Sampah
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 12 November 2015
Mungkin hanya di
Indonesia masalah sampah bisa menjadi cerita yang begitu dramatis. Anda
mengikuti beritanya bukan? Ini cerita tentang truk-truk pengangkut sampah
dari Jakarta ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantargebang, Kota Bekasi,
yang sampai harus dikawal polisi.
Pengawalan polisi ini
mengindikasikan betapa seriusnya masalah sampah diIbu Kota. Bukan hanya
semasa DKI Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama, tetapi juga semasa
gubernur-gubernur sebelumnya. Dan mohon maaf ya para anggota DPRD Bekasi,
sampah juga masih menjadi masalah besar di Bekasi.
Bukan soal truk lewat
jalan-jalan di Bekasi atau adanya TPA Bantargebang, maka Bekasi sulit
mendapat penghargaan Adipura, melainkan karena Bekasi juga belum menangani
sampah-sampahnya dengan baik. Jadi kita juga harus memperbaiki masalah sampah
kita. Jangan hanya urus soal kontrak perusahaan PT Godang Tua dengan Pemda
DKI saja.
Saya lihat masalah
sampah ini tidak pernah diselesaikan secara komprehensif. Penyelesaiannya
hanya sepotong-sepotong. Cuma angkut-buangtumpuk lalu uruk. Bayangkan,
volumenya di seluruh Indonesia setiap hari terus bertambah. Pada 2013,
misalnya, volume sampah di Jakarta mencapai 6.500 ton per hari. Setahun
kemudian, 2014, volumenya sudah bertambah lebih dari 7%- nya menjadi 7.000
ton.
Ingat, ini per hari.
Sekarang sebagian orang Jakarta sudah pindah ke Bekasi, tapi orang-orang
daerah juga pindah ke Ibu Kota. Demikian juga kota-kota lain. Jadi ini akan
jadi masalah yang tereskalasi. Seperti apa gambaran sampah dengan volume
sebesar itu? Angka 7.000 ton sampah itu kurang lebih setara dengan 25.000
meter kubik.
Jika Anda pernah
berwisata ke Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, volume candi itu
adalah 55.000 meter kubik. Jadi, jika dalam dua hari saja sampah di Jakarta
tidak diangkut, timbunannya kurang lebih setara dengan volume Candi
Borobudur, bukan?
Mafia Sampah
Tapi, di balik
sedemikian seriusnya masalah sampah di Jakarta, saya melihat begitu banyak
fenomena yang sebetulnya berangkat dari urusan tidak nyambung. Apa maksudnya?
Anda pernah mendengar istilah bank sampah? Rumah-rumah tangga mengumpulkan
sampah yang sudah dipilah: sampah organik, sampah anorganik, dan sampah bahan
berbahaya dan beracun seperti batu baterai bekas, bahan-bahan kimia.
Sampah-sampah yang
sudah dipilah tadi disetorkan di tingkat RT atau RW dan dihargai senilai
tertentu dan dicatat sebagai tabungan. Kelak sampah-sampah itu disetorkan ke
pengepul. Atau model lainnya adalah asuransi sampah yang digagas oleh dr
Gamal Albinsaid di Malang. Jadi, setoran dalam bentuk sampah dihargai senilai
tertentu dan dijadikan premi asuransi.
Tapi, terus terang,
sebagai orang yang pernah urus sampah, saya sebenarnya meragukan
keberlangsungannya. Maaf, dalam soal sampah ini, ada banyak orang yang sulit
diurus. Baiklah kita lihat keadaan di tempat lain. Kalau Anda pernah
berkunjung ke pabrik-pabrik semen yang ada di Indonesia, beberapa dari mereka
menyiapkan tempat-tempat penimbunan sampah. Ukurannya besar-besar.
Sampah itu kelak
mereka jadikan sebagai bahan bakar, pengganti batu bara yang sangat polutif.
Maklum, biaya terbesar dari produksi semen adalah api. Jadi, pabrik-pabrik
semen sebetulnya membutuhkan sampah. Jenis apa pun. Mereka siap menampung
jika volumenya besar dan kering. Kita sebut itu biomassa dan mitra saya
pernah menjadi pemasoknya untuk Indocement.
Biomassa itu adalah by product sampah yang sudah dicacah
dan dipisahkan dari kompos yang terdiri atas berbagai limbah yang sulit
dihancurkan, lalu dipres sebesar dua kali ukuran batu bata. Nah, di sisi
lain, Pemprov DKI Jakarta pusing setengah mati mencari tempat pembuangan
sampah warganya.
Kalau melihat kasus
bank sampah, asuransi sampah, pabrik semen yang mencari sampah, belum
termasuk para pembuat pupuk kompos, kelihatan bukan kalau ada yang tidak
nyambung di sini? Tahukah Anda di Jepang ada pabrik pengolahan sampah yang
kalau dari jauh kita pikir itu Disney Land? Tahukah Anda, negara-negara
Skandinavia ada yang sengaja impor sampah dari Inggris untuk menghasilkan
listrik? Gila, sampah saja ada harganya.
Jadi, di satu sisi ada
supply, di sisi lain ada demand, tetapi keduanya ternyata belum
ketemu. Oya, saya juga mendengar bisikbisik soal mafia sampah. Luar biasa. Di
sampah pun ternyata ada mafianya. Ini benar kok karena saya sendiri pernah
merasakan. Begitu kami bisa mengolah sampah dalam skala kelurahan, paniklah
para mafia itu.
Mereka pun memutus
mata rantai ekonomi sampah yang sudah kami bangun. Kini tahu rasalah mereka
yang mainmain saat bertemu Gubernur yang gila. Saya pikir inilah saatnya
perubahan. Mafia ini tingkatannya banyak juga, biasanya diawali dengan
kegiatan mengumpulkan jenis-jenis sampah tertentu dari tumpukan yang ada di
TPA. Di antaranya botol-botol atau benda apa pun yang terbuat dari plastik.
Kelak, botol-botol
plastik atau barang plastik itu akan dicacah dan kemudian diolah kembali
menjadi biji-biji plastik. Biji plastik inilah yang mereka jual ke pabrik
pembuat botol atau aneka produk yang berbasis plastik. Bagi mafia, botol
plastik seperti ini penting agar truk-truk sampah terus mengirim sampah ke
Bantargebang.
Kalau sampai berhenti,
bisnis mereka bakal terganggu. Tapi mereka ini masih mafia kecillah.
Beruntung juga pabrik-pabrik semen kita belum menjadikan kaca-kaca bekas
bangunan atau botol-botol minuman dari kaca sebagai bahan baku pembuatan
semen. Padahal, kacakaca tersebut bisa dijadikan sebagai pengganti pasir
kuarsa. Jadi, cukup kaca-kaca bekas tersebut digerus halus, jadilah ia
sebagai bubuk kaca.
Bubuk ini, kalau saya
baca dari beberapa penelitian, bisa digunakan sebagai pengganti pasir
kuarsa—yang selama ini juga menjadi bahan baku untuk pembuatan kaca. Keuntungan
pabrik semen dengan memakai kaca bekas adalah lebih ramah lingkungan. Sebab
mereka memanfaatkan limbah kaca sebagai bahan bakunya. Saya berharap tulisan
ini tidak menjadi pemicu lahirnya mafia kaca bekas.
PLTSa
Bicara sampah, satu
hal yang membuat saya sejak dulu gelisah adalah perlunya kita mengubah mindset. Kita tahu di banyak negara
sampah tidak menjadi masalah, tetapi malah berkah—sh;kecuali sampah
masyarakat, tentu saja. Referensinya ada di mana-mana. Di mana berkahnya? Di
negara-negara tersebut sampah mereka olah sebagai bahan baku untuk pembangkit
listrik tenaga sampah atau biasa disingkat PLTSa.
Di Amerika Serikat
(AS), misalnya, PLTSa-nya mampu menghasilkan daya sekitar 2.500 megawatt
(MW). Untuk menghasilkan daya yang sebesar itu pihak PLTSa membutuhkan
sekitar 35 juta ton sampah. Jumlah ini baru setara dengan 17% dari total
sampah yang dihasilkan warga AS.
Di negara-negara Uni
Eropa, pengolahan sampah dengan teknologi waste to energy (WTE) sudah sejak
lama mereka lakukan. Mereka bahkan memiliki puluhan hingga ratusan fasilitas
WTE. Di Denmark, lebih dari 80% sampahnya diolah di fasilitas WTE yang
tersebar di beberapa kota. Prancis, negara ini memiliki 130-an WTE atau
PLTSa. Negara yang terkenal dengan pastanya, Italia, memiliki 50-an fasilitas
WTE.
Lalu di Jerman, negara
ini juga memiliki 60-an WTE. Negara terdekat kita, Singapura, juga memiliki
empat unit incinerator plant yang
masing-masing unitnya memiliki kemampuan untuk mengolah mulai dari 1.100 ton
sampah per hari sampai yang 3.000 ton per hari. Tapi energi kok dibakar pakai
energi? Sayang juga ya. Tapi, baiklah, itu juga lumayan solusi kalau kita
anggap kebersihan nomor satu.
Kita sebetulnya juga
memiliki beberapa fasilitas PLTSa. Di daerah Gedebage, Bandung, kita memiliki
fasilitas PLTSa yang membakar 2.000-3.000 meter kubik sampah guna
menghasilkan daya 7 MW. Sayangnya fasilitas PLTSa Gedebage yang berbasis incinerator ini tengah mendapat
sorotan dari sebagian warga Bandung. Meski begitu saya yakin di dunia ada
banyak teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.
Selain menggunakan incinerator, setahu saya ada teknologi
yang lain seperti gasifikasi, proses termal hingga pirolisis. Jadi, teknologi
mestinya bukan persoalan. Justru persoalannya adalah mindset yang belum melihat sampah sebagai peluang. Bukan hanya
peluang untuk mengubahnya menjadi energi, tetapi juga peluang untuk mengubah
pola pikir dan perilaku pejabat dan masyarakat dalam mengelola sampah yang
setiap hari mereka hasilkan.
Saya pikir bagus
jugalah DKI menghadapi masalah ini sehingga terpicu untuk berubah. Masa dengan anggaran
Rp400 miliar untuk angkut sampah ke TPA Bantargebang kita tak bisa buat
pengolahan yang canggih? Masa hidup kita mau seperti ini terus? Kalau ini bisa kita
lakukan, saya yakin bakal terjadi perubahan besar di masyarakat kita. Dan
inilah salah satu bentuk revolusi mental yang dicanangkan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar