dipertemukan dengannya, ternyata tidaklah selalu kita posisikan sebagaimana makna, hikmah, nilai, dan berkah yang terkandung di dalamnya. Di mana puasa, khususnya Ramadan, sekurangnya adalah sebuah exercise yang sangat dan sangat penting bagi kaum muslim, bukan untuk membatasi, tapi `me ngurangi' apa pun yang selama ini `berlebih' ia lakukan, konsumsi, katakan, bayangkan, dan seterusnya.

Telah sejak 1,5 milenia lalu Islam datang dengan kesadaran akan dunia yang sangat modern, dunia yang ditandai oleh adagium to have more not to be more. Dunia yang menawarkan bahkan mengimperasi kita untuk mendapatkan lebih dan `lebih dari lebih'. Sesungguhnya, bahkan makanan dan minuman yang kita telan setiap hari berlebih. Menimbulkan `lebihan-lebihan' dalam bentuk lemak, kolesterol, asam urat, hipertensi, atau hiperkalemia dan lainnya, sehingga untuk itu kita membutuhkan berbagai sarana/jasa baru seperti fitness center, kursus yoga, program diet, hingga operasi plastik --yang notebene berbiaya tinggi--hanya untuk menghilangkan atau mengurangi apa yang begitu rajin kita buat berlebih.

Puasa Ramadan adalah peringatan dan latihan untuk kita hidup `kurang'. Dengan mengurangi makan dan minum hanya di dua waktu saja, kita mestinya sadar, ternyata hidup kita tidak kurang apa pun. Tidak kurang fit, tidak kurang sadar, tidak kurang kreatif, tidak kurang rezeki, dst. Lalu kenapa kita harus makan minum berlebih, 3 kali atau lebih, plus camilan, jajanan, dan sebagainya?

Dan apa yang terjadi dalam tradisi Ramadan kita? Di saat kita diminta untuk `kurang', justru uang belanja kita semasa Ramadan meningkat tajam hingga 200% bahkan lebih! Di saat kita berusaha kembali `fitri' karena latihan `kurang' kita memberi hikmah dan kesadaran baru sehingga lahirlah satu manusia (muslim) baru, kita malah berpesta pora.Hanya untuk makan dua hari Lebaran saja kita menyediakan makanan yang cukup untuk satu minggu, dengan nilai yang mungkin 1.000% lebih mahal dari biasanya.

Kita berlebih dengan beli baju baru, sepatu baru, cat rumah baru, mungkin kendaraan baru, mudik dengan biaya aduhai mahal, dan seterusnya. Lalu kita pun sepanjang Ramadan memerah keringat dan air mata lebih banyak untuk menambal beban yang luar biasa itu. Tindak menyimpang bahkan manipulatif atau koruptif harus dilakukan demi tradisi itu. Betapa Ramadan telah membuat kita justru menjadi begitu rakus akan semua yang bersifat material, yang duniawi?

Lalu apa kedudukan, fungsi, peran, dan hikmah Ramadan selama ini, selama bertahun, dekade, dan abad bagi kita kaum muslim Indonesia? Adakah praksis ibadah Ramadan kita membantu bangsa, pemerintah juga diri kita sendiri, untuk merintis atau menciptakan perbaikan atau pembaru an, setidaknya dalam si kap mental, perilaku, moralitas, atau integritas? Apakah ada diri, kelompok, atau bangsa ini mengalami `kefitrian', pembaruan diri, atau semacam renaissance kecil setiap usai Ramadan?

Bila semua jawaban di atas negatif, tidaklah kita selayaknya becermin pada eksposisi faktual di atasnya dan merenung: kenapa semua itu terjadi? Kenapa ia menjadi masif, kolektif, dan-¬entah sedikit atau banyak--kita ada di dalamnya? Apa yang keliru, dalam diri kita, agama, sikap keberagamaan, atau...?

Puasa bahari itu

Tentu saja saya tidak akan menuding. Apalagi kepada hal-hal yang bersifat religius, entah itu tauhid, syariah, atau fikihnya, apalagi kepada para ulama yang bijaksana. Akan lebih baik kita memeriksa diri kita sendiri, bila ternyata cara kita beragama selama ini ternyata selalu diselubungi ¬jika tidak dinternalisasi--oleh ilusi. Ilusi akan kenyataan yang sangat material, yang sesungguhnya pragmatis hedonis, yang justru melawan atau mengkhianati agama kita sendiri, tepatnya kedalaman spiritualitas kita.

Kedalaman spiritualitas yang saya maksud kan ialah spiritualitas dari bangsa ini yang sesungguhnya memiliki basis sangat luhur dan mulia.Maaf bila saya harus katakan sekali lagi, dan akan berulang kali, basis itu ada dalam sebuah peradaban yang bernama bahari, maritim kata sebagian orang. Basis itu sangat sederhana sebenarnya. Seorang yang berilmu (dari bahasa Arab ilm, masdarnya alim atau allamah untuk berilmu dan ulama transliterasi jamaknya dalam Melayu), tidak akan dianggap alim, apalagi disebut ulama, bila pengetahuannya hanya berhenti pada memori atau sistem kognitifnya.

Semua ia yang ketahui akan menjadi (disebut) ilmu ketika ia menjelma dalam 
praksis, dalam hidup kesehariannya. Terutama dalam kemaslahatan sosial dari semua tindakan-tindakannya, baik yang mental maupun fisikal. Elmu kuwi kalakone nganti laku, begitu kearifan jawab mengatakan. Maka, seorang ulama, misalnya, dalam dunia bahari, tidak diukur dari kecakapan lisan, retorika atau jumlah kutipan yang ia slogankan, tapi dari faedah dan akibat baik perbuatan dan produksi kulturalnya. Orang Jawa menyebut apa pun yang seperti dengan `ki' atau `kiai'.

Bila seseorang secara kognitif tahu banyak, belajar lama, baca banyak, mungkin doktor atau profesor di banyak lembaga, tentu ia memosisikan dirinya `lebih tahu' dari yang lain. Ada perasaan dominan, suprematif atau otoritatif, yang pada tingkat mental menjadi semacam arogansi, keangkuhan, dan untuk kaum medioker menjadi sikap yang tengik.Tegak bahkan tengadah, melihat yang lain lebih keci atau lebih di bawah.

Seorang ulama atau kiai dalam hidup bahari, justru sebaliknya. Sistem kognisi berperan, tapi tidak utama, sebagai bagian wajar dari pengetahuan secara keseluruhan. Karena, ilmu dalam tradisi bahari tidak berhenti di cip atau server di otak bagian kiri kita saja, tetapi ia menjalar dan mengendap di kulit, tangan, jari, dengkul, bahu, mata, telinga, rambut, jantung, darah, dan seluruhnya. Seluruh bagian kemanusiaan kita yang `ilahiah' itu berilmu.

Ilmu, bila itu datang dari ayat-ayat suci, sudah menjelma ke dalam hidup dan diri kita.Kitalah ayat-ayat itu. Karenanya, dalam adab bahari sesungguhnya praktik atau dimensi spiritual itu sudah menyatu dalam hidup (keseharian) kita. Tidak terpisah. Apalagi menjadi semacam logos yang struktur dan metode artifisialnya. Apa yang imanen itu transenden.

Bukankah Nabi Muhammad sendiri mempraktikkan itu? Sebagai buta huruf, tentu saja ia tidak membaca Alquran, tetapi ia menjelmakannya, menjadikan sebagai the living Koran, Quran yang hidup, sehingga apa yang ia katakan dan perbuat adalah contoh terbaik dari praksis Alquran, menjadikkan semuanya sebagai Sunatullah, sebagai tandem satu-satunya dari Alquran sendiri. Tidakkah Islam sesungguhnya adalah hikmah dari kata `guru' dalam adab bahari.

Guru bahari kita kenal sebagai akronim.`Gu' berarti digugu, diacu dan dijadikan patokan. `Ru' berarti ditiru, dicontoh. atau menjadi eksemplar yang bisa diikuti. Maka dalam Islam, kita mengacu pada Alquran dan meniru hidup Nabinya. Sebagaimana ulama, kita mengacu pada nilai, moralitas, hingga etika dan estetikanya, dan lalu kita mengikuti, meniru, menela dani cara-cara hidupnya sebagai santri.

Bukankah itu --tidak sebaik nya--berlaku pada semua ibadah kita. Terlebih dalam puasa Ramadan. Bukankah sekadar retorika atau apologia bila puasa hanya terjadi pada perut atau 2-3 bagian tubuh lain nya? Tidakkah praksis (dari puasa) itu menggambarkan secara langsung (ilmu atau) keimanan kita? Apakah kita akan membiarkan, sebagai manusia bahari, puasa kita cacat, tambal sulam sebagai refleksi dari tauhid atau keimanan kita? Saya percaya, Anda akan menjawabnya dengan negatif. Alhamdulillah.

Dialog Pemerintah dan Dunia Usaha

Dialog Pemerintah dan Dunia Usaha

  Firmanzah ;   Rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar FEUI
KORAN SINDO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tulisan John McBeth, seorang analis Australia, yang berjudul The Indonesia Economy: Dangers Ahead sangat menarik untuk kita cermati. Tulisan yang dirilis (22/6) di situs Australian Strategic Policy Institute itu menggambarkan sejumlah kondisi dan tantangan perekonomian nasional saat ini.

Kondisi perekonomian nasional memang sedang tidak menggembirakan, khususnya pada sejumlah indikator ekonomi yang menunjukkan tren perlambatan, seperti menurunnya konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama perekonomian nasional.

Hal ini berakumulasi dan menjadi risiko ketidakpastian yang memukul kepercayaan, baik produsen maupun konsumen seperti yang telah saya sampaikan pada pekan lalu (22/06) dalam tulisan ”Meredam Risiko Ketidakpastian” di koran ini.

Risiko ketidakpastian yang tadinya bersumber dari eksternal, setelah The Fed masih mengulur keputusan menaikkan suku bunga acuan, telah berdampak pada tingkat kepercayaan domestik terhadap prospek perekonomian nasional.
Beberapa sinyal penting untuk segera direspons pemerintah tidak hanya pada ekonomi makro, melainkan juga sejumlah indikator sektor riil. Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7% pada triwulan 1 2015, dan menurut saya akan sulit untuk mencapai pertumbuhan 5,7% di tahun ini seperti target APBN-P 2015.

Meski tren perlambatan ekonomi Indonesia sejak triwulan III 2012, yang paling tajam terjadi pada triwulan I 2015, di mana ekonomi hanya tumbuh 4,7%.
Beberapa indikasi semakin terpuruknya perekonomian nasional selain perlambatan dapat dilihat dari kinerja ekonomi triwulan 1 2015 lainnya seperti pelemahan sektor industri, menurunnya pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, depresiasi nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masih tertekannya ekspor, tidak optimalnya penerimaan pajak, konsumsi masyarakat yang menurun, dan sebagainya.

Tentunya ini merupakan potret ekonomi yang kurang bersahabat bagi pengelola kebijakan. Tantangan pengelolaan ekonomi negara memang tidak semudah yang dibayangkan. Kompleksitas yang terkandung di dalamnya kerap menyulitkan bagi pemerintah untuk dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkualitas dan inovatif. Namun, perlu dicatat, kita memiliki banyak pengalaman menghadapi berbagai tekanan ekonomi baik eksternal maupun internal sepanjang periode 2008-2012.

Tantangan yang kita hadapi selama kurun waktu tersebut bahkan menurut saya tidak kalah berat dibanding saat ini. Namun, Indonesia mampu melewati gejolak tersebut dan mendapat apresiasi yang besar dari dunia internasional sebagai negara yang mampu memainkan orkestrasi kebijakan ekonomi dengan baik sehingga perekonomian nasional tetap tumbuh kuat dan berkelanjutan. Tidak sedikit negara pada saat itu terus melakukan pendekatan ke Indonesia untuk mendapatkan resep-resep pengelolaan ekonomi yang dilakukan pada saat itu.

Kebijakan yang tepat dan terukur saat itu dirumuskan dengan tetap mempertimbangkan makroprudensial tanpa membahayakan keberlangsungan sektor riil adalah kebijakan yang kita butuhkan sekarang. Setidaknya dua momentum pelajaran berharga dari keberhasilan mengelola risiko ketidakpastian ekonomi, yakni pada 2008 dan 2011. Meski risiko pada kedua momen tersebut memang lebih banyak disebabkan oleh tekanan eksternal, sedangkan saat ini banyak disebabkan oleh tekanan internal, seperti perlambatan konsumsi akibat menurunnya daya beli masyarakat, minimnya serapan belanja pemerintah, dan tidak bergairahnya dunia usaha, keduanya membutuhkan respons kebijakan yang tidak hanya cepat, tetapi juga efektif.

Pemerintah saat ini harus berhadapan dengan dua front sekaligus. Pertama, memitigasi dampak ketidakpastian perekonomian global. Kedua , meningkatkan kepercayaan para pelaku ekonomi tentang prospek ekonomi nasional untuk mencegah semakin memburuknya kondisi perekonomian seperti penutupan fasilitas produksi dan meluasnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akibatsemakin lesunya perekonomian dalam negeri.

Belajar dari penanganan krisis 2008 dan 2011, saat itu Indonesia memperkuat koordinasi kebijakan lintas sektoral, koordinasi sektor fiskal-moneter-riil, serta memperkuat komunikasi dengan dunia usaha. Menurut saya, ketiga hal ini perlu segera tercermin dari langkah-langkah strategis pemerintah dan otoritas lain.
Ketidaksinkronan kebijakan lintas sektor harus dihindari agar market dan pelaku ekonomi memahami benar dan bisa mengikuti arah kebijakan pemerintah. Stimulus fiskal yang terarah dan terpadu yang menyasar pada dua sector sekaligus yaitu ke konsumen dan produsen membutuhkan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian/lembaga, lintas otoritas, dan kerja sama pusat-daerah. Tanpa adanya keterpaduan, kebijakan yang dihasilkanhanyabersifat sporadis, sehingga tidak banyak membantu untuk keluar dari kondisi saat ini.

Salah satu langkah yang menonjol dan secara intensif dilakukan pemerintah pada penanganan krisis 2008 dan 2011 yakni dialog dan koordinasi dengan dunia usaha. Hal ini dimaksudkan tidak hanya untuk mendapatkan masukan- masukan dari dunia usaha, melainkan juga digunakan sebagai media untuk mengajak dunia usaha bersama-sama pemerintah dalam mengatasi krisis pada saat itu.

Lebih spesifik lagi, pemerintah pada saat itu meminta dunia usaha untuk tidak panik dan tidak melakukan aksi-aksi korporasi yang justru semakin menekan ekonomi nasional. Kita tentu ingat dalam banyak kesempatan pemerintah bersama dunia usaha yang diwakili sejumlah organisasi seperti Kadin, Apindo, dan asosiasi lainnya terus berkoordinasi merespons sejumlah perkembangan ekonomi global dari hari ke hari. Ini berbuah positif dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil mengelola risiko pada saat itu.

Berkaca pada pengalaman tersebut, Presiden Jokowi dan pemerintahan saat ini perlu kembali menggalakkan dialog ini, khususnya di tengah terjadinya pelemahan daya beli masyarakat, penurunan kinerja dunia usaha (perbankan, industri manufaktur, UMKM, dan sebagainya), dan tekanan berkepanjangan pada pasar modal dan pasar uang yang terus terjadi. Dunia usaha merupakan salah satu elemen yang berpotensi besar membantu pemerintah dalam mengakselerasi sejumlah kebijakan strategis yang dapat menjadi solusi pengelolaan ekonomi nasional. Koordinasi dan ruang dialog bersama dunia usaha perlu untuk terus diperkuat dan diperluas agar kebijakan Presiden Jokowi di sektor ekonomi dapat berjalan optimal.

Risiko pada tahun 2015 ini perlu dicermati dan diwaspadai karena telah mengganggu daya beli masyarakat yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan perekonomian nasional. Menjaga daya beli masyarakat menurut saya adalah hal urgen yang perlu dilakukan pemerintah saat ini. Salah satu upaya tersebut adalah membangun dialog dan koordinasi bersama dunia usaha dengan tujuan agar dunia usaha dapat berperan aktif seperti menahan diri untuk tidak melalukan PHK dalam waktu dekat, mempertahankan aktivitas usahanya, bahkan mendorong investasi dalam negeri, serta meningkatkan partisipasinya dalam sejumlah proyek pembangunan yang telah dicanangkan. Dengan langkah-langkah ini kita berharap tidak terjadi bencana ekonomi yang lebih dalam akibat lesunya kondisi ekonomi yang tengah kita hadapi saat ini.

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi

  Aunur Rofiq ;   Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
KORAN SINDO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tercatat paling lambat dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 hanya mencapai 4,71%, atau di bawah ekspektasi pemerintah sebesar 5,1%. Pencapaian ini lebih rendah dari pertumbuhan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,14%.

Penurunan ekonomi selama kuartal I/2015 mengindikasikan adanya penurunan aktivitas ekonomi. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini, meningkatkan risiko di sektor usaha dan perbankan. Dari sisi kegiatan ekspor impor, dalam kuartal I/2015 ekspor turun 11,7% sementara impor juga anjlok hingga 15%. Sejumlah indikator seperti penjualan ritel, properti, automotif, dan penjualan semen juga dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Otoritas moneter juga menyampaikan realisasi penyaluran kredit tidak setinggi harapan semula.

Permintaan sektor industri juga menurun. Sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor terbesar penyumbang perekonomian, menunjukkan penurunan aktivitas ekonomi sebesar 0,71% dibandingkan kuartal IV/2014. Industri yang mengalami penurunan produksi seperti industri barang galian bukan logam turun 6,64%, peralatan listrik turun 4,74%, industri kayu, barang dari kayu dan gabus serta barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya turun 4,38%, pengolahan tembakau turun 3,15% dan lainnya.

Penurunan aktivitas ekonomi juga disebabkan turunnya konsumsi masyarakat akibat naiknya harga barang keperluan sehari-hari serta penurunan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh dunia usaha. Jumlah tenaga kerja yang tidak terserap bertambah sebagai imbas dari turunnya aktivitas ekonomi pada kuartal I tersebut.

Tekanan yang dihadapi dunia industri berdampak terhadap menciutnya kesempatan kerja. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur di Indonesia dalam kurun satu tahun terakhir saja telah bertambah sekitar 300.000 orang dengan total per Februari 2015 mencapai 7,4 juta orang.

Sementara dari sisi perbankan, pertumbuhan kredit hanya mencapai 12 persen dalam kuartal I/2015. Kondisi likuiditas industri perbankan juga lebih longgar pada kuartal I/2015 dibanding periode yang sama pada kuartal I/2014. Efek dari perlambatan ini, Bank Indonesia (BI) harus menampung dana dari kelebihan likuiditas perbankan. Sejumlah bank yang mengalami kelebihan likuiditas karena minim permintaan kredit, memilih memarkirkan dana di BI daripada dananya menganggur.

Sebenarnya, imbal hasil penempatan dana di BI lebih kecil dibandingkan bank menyalurkan kredit. Misalnya per Maret 2015, bank akan memperoleh imbal hasil 6,13% dari penempatan dana di BI. Sedangkan jika disalurkan menjadi kredit, bank akan memperoleh imbal hasil sekitar 10,52%.

Dalam kondisi penurunan aktivitas ekonomi seperti saat ini, perbankan memiliki risiko jika mengejar pertumbuhan laba terlalu tinggi. Jika mengejar pertumbuhan terlalu tinggi, akan berdampak pada kredit macet (NPL).

Otoritas moneter juga memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga deposit facility pada 5.50% dan lending facility pada 8,00%. Keputusan tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga agar inflasi berada pada sasaran inflasi 4,1% pada 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.

Sebagaimana laporan Bank Indonesia, Indonesia mencatat perbaikan kinerja neraca transaksi berjalan pada kuartal I/2015. Posisi neraca transaksi berjalan Indonesia pada periode itu mengalami penurunan defisit menjadi USD3,8 miliar, setara dengan 1,8% dari produk domestik bruto (PDB). Jurang defisit transaksi berjalan tersebut melandai dibandingkan dengan posisi pada kuartal IV/2014 yang mencapai USD5,7 miliar atau 2,6% terhadap PDB. Tentu saja, perbaikan kinerja neraca transaksi berjalan itu menyiratkan optimisme. Hanya, tren perbaikan itu harus berkelanjutan, seperti perbaikan neraca transaksi berjalan bukan sekadar impor minyak yang anjlok, sehingga mencuatkan kecemasan dalam jangka panjang manakala harga minyak kembali melonjak.

Menjaga Ekspektasi

Meski ekonomi tengah melemah, Indonesia tetap dianggap sebagai negara yang punya potensi besar untuk tetap tumbuh. Dalam kondisi realisasi investasi dan belanja pemerintah yang belum optimal, ekspor yang masih lemah, pilihan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi.

Dari sisi konsumsi, Indonesia masih memiliki kelas menengah yang besar sebagai pendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat. Menurut Boston Consulting Group (BCG) pada 2013, golongan kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang dan di prediksi pada 2020 angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk Indonesia.

Data tersebut memperkuat keyakinan bahwa ekspektasi masa depan ekonomi masih tetap positif. Konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, di mana saat ini sekitar 60% pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Hal ini bisa menjadi pendorong bagi masuknya investasi. Indonesia membutuhkan banyak investasi saat ini, untuk mengoptimalkan perekonomian yang masih tumbuh di bawah potensinya.

Untuk kuartal II/2015, ada peluang ekonomi tumbuh lebih tinggi mengingat ada pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) yang baru diluncurkan semester kedua, yang diharapkan bisa membawa dampak positif terhadap pergerakan ekonomi.

Dalam APBN Perubahan 2015, belanja pemerintah pusat dialokasikan senilai Rp1.319,5 triliun. Dari jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja infrastruktur. Belanja untuk pembangunan infrastruktur ini diharapkan bisa menimbulkan multiplier effect terhadap peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta, sehingga sektor riil kembali bergerak. Jika sektor riil bergerak maka akan mendorong pertumbuhan investasi dan konsumsi.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi kuartal I/2015 mencapai Rp124,6 triliun. Ini naik 16,9% dari masa sebelumnya, Rp106,6 triliun. Realisasi investasi tiga bulan pertama 2015 terdiri atas penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp42,5 triliun, naik 22,8%, serta penanaman modal asing (PMA) Rp82,1 triliun atau naik 14,01%. Pada tahun 2015, pemerintah menargetkan investasi Rp524 triliun.

Dalam kondisi ekonomi yang melemah, pemerintah harus memberikan perhatian terhadap sektor-sektor yang memiliki prospek tumbuh dan menyerap banyak tenaga kerja serta mampu dibiayai perbankan. Dalam kuartal I/2015, beberapa kegiatan produksi yang tumbuh positif adalah lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10,53%. Sektor lainnya adalah lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tumbuh 14,63%.

Hasrat: Hidup dalam Realitas Abu-Abu

Hasrat: Hidup dalam Realitas Abu-Abu

  Mudji Sutrisno ;   Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
KORAN SINDO, 29 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa yang mendorong orang untuk terus “berani” hidup? Darwin dalam teori evolusi mengenai kelangsungan hidup menegaskan bahwa hanya mereka-mereka yang terus bersaing dengan hasrat hidupnya dan memenangkan persaingan untuk terus hidup. Merekalah yang merupakan pemenang, karena itu doktrin kelangsungan hidup dari mereka ini (baca: tak hanya manusia namun pula fauna dan flora makhluk-makhluknya) dinamai survival of the fittest.

Di tayangan-tayangan visual National Geographic, Animal Planet, dan observasi antara predator dan korban yang demi kelangsungan hidup semesta seakan-akan dibahasakan harus melalui seleksi alamiah sebuah kewajaran untuk keseimbangan alam hukum seleksi itu diiyakan bahkan diteguhkan. Tema hasrat ini di ranah politik dalam pengertian dan praksis kekuasaan semakin digarap, diolah mulai dari F Nietzsche yang memberi kata kunci “hasrat untuk berkuasa” agar melangsungkan hidup berkuasa ia tegaskan sebagai will to power atau kehendak untuk berkuasa. Bahkan Michel Foucault mengaitkannya tidak hanya untuk hidup dan hasrat kuasa, tetapi sudah mengungkap dalam diskursus sebagai bahasa wacana.

Ketika wacana feminisme sebagai mazhab yang memperjuangkan kesetaraan mulai dari gender antara perempuan dan laki-laki sampai ke konstruksi-konstruksi kekuasaan patriarki yang menelikung perkembangan perempuan untuk menjadi subjek karena selalu “dijadikan”, sedang berdiskusi untuk menemukan kata kunci di bahasa Indonesia untuk feminisme, mereka berbeda pendapat mengenai pemakaian wanita atau perempuan. Yang setuju terhadap kata kunci perempuan, memperjuangkan makna positif dari kata baku “empu”. Maka perempuan adalah yang dihormati sebagai “empu”: yang diempukan. Empu dimaknai gurunya guru yang sudah makan garam kehidupan, sedangkan mereka ini kurang pas dengan kata kunci wanita.

Padahal setelah meminta penjelasan dari ahli bahasa Sanskerta, yaitu Prof Edi Sedyawati, makna wanita positif sekali artinya, yaitu sebagai “yang diharapkan”, yang bisa dijadikan sandaran. Dan ketika saya menimpali, apakah bisa pula diartikan sebagai “yang dihasrati”, jawabannya bisa diartikan demikian tetapi dalam bingkai kelangsungan hidup yang berlaku pula untuk lelaki. Tanpa hasrat maka kelangsungan hidup dan evolusinya akan berhenti.

                                                             ***

Hasrat berkuasa di dalam hasrat untuk terus hidup menemukan ungkapan nyatanya dalam wacana, diskusi bahkan di tingkat bahasa ucap sebagai ekspresi saat-saat ini. Di ranah politik arti positifnya sebagai strategi, siasat cerdas agar kuasa dipakai untuk mencapai tujuan sejahteranya warga “polis”/kota kecil. Sedangkan arti negatifnya sebagai pokil laku tindak memenangkan kepentingan pemilik kuasa mencapai tujuannya dengan segala cara, maka di situ sejarah peradaban yang ingin membangun keadaban manusia melalui politik yang beretika dan bersumber dari moralitas akan menolak praktik-praktik kekuasaan yang biadab.

Justru di sini, hasrat untuk hidup dan di dalamnya bermuara hasrat untuk berkuasa diuji praksisnya dalam pisau irisan akal sehat dan moralitas nurani dalam dua wilayah. Yang pertama, will to power bersumber dari hasrat untuk membunuh, mematikan lawan-lawan dalam persaingan agar tetap hidup; dan inilah naluri hasrat kematian atau death instinct yang dalam bahasa purba disebut thanatos, hasrat mengalahkan dan mematikan saingan hidup demi survival-nya. Kedua, live instinct atau hasrat untuk melahirkan hidup, merawatnya dan menumbuhkannya. Bila direnungi isinya, wilayah hasrat untuk berkuasa mempunyai bahasa kepentingan untuk dipenuhi, sementara hasrat untuk hidup sebagai life instinct memiliki wilayah bahasa nilai atau yang dipandang dan dihayati sebagai berharga dalam hidup ini.

Benturan dua insting atau naluri itu ada dalam diskresi manusia atau pertimbangan akal budinya yang rasional dan nuraninya yang hening menimbang lalu memilih antara nilai yang berperang berhadap-hadapan dengan kepentingan.

Sekolah pendidikan nilai, dalam hal ini pembatinan dan pendarahdagingan pada manusia apa-apa yang dipahami sebagai baik, dipandang sebagai benar, dihayati sebagai suci dan dirasakan sebagai indah dalam hidup ini agar setiap makhluk hidup tetap survival, atau hidup terus ketika berhadap-hadapan dengan kenyataan yang dimotori oleh kepentingankepentingan yang saling berkecamuk, ternyata membaginya dalam perang antara putih (simbol keutamaan, yang baik, yang bernilai) melawan yang hitam (simbol yang jahat, yang merusak hidup dan yang death instinct).

Bahasa ungkapan perang yang putih lawan yang hitam itu diabadikan dalam ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup sebagai perang terus menerus antara kebaikan versus kejahatan. Maka itu, kita jumpai ajaran perang kurusetra antara yang putih yaitu pandawa dan yang hitam ialah kurawa. Dalam diri manusia pun, perang ini dinarasikan simbolis, namun dipersonifikasikan sebagai perlawanan terus antara setan dan malaikat. Wajah narasi penghakiman untuk pahala bagi pemilih jalan mengikuti yang putih dan kebaikan adalah masuk ke surga, sedangkan jalan lawannya adalah masuk ke neraka.

Teks-teks ajaran kebijaksanaan hidup dibahasakan dengan larangan-larangan untuk berbuat jahat dan dukungan untuk berbuat baik, lalu disumberkan pada kitab suci yang memiliki perwahyuan bagi nabi atau sang guru kebenaran yang lalu diyakini sebagai acuan perilaku hidup baik karena keyakinan bahwa ajaran suci ini diwahyukan oleh yang Ilahi. Sedangkan agamaagama bumi menyumberkan ajaran kebaikan dengan membaca dan menghayati harmoni dalam semesta sebagai jagat besar dan jagat kecil bersama manusia.

Apakah hasrat berkuasa itu hitam, sementara hasrat untuk hidup itu putih?
Keterbatasan jalan pikiran renung yang dikotomik atau memperlawankan kenyataan hidup sebagai dua wilayah yang putih versus yang hitam, pertama-tama ditengahi atau diberi jalan tengah sebagai dirangkum dan diterimanya dua kekuatan itu sebagai silih berganti mana yang sedang berkuasa di atas dalam hal putih (kebaikan) harus sadar nanti akan berputar ke bawah.

Yang kedua, paham dalam yang putih saling membutuhkan dan mengisi dengan yang hitam justru untuk dinamika gerak kosmos, kita kenal dalam pandangan seimbang Yin dan Yang atau kain poleng (hitam putih Bali) yang silih berganti untuk dinamika harmonisasi. Artinya, daya hidup Yin membutuhkan Yang, begitu pun Yang membutuhkan Yin entah dimaknai energi perempuan yang butuh laki-laki dan sebaliknya energi hidup lelaki butuh perempuan.

Yang ketiga, mencoba memakai pendekatan deskripsi fenomenologis yaitu membiarkan realitas menggejala ke kita untuk dialami lalu manusia menyikapinya as such as it is: sebagaimana adanya. Untuk jalan ketiga inilah, tema pokok hasrat untuk hidup dan kehendak atau hasrat berkuasa ingin kita deskripsikan apa adanya di realitas hidup nyata kita untuk disikapi. Realitas hidup ini dalam deskripsi apa adanya secara gejala nyata adalah abu-abu. Artinya, antara yang putih (yang baik) dan yang hitam (yang jahat) itu berkelindan, campur sebagai tidak seluruhnya putih dan tidak seluruhnya hitam.
Ya itu tadi : abu-abu.

Maka sebenarnya, pada masa puasa saudara-saudariku yang muslim, saya ingin bersama- sama ikut merenungkan bahwa dalam realitas abu-abu kita inilah, sekecil cuatan kuas atau tindakan memberi warna putih, sesungguhnya akan membuat yang abu-abu menjadi lebih putih.

Bila kita sepakat yang putih adalah kebaikan, kalau semakin banyak yang mewarnai realitas Tanah Air yang abu-abu dengan yang putih, maka makin putihlah dan makin menanglah kebaikan di sini. Kalau tindakan menghitamkan merajalela, akan semakin kelam hitam pekat kenyataan riil yang sudah abu-abu ini. Dengan kata lain, hasrat untk hidup berbagi dan peduli semoga lebih kuat daripada hasrat untuk berkuasa demi kepentingan ego-ego hitam naluri anti kehidupan.