Presiden Tanpa Pemuda
Garin Nugroho ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
01 November 2015
Bulan Agustus 2014 saya memberi catatan khusus dalam kolom ini
tentang nilai penting bicara tentang pemuda, mengingat postur penduduk Indonesia
usia produktif (15-35 tahun) mencapai lebih dari 60 persen. Kenyataan lain
menunjukkan bahwa 50 persen lebih penduduk yang bekerja menanggung beban
separuh lainnya, sementara kualitas tenaga kerja Indonesia lebih dari 50
persen didominasi lulusan sekolah dasar. Bisa ditebak, kualitas tenaga kerja
Indonesia di bawah tetangga utama di ASEAN, dari Singapura, Malaysia,
Filipina, hingga Thailand.
Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, di tengah situasi perayaan
Sumpah Pemuda yang berlanjut dengan Hari Pahlawan, tidak cukup hadir
komunikasi panduan kebangsaan dari Presiden atau juru komunikasi Presiden dan
elite politik untuk merenungi pemuda dan masalahnya.
Perayaan Sumpah Pemuda kali ini terasa adem-ayem. Yang mencolok
adalah berita demonstrasi perburuhan dan peledakan bom, disusul kemudian
berita tentang tenaga kerja Tiongkok, perbatasan yang diklaim Tiongkok, atau
juga kritik tentang isu penyatuan beberapa BUMN untuk mendukung investasi
Tiongkok, sebuah strategi yang dikritik jungkir balik bagai menggadaikan
bangsa, demikian juga tentang Freeport yang diberi komentar saling berlawanan
oleh pembantu Presiden.
Dengan kata lain, pasca setahun pemerintahan, jargon kerja
Presiden yang pragmatis dihadapkan dengan kenyataan kekuatan ekonomi dan
politik dua raksasa dunia: Amerika dan Tiongkok di tengah ledakan jumlah
penduduk muda Indonesia yang kualitasnya di bawah negara-negara ASEAN.
Harap mafhum, masyarakat sipil menuntut panduan sikap kebangsaan
berbasis filosofi bangsa untuk menghilangkan beragam kekhawatiran. Sebutlah,
panduan kebangsaan arah serta strategi politik luar negeri di tengah
persaingan Amerika, Jepang, India, hingga Tiongkok. Atau juga, panduan
kebangsaan perlindungan tenaga kerja lokal ketika tenaga kerja Tiongkok
menyerbu dari tingkat manajemen hingga buruh. Bahkan, panduan kebangsaan
berkait nilai Sumpah Pemuda, seperti bahasa Indonesia yang dikeluhkan tidak
diberi dukungan strategi kebangsaan yang kuat di tengah kualitas hidupnya
yang kehilangan daya tumbuh.
Dalam sebuah diskusi terbatas aktivis budaya dan politik,
terbaca sebuah kejengkelan: ”Pemerintahan sekarang dengan jargon kerja yang
pragmatis, meski diakui menunjukkan nilai kerja, mulai kehilangan panduan
nilai kebangsaan. Pemerintahan hingga DPR bahkan polisi dan militer terasa cenderung
terpisah dari rakyat. Elite politik dan aktivis yang masuk pemerintahan sibuk
dengan proyek, program, dan targetnya sendiri, terlupa dan gagal mengajak
pemimpin nonformal di masyarakat sipil di berbagai profesi untuk
berpartisipasi. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri untuk survival,
baik birokrasi yang berusaha memenuhi segalanya yang serba kelebihan target,
demikian juga atmosfer kritik, demonstrasi, terlebih rakyat yang dibebani
harga yang serba naik. Anehnya, staf komunikasi Presiden tidak juga
memunculkan kemampuan memandu rakyat untuk memberi arah strategi berbangsa.
Haruslah diakui, pemerintahan Jokowi enam bulan terakhir dengan
jurus kerja yang pragmatis, mampu memandu harapan rakyat, terlebih dengan
cerdik Jokowi menggerakkan program populer merakyat, dari kereta api,
bendungan, sepak bola, hingga kapal laut dalam negeri. Namun, sebagai sebuah
bangsa, pragmatisme jargon kerja ternyata tidaklah cukup. Warga bangsa akan
mulai khawatir ketika merasakan kehilangan panduan politik makro yang
menyangkut prinsip filosofi sendi-sendi berbangsa berkait dengan gagasan
dasar pertahanan ekonomi, pertahanan tenaga kerja, agama hingga bahasa maupun
mental berbangsa.
Harus diingat, momentum Sumpah Pemuda ataupun Hari Pahlawan
menunjukkan sejarah tentang pragmatisme kerja pemuda membangun negara dalam
keindahan spirit kebangsaan. Agaknya, ini menjadi PR staf komunikasi Presiden
dan elite politik pasca setahun Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar