Pohon & Buah
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
01 November 2015
Pintu lift terbuka, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun
masuk ke dalamnya. Ia keluar di lantai enam. Di saat ia baru saja
meninggalkan lift, seorang wanita muda yang juga berada di dalam lift
berkomentar dengan teman laki-lakinya, "Parah tu anak. Badannya bau
rokok." Hari masih pukul delapan kurang, di Minggu pagi saat kejadian
itu berlangsung di apartemen tempat tinggal saya.
Pelajaran?
Setelah membereskan belanjaan rumah di sebuah pasar swalayan
mini di lantai dasar, saya kembali masuk ke dalam lift menuju tempat tinggal
di lantai lima belas. Selama di dalam lift itu, otak saya mulai dihujani
dengan sejuta pertanyaan soal komentar wanita muda terhadap bau rokok di
badan anak laki-laki itu.
Apakah di usia sedini itu si bocah sudah merokok? Apakah salah
satu atau kedua orangtuanya, atau kakaknya, atau orang lain sedang merokok
ketika si bocah lucu berkulit sawo matang itu berada dekat dengan mereka?
Kalau seandainya ia merokok di usia sedini itu, siapa yang
mengajari atau yang menginspirasinya untuk melakukan itu? Kalau seandainya ia
tidak merokok, tetapi orang lain yang lebih dewasa melakukannya di hadapan
bocah cilik itu, apa yang dipikirkan manusia dewasa itu saat melakukan
aktivitas merokoknya?
Saya tak sedang mempermasalahkan soal aktivitas merokoknya,
tetapi yang lalu lalang di kepala saya adalah satu pertanyaan. Pelajaran
apakah yang kira-kira ingin disampaikan kepada si bocah oleh siapa pun yang
membuat badannya beraroma asap rokok?
Apakah pelajaran soal kebebasan melakukan apa pun tanpa
memedulikan orang lain sehingga bocah itu akan memupuk bakat menjadi makhluk
yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain sejauh itu
menyenangkan dirinya?
Apakah pelajaran soal persepsi bahwa merokok itu sama dengan
menjadi seorang laki-laki sejati? Apakah memberikan sebuah pelajaran bahwa
merokok itu adalah sebuah aktivitas biasa seperti minum air sehingga bisa
dilakukan siapa pun dan di mana pun?
Seandainya, di dalam lift itu hanya ada saya dan si bocah, sudah
dapat dipastikan saya akan bertanya kepadanya bagaimana sepagi itu, aroma
rokok sudah menempel di tubuhnya yang terlihat begitu sehatnya.
Pusat kebugaran
Baru saja kepala ini berhenti berpikir, eh. nurani yang selalu
tak diundang datangnya ikut bertanya. Pertanyaan yang disuarakan cukup
panjang dan nyelekit seperti biasa. Begini pertanyaannya.
"Apakah koruptor, tukang gosip, manusia yang suka pamer,
pongah, pemecah belah, cari muka, pandai menjilat, gampang iri hati, dan
pendendam itu karena sedari kecil aroma korup dan lain-lainnya itu udah
ditempelin di badan tanpa sengaja atau dengan sengaja oleh orangtua atau
siapa pun itu?
Beberapa hari lalu, teman saya bercerita kepada saya bahwa teman
dekatnya memberi uang bulanan kepada anaknya yang baru duduk di bangku
sekolah menengah pertama sebesar sekian ratus juta rupiah. Kalau saya memberi
tahu angka pastinya, saya kok yakin Anda akan kaget, persis seperti pertama
kali saya mendengar cerita ini.
Dengan uang bekal begitu berlimpah, anak itu menjadi seorang
penguasa di sekolah. Namanya juga penguasa, Anda tahu apa saja yang dapat
dilakukan seorang penguasa, bukan? Ketika teman saya menanyakan mengapa ia
memberi uang sebanyak itu, sang ibu menjelaskan bahwa uang sebanyak itu
adalah untuk kebutuhan anaknya, apalagi kalau mendadak sakit.
Dalam pikiran standar saya, orangtua itu memiliki tanggung jawab
menciptakan kebahagiaan di dalam rumah, tempat anak itu tumbuh, tempat
orang-orang yang kita cintai berada. Kebahagiaan itu menjadi seperti pusat
kebugaran yang disediakan secara cuma-cuma ketika peristiwa di luar rumah
meluluhlantakkan seorang anak.
Dan pusat kebugaran yang membahagiakan itu bukan ditemukan dalam
bentuk sebuah batang rokok, pada tumpukan uang beratus-ratus juta rupiah,
bukan dalam sebuah perilaku orangtua yang pongah, pada orangtua yang tak kuat
menahan rasa iba terhadap anak.
Tetapi saya baru ingat soal dua hal. Pertama, mungkin ada
manusia yang memang tak mampu menjadi orangtua. Maksud saya menjadi orangtua
yang dewasa. Karena kan katanya, menjadi tua itu sudah pasti, tetapi menjadi
dewasa itu belum tentu. Katanya.
Nah, buat saya, menikah dan kemudian memiliki anak hanya membuat
dua orang meraih sebuah predikat bernama orangtua. Dan predikat itu sama
sekali tak berarti bahwa dua orang yang dimaksud mampu memaknai predikat itu
sendiri. Karena memaknai itu membutuhkan kedewasaan alias kematangan jiwa.
Kedua, saya lupa, kalau standar kebahagiaan yang diciptakan
sebagai pusat kebugaran untuk setiap orang itu tidak sama. Saya ingin anak
saya berbahagia bukan karena menjadi penguasa, melainkan mungkin ada orangtua
yang berbahagia menyediakan pusat kebugaran, agar memiliki anak yang mampu
menjadi seorang laki-laki sejati, sekaligus penguasa yang merokok. Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar