Reshuffle dan Sesat Pikir Koalisi
Bawono Kumoro ; Head of Politics and Government Department
The Habibie Center
|
JAWA
POS, 13 November 2015
ISU reshuffle kabinet kembali mencuat. Setelah
awal Agustus lalu terjadi pergantian lima menteri dan satu pejabat setingkat
menteri, kini kembali berembus kabar dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo
melakukan penataan ulang kursi kabinet bagi partai-partai pendukung
pemerintah.
Tidak dapat dimungkiri keputusan Partai Amanat
Nasional (PAN) masuk barisan koalisi pendukung pemerintah menjadi salah satu
faktor determinan di balik isu reshuffle kali ini. Apalagi, sejumlah kader
partai berlambang matahari terbit tersebut turut aktif berbicara di muka
publik mengenai isu reshuffle kabinet.
Sebagaimana diketahui, awal September lalu PAN
memutuskan bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Perubahan sikap politik PAN itu merupakan kabar buruk bagi Koalisi Merah
Putih.
Manuver politik PAN membuat Koalisi Merah
Putih mengalami demoralisasi mengingat PAN merupakan kopilot koalisi. Dalam
pemilihan presiden tahun lalu, kader PAN mencalonkan Hatta Rajasa maju
sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Di barisan pendukung pemerintah, kini terdapat
enam partai politik dengan jumlah total 295 kursi. Dengan perincian Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (109 kursi), Partai Amanat Nasional (48
kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan
(39 kursi), Partai Nasdem (36 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi).
Sebaliknya, di koalisi oposisi pemerintah,
jumlah kursi otomatis berkurang dengan perubahan sikap politik Partai Amanat
Nasional menjadi 204 kursi. Bahkan, kalaupun mereka mampu membujuk Partai
Demokrat untuk mengubah sikap politik dari kekuatan penyeimbang menjadi
pendukung tetap Koalisi Merah Putih, jumlah kursi koalisi oposisi pemerintah
baru mencapai 265 kursi.
Sesat Pikir
Perubahan sikap politik Partai Amanat Nasional
diklaim dapat mengukuhkan soliditas koalisi pendukung pemerintah di parlemen
sekaligus menguatkan lembaga eksekutif. Lebih dari itu, koalisi dipandang
sebagai sebuah ikhtiar politik untuk memperkuat bangunan sistem presidensial
sehingga kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan lebih mudah diwujudkan oleh
pemerintah.
Studi Linz dan Velenzuela berjudul The Failure of Presidential Democracy: The
Case of Latin America (1994) sering kali dijadikan justifikasi untuk
melakukan koalisi. Linz dan Velenzuelamengatakan,’’perkawinan’’ sistem
pemerintahan presidensial dan sistem multipartai akan melahirkan konflik
antara lembaga eksekutif dan legislatif sehingga demokrasi menjadi cenderung
tidak stabil. Bahkan, berpotensi mengakibatkan kebuntuan politik (deadlock) antara lembaga eksekutif dan
legislatif.
Namun, sesungguhnya persoalan koalisi
partai-partai lebih terkait dengan kepentingan politik jangka pendek
kekuasaan, seperti jatah kursi di kabinet, ketimbang sebagai sebuah ikhtiar
politik memperkuat bangunan sistem presidensial. Karena itu, tidak
mengherankan kini berembus kabar PAN telah menyetorkan lima nama kader kepada
presiden untuk dipertimbangkan masuk kabinet.
Bahkan, boleh jadi koalisi partapartai bukan
sekadar persoalan ’’siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana’’. Tapi, juga
kalkulasi mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilu lima tahun
mendatang. Sudah menjadi rahasia umum jabatan di kementerian sering kali
menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri
bersangkutan bernaung.
Secara teoretis, gagasan koalisi cuma relevan
dalam konteks sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan
presidensial. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam rangka
membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu di satu sisi dan membangun
blok oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut dalam pemerintahan di sisi lain.
Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial
sebagaimana dianut Indonesia, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan dua
lembaga tinggi terpisah yang tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain.
Kelangsungan hidup lembaga eksekutif tidak bergantung pada dukungan lembaga
legislatif.
Karena itu, klaim partai-partai selama ini
bahwa koalisi merupakan usaha untuk memperkuat bangunan sistem presidensial
tidak lebih dari sekadar sesat pikir belaka. Alih-alih memperkuat sistem
presidensial, keberadaan koalisi justru berpotensi melestarikan wajah buruk
parlemen hari ini. Yakni, cenderung melembagakan perilaku parlementer
ketimbang memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Tata Ulang
Jika memang benar concern utama partai-partai
tersebut adalah mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan
memperkuat sistem presidensial di Indonesia, jalan yang harus dirintis adalah
menginisiasi penataan ulang desain institusi politik. Maksud dari penataan
ulang desain institusi politik tersebut adalah sistem presidensial dapat
lebih kompatibel dengan sistem multipartai. Penataan ulang desain institusi
politik mencakup desain pemilu, desain parlemen, dan desain lembaga
kepresidenan.
Penataan ulang desain pemilu diperlukan agar
pemilu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik dari
multipartai ekstrem ke multipartai sederhana. Hal itu dapat dilakukan antara
lain melalui penerapan ambang batas parlemen secara konsisten serta
pelaksanaan serentak pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Adapun penataan ulang desain parlemen
dimaksudkan agar kelembagaan parlemen diarahkan kepada penyederhanaan
polarisasi kekuatan politik. Sedangkan penataan ulang desain lembaga
kepresidenan diarahkan untuk memperkuat posisi politik presiden di hadapan
parlemen.
Contoh penataan ulang desain lembaga
kepresidenan berupa larangan rangkap jabatan politik bagi menteri serta
pengaturan presiden dan wakil presiden berasal dari partai politik yang sama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar