Menilai Surat Edaran Kapolri
W Riawan Tjandra ; Dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Doktor Ilmu Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 06 November 2015
KAPOLRI baru saja
menerbitkan Surat Edaran No SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) pada 8 Oktober 2015.
Surat edaran tersebut pada intinya menegaskan beberapa hal penting. Pertama,
persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik
nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap
perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kedua, membahas bentuk-bentuk ujaran
kebencian.
Selanjutnya SE Kapolri
tersebut menyatakan bahwa apabila tidak ditangani dengan efektif, perbuatan
ujaran kebencian, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan
berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan
nyawa. SE Kapolri juga mengatur prosedur penanganan atas terjadinya hate
speech tersebut agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan
nyawa, dan atau konflik sosial yang meluas.
Prosedur penangannya
oleh anggota Polri diatur dalam beberapa tahapan. Pertama, setiap personel
Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk
kebencian. Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka
terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak
pidana. Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian
terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan
perbuatan ujaran kebencian. Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke
pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya,
terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Apabila ditemukan
perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, setiap
anggota Polri wajib melakukan berbagai tindakan preventif. Jika tindakan
preventif sudah dilakukan, namun tidak menyelesaikan masalah, penyelesaiannya
dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Jika SE Kapolri
tersebut diletakkan dalam perspektif teoretis dalam hukum administrasi
negara, produk hukum tersebut merupakan salah satu varian dari peraturan
kebijaksanaan (policy rule) atau
yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai beleidsregel. Dalam hukum
administrasi negara, pejabat tata usaha negara (termasuk Kapolri) memang
diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum baik yang berupa
peraturan (regeling), keputusan
tata usaha negara (beschikking),
maupun peraturan kebijaksanaan. Peraturan kebijaksanaan berbeda dengan sebuah
undang-undang atau peraturan karena hanya mengikat secara internal kepada
pejabat tata usaha negara sendiri dan tidak ditujukan untuk mengikat secara
langsung kepada masyarakat.
Hal itu tentu berbeda
dengan undang-undang atau peraturan yang memang harus dibuat mengikuti sistem
hierarki peraturan perundang-undangan dan ditujukan untuk mengikat secara
eksternal (masyarakat) maupun internal (aparat pemerintah). Dengan demikian,
kekuatan mengikat suatu peraturan kebijaksanaan kepada masyarakat seperti SE
Kapolri tersebut sifatnya tidak langsung. Hal itulah yang menyebabkan suatu
bentuk peraturan kebijaksanaan disebut sebagai suatu bentuk “hukum cermin” (spiegel recht) karena daya mengikatnya
ibarat hanya memantulkan norma kepada masyarakat karena dampak penggunaan
peraturan kebijaksanaan itu oleh aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas
operasionalnya yang mau takmau juga akan berpengaruh terhadap perilaku
masyarakat yang bersentuhan dengan pelaksanaan tugas aparat pemerintah.
Berkaca pada landasan
teoretis peraturan kebijaksanaan dalam sistem hukum administrasi negara
seperti telah diuraikan di atas, sejatinya masyarakat tak perlu khawatir
terhadap eksistensi SE Kapolri tersebut. Hal itu disebabkan suatu peraturan
kebijaksanaan seperti SE Kapolri itu tak dapat membentuk norma hukum baru
yang berimplikasi terhadap perilaku subjek hukum yang diatur. Pembentukan
norma hukum baru di ranah perdata, tata negara, administratif, maupun pidana
hanya dapat dilakukan melalui suatu undang-undang atau peraturan daerah.
Varian lain dari peraturan kebijaksanaan yang selama ini dikenal dalam
praktik administrasi negara adalah juklak, juknis, nota dinas, pengumuman,
pedoman, dan sejenisnya. Semua jenis peraturan kebijaksanaan tersebut hanya
merupakan sebuah alat komunikasi organisasi antarjabatan tata usaha negara
dan di lingkungan internal pejabat tata usaha negara.
Meskipun suatu
peraturan kebijaksanaan memang menjadi wewenang dan terletak di ranah
kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk Kapolri, dalam
hukum administrasi negara memang dilekatkan pertanggungjawaban penggunaan
wewenang tata usaha negara bagi setiap pejabat tata usaha negara yaitu tak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tak
boleh bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration).
Surat Edaran Kapolri sebagai
salah satu varian dari peraturan kebijaksanaan hanya dimaksudkan untuk
menjamin ketaatasasan tindakan kepolisian dalam penanganan tindakan hate speech sebagaimana dimaksud dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan dari SE Kapolri
tersebut. Polri tetap terikat untuk mematuhi berbagai prosedur hukum yang
terdapat dalam norma hukum administrasi umum (UU Administrasi Pemerintahan)
maupun norma hukum administrasi sektoral yang mengatur berbagai kategori
tindakan yang dalam SE dikategorikan sebagai hate speech.
Selain itu, Polri
dalam melaksanakan kewenangannya untuk menangani berbagai perilaku hate
speech sebagaimana diatur dalam SE Kapolri juga tetap harus tunduk pada
asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti harus cermat dan hati-hati
dalam melakukan penindakan, tidak menyalahgunakan wewenang, dan seterusnya.
Dengan SE Kapolri tersebut, seharusnya dapat menjamin penegakan norma hukum
semakin baik, bukan justru menjadi selubung bagi tindakan sewenang-wenang
aparat dalam mengendalikan pelatuk kekuasaan. Maka itu, pengawasan internal
terhadap para pelaksana surat edaran tersebut harus berjalan paralel dengan
kewenangan untuk melaksanakan surat edaran tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar