Hukum dan Pertumbuhan Ekonomi
Abdul Hakim G Nusantara ; Advokat, Konsultan Hukum
|
KOMPAS,
07 November 2015
Satu tahun
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menunjukkan capaian yang mengecewakan
harapan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen pada triwulan
I-2015, dan 4,67 persen pada triwulan II-2015, meski di triwulan III-2015
naik menjadi 4,73 persen.
Pertumbuhan ekonomi
yang rendah ini telah menimbulkan dampak buruk di bidang ekonomi, antara
lain, jumlah orang miskin naik dari 10,96 persen (September 2014) menjadi
11,50 persen (Maret 2015). Itu artinya orang miskin bertambah 860.000 orang.
Saat ini jumlah orang miskin mencapai 28,59 juta orang.
Angka pengangguran
terbuka meningkat dari 7,1 persen (2014) menjadi 7,5 persen (2015). Rendahnya
pertumbuhan ekonomi itu disertai dengan buruknya kinerja sektor penegakan
hukum: kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Itu bermakna korupsi
dan bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya dipersepsi masyarakat masih
dipraktikkan para penegak hukum tersebut. Karena itu, publik menilai
rendahnya pertumbuhan ekonomi disebabkan faktor internal sistem itu sendiri:
buruknya kinerja sistem hukum dan pemerintahan merupakan penyebab rendahnya
pertumbuhan ekonomi dalam arti kuantitas dan kualitas.
Bila benar demikian,
rasanya tak adil bila para pemimpin pemerintah dan elite politik kita selalu
menyalahkan faktor eksternal, seperti pelambatan perekonomian dunia sebagai
kausa utama rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Sikap yang selalu
menyalahkan faktor eksternal dapat membawa mereka ke dalam eskapisme,
pencitraan, dan menghindari tanggung jawab.
Douglass North, ahli
ekonomi kelembagaan baru (the new
institutional economics/NIE) dan pemenang Nobel 1993, mengemukakan kaitan
penting antara rule of law, seperti
sistem penegakan hukum, tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi.
Menurut North, institusi dan hukum yang tepat mendukung terjadinya efisiensi
transaksi di antara para auktor privat dalam pasar ideal, asalkan
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, khususnya, rule of law dan implementasi hak atas
kekayaan menjadi fokus usaha pembaharuan kebijakan.
Empat komponen
Sejalan dengan pikiran
North, Stephan Haggard menguraikan komponen rule of law pendukung pertumbuhan
ekonomi secara berurutan.
Pertama, keamanan
individu yang bermakna para pelaku ekonomi harus bebas dari segala bentuk
hambatan, gangguan, dan ancaman, baik yang bersifat fisik dan atau kejiwaan
dari pihak mana pun dalam melakukan transaksi. Perlindungan hak atas kekayaan
dan kebebasan berkontrak yang mendasari transaksi di pasar akan sia-sia bila
tidak ada keamanan individu.
Harus selalu diingat,
dalam negara yang sarat dengan kekerasan sosial, biaya transaksi menjadi
sangat mahal, penuh risiko dengan kemungkinan besar investasi merugi. Negara
yang dilanda kekerasan sosial masif dan meluas mustahil meraih pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
Di Indonesia, hak atas
keamanan pribadi diakui sebagai HAM dalam UUD 1945, yang wajib dihormati oleh
negara dan kelompok kuat dalam masyarakat. Untuk mewujudkan keamanan, negara
menghentikan perang dan berbagai bentuk kekerasan di Timor Leste dengan
menghormati hak rakyat di wilayah itu menentukan nasib sendiri menjadi negara
merdeka. Di Aceh, negara membuat perjanjian damai dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang menghasilkan otonomi luas pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Di Papua, negara belum sepenuhnya berhasil menghentikan kekerasan
sosial.
Guna melindungi hak
atas keamanan pribadi, negara harusmenurunkan sampai pada tingkat minimal
angka kriminalitas. Suatu negara yang dilanda kriminalitas yang tinggi tanpa
mampu mengatasinya tidak akan pernah meraih tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi dan berkelanjutan. Demi keamanan individu dan masyarakat, negara harus
menghadirkan polisi yang profesional, berintegritas, dan netral.
Kedua, pengakuan dan
penghargaan hak atas kekayaan dan hak atas kebebasan berkontrak. Dua hak ini
dapat memberi insentif bagi orang-orang berinvestasi dan berniaga. Dengan
begitu ia akan mendorong pertumbuhan ekonomi asalkan negara melalui institusi
hukumnya mampu menghormati dan menegakkan hak-hak perdata tersebut.
Dalam suatu negara di
mana institusi hukumnya—terutama pengadilan—tak mampu memberi keadilan ketika
terjadi pelanggaran perjanjian atau hak hukum lainnya, sementara alternatif
penyelesaian sengketa (APS) yang sah tidak tersedia, maka yang terjadi adalah
premanisme hukum, penyebab melambungnya biaya dan risiko berniaga dan
berinvestasi, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu, demi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, negara selain
mengupayakan berfungsinya lembaga pengadilan, perlu mengembangkan APS,
seperti arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang tanggap kebutuhan pasar.
Pesatnya pertumbuhan
APS akan menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Begitulah yang
terjadi di Tiongkok, India, Filipina, dan Korea Selatan. Hak atas kekayaan
dan hak atas kebebasan berkontrak adalah HAM tertuang dalam UUD 1945. Namun,
perlindungan dan pemajuannya oleh negara tampaknya belum cukup meyakinkan
pasar..
Ketiga, hadirnya
lembaga politik dan hukum yang menjalankan fungsi pengawasan dan
keseimbangan, seperti pemerintah, parlemen, dan pengadilan yang independen.
Fungsi check and balance ini memungkinkan pencegahan dan pengendalian
berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, baik dari institusi politik maupun
hukum penghambat pertumbuhan ekonomi.
Fungsi check and balance dalam berbagai
variasinya dijalankan India, Filipina, Korea Selatan, Indonesia,RRT, dan
Vietnam sebagai pengendalian dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan negara
demi bekerjanya pasar dan pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional.
Keempat, konsistensi
tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Berbagai studi tentang korupsi
dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan tingginya korupsi sebagaimana diukur oleh
berbagai survei para investor dikaitkan dengan rendahnya investasi dan
pertumbuhan. Berbagai studi mikro berkenaan dengan pengalaman nyata para
investor berinteraksi dengan aparat negara menegaskan korupsi sebagai
penyebab lesunya investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Saling bergantung
Empat komponen yang
diuraikan Haggard di atas saling bergantung dan melengkapi satu sama lain
membentuk sistem kompleks rule of law sebagai salah satu penentu (determinan)
pertumbuhan ekonomi nasional. Di Indonesia kita menjumpai empat komponen itu,
tetapi belum membentuk kompleks rule of
law yang bagian-bagiannya menyadari sifat komplementer dan saling
bergantung satu sama lain dalam koordinasi dan orkestrasi demi pertumbuhan
dan pemerataan kesejahteraan bangsa.
Saat ini pemerintahan
Jokowi-Kalla dipersepsi pasar belum mampu sepenuhnya mengelola dan
mengendalikan empat komponen tersebut. Misalnya, keamanan pribadi
perwujudannya sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan pemimpin Polri dan
TNI yang belum sepenuhnya berhasil menjalankan reformasi internal
masing-masing.
Realisasi perlindungan
dan pemajuan hak atas kekayaan dan hak atas kebebasan berkontrak sebagian
besar bergantung pada kemampuan pemerintah bersinergi dengan aparat penegak
hukum, dan berkomunikasi dengan pasar. Sementara itu, bekerjanya sistem check
and balance antara pemerintah, DPR, dan yudikatif yang kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi nasional bergantung pada kemampuan pemerintah untuk membangun
dukungan para pemimpin partai politik baik Koalisi Indonesia Hebat maupun
Koalisi Merah Putih.
Saat ini pasar belum
sepenuhnya konfiden bakal bekerjanya fungsi check and balance yang sehat
antara pemerintah, DPR, dan badan yudikatif yang diperlukan bagi pembangunan
ekonomi nasional.
Akhirnya, konsistensi
penegakan hukum pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai bagian kompleks rule of law menurut pasar justru
dilemahkan oleh cara Jokowi menangani konflik antara KPK dan Polri yang tidak
tegas dan kompromistis, pendekatan Jokowi dalam penggantian pejabat tinggi
Polri, dan keinginan pemerintah mengedepankan persuasi dan pencegahan guna
mengatasi korupsi.
Kemauan dan kemampuan
mewujudkan rule of law itulah
tantangan Jokowi-Kalla sebagai jalan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat. Kompleks rule
of law bersama penentu lainnya, yakni pendidikan, kesehatan, sumber daya
manusia, dan perubahan iklim berperan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi
tinggi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar