Kamis, 05 November 2015

Presiden Tanpa Pemuda

Presiden Tanpa Pemuda

Garin Nugroho  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 01 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bulan Agustus 2014 saya memberi catatan khusus dalam kolom ini tentang nilai penting bicara tentang pemuda, mengingat postur penduduk Indonesia usia produktif (15-35 tahun) mencapai lebih dari 60 persen. Kenyataan lain menunjukkan bahwa 50 persen lebih penduduk yang bekerja menanggung beban separuh lainnya, sementara kualitas tenaga kerja Indonesia lebih dari 50 persen didominasi lulusan sekolah dasar. Bisa ditebak, kualitas tenaga kerja Indonesia di bawah tetangga utama di ASEAN, dari Singapura, Malaysia, Filipina, hingga Thailand.

Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, di tengah situasi perayaan Sumpah Pemuda yang berlanjut dengan Hari Pahlawan, tidak cukup hadir komunikasi panduan kebangsaan dari Presiden atau juru komunikasi Presiden dan elite politik untuk merenungi pemuda dan masalahnya.

Perayaan Sumpah Pemuda kali ini terasa adem-ayem. Yang mencolok adalah berita demonstrasi perburuhan dan peledakan bom, disusul kemudian berita tentang tenaga kerja Tiongkok, perbatasan yang diklaim Tiongkok, atau juga kritik tentang isu penyatuan beberapa BUMN untuk mendukung investasi Tiongkok, sebuah strategi yang dikritik jungkir balik bagai menggadaikan bangsa, demikian juga tentang Freeport yang diberi komentar saling berlawanan oleh pembantu Presiden.

Dengan kata lain, pasca setahun pemerintahan, jargon kerja Presiden yang pragmatis dihadapkan dengan kenyataan kekuatan ekonomi dan politik dua raksasa dunia: Amerika dan Tiongkok di tengah ledakan jumlah penduduk muda Indonesia yang kualitasnya di bawah negara-negara ASEAN.

Harap mafhum, masyarakat sipil menuntut panduan sikap kebangsaan berbasis filosofi bangsa untuk menghilangkan beragam kekhawatiran. Sebutlah, panduan kebangsaan arah serta strategi politik luar negeri di tengah persaingan Amerika, Jepang, India, hingga Tiongkok. Atau juga, panduan kebangsaan perlindungan tenaga kerja lokal ketika tenaga kerja Tiongkok menyerbu dari tingkat manajemen hingga buruh. Bahkan, panduan kebangsaan berkait nilai Sumpah Pemuda, seperti bahasa Indonesia yang dikeluhkan tidak diberi dukungan strategi kebangsaan yang kuat di tengah kualitas hidupnya yang kehilangan daya tumbuh.

Dalam sebuah diskusi terbatas aktivis budaya dan politik, terbaca sebuah kejengkelan: ”Pemerintahan sekarang dengan jargon kerja yang pragmatis, meski diakui menunjukkan nilai kerja, mulai kehilangan panduan nilai kebangsaan. Pemerintahan hingga DPR bahkan polisi dan militer terasa cenderung terpisah dari rakyat. Elite politik dan aktivis yang masuk pemerintahan sibuk dengan proyek, program, dan targetnya sendiri, terlupa dan gagal mengajak pemimpin nonformal di masyarakat sipil di berbagai profesi untuk berpartisipasi. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri untuk survival, baik birokrasi yang berusaha memenuhi segalanya yang serba kelebihan target, demikian juga atmosfer kritik, demonstrasi, terlebih rakyat yang dibebani harga yang serba naik. Anehnya, staf komunikasi Presiden tidak juga memunculkan kemampuan memandu rakyat untuk memberi arah strategi berbangsa.

Haruslah diakui, pemerintahan Jokowi enam bulan terakhir dengan jurus kerja yang pragmatis, mampu memandu harapan rakyat, terlebih dengan cerdik Jokowi menggerakkan program populer merakyat, dari kereta api, bendungan, sepak bola, hingga kapal laut dalam negeri. Namun, sebagai sebuah bangsa, pragmatisme jargon kerja ternyata tidaklah cukup. Warga bangsa akan mulai khawatir ketika merasakan kehilangan panduan politik makro yang menyangkut prinsip filosofi sendi-sendi berbangsa berkait dengan gagasan dasar pertahanan ekonomi, pertahanan tenaga kerja, agama hingga bahasa maupun mental berbangsa.

Harus diingat, momentum Sumpah Pemuda ataupun Hari Pahlawan menunjukkan sejarah tentang pragmatisme kerja pemuda membangun negara dalam keindahan spirit kebangsaan. Agaknya, ini menjadi PR staf komunikasi Presiden dan elite politik pasca setahun Presiden Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar