Pertambangan oleh Rakyat
Rachman Wiriosudarmo ;
Pengamat Pertambangan;
Penggagas dan Pengembang Konsep
PSK
|
KOMPAS,
16 November 2015
Setelah berita tentang
pertambangan oleh rakyat di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, reda, muncul
masalah di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Sebelum itu, pertambangan
pasir di Lumajang juga menjadi masalah karena terjadi kekerasan yang
merenggut korban jiwa.
Belakangan juga
diberitakan terjadi kecelakaan karena longsor di lokasi kegiatan pertambangan
oleh rakyat di Pongkor, Bogor, Jawa Barat, dengan belasan korban meninggal.
Pertambangan oleh rakyat memang selalu berkaitan dengan kekerasan, konflik,
pencemaran lingkungan, dan kecelakaan dengan kematian.
Pertambangan oleh
rakyat (bukan tambang rakyat) mulai
marak dalam tahun 1980-an. Pada tahun itu pemerintah membuka pintu investasi
pertambangan asing tanpa ada batasan.
Kuasa pertambangan (KP) diobral kepada siapa saja yang mampu membayar. Para
pemegang KP kemudian melakukan kerja sama dengan perusahaan asing untuk
memohon kontrak karya pertambangan. Mereka yang menyebut dirinya investor
asing itu pun sebagian besar bukan perusahaan pertambangan yang bonafide,
tetapi para spekulan yang ingin mendapat untung dari bursa saham di
Australia.
Terbuka luasnya pintu
bagi investor asing disertai alokasi wilayah pertambangan secara luas.
Endapan yang banyak diincar oleh para petualang asing adalah cadangan emas aluvial.
Ciri cadangan emas
aluvial adalah cadangan dengan lapisan yang tidak tebal (2-6 meter), letaknya
dangkal (paling dalam 15 meter), emas terdapat dalam bentuk butiran seperti
pasir sampai sebesar ukuran kerikil. Singkatnya, emas di lapisan aluvial
sangat mudah ditambang dengan peralatan sederhana. Cadangan aluvial banyak
terdapat di seluruh Kalimantan,
Sulawesi Utara (termasuk Sangir), dan di pulau-pulau lain.
Tercakupnya
lahan-lahan milik adat dan milik perseorangan ke dalam kontrak karya (KK) menyebabkan konflik
antara masyarakat dan perusahaan. Di tengah pusaran konflik ini kemudian
masuk para penyandang dana (cukong) untuk membiayai penambangan (emas) secara
ilegal, yang kemudian mendapat nama akronim PETI (penambangan emas tanpa
izin).
PETI yang didanai
cukong menggunakan peralatan mekanis (buldoser,
back hoe). Untuk memisahkan batuan yang mengandung emas digunakan air
raksa atau merkuri, yang limbahnya dibuang begitu saja di sungai atau di
lahan-lahan terbuka. Pasir emas yang masih tercampur dengan butiran emas
dipisahkan dengan pemanasan yang menghasilkan uap merkuri. Karena pemanasan
dilakukan dalam rumah, hampir semua penghuni rumah mengisap uap merkuri.
Pembinaan oleh pemerintah
Ada pertanyaan,
mengapa pemerintah tidak turun tangan membina PETI dengan teknologi dan
perencanaan tambang? Alasan pemerintah tidak membina kegiatan PETI adalah karena
PETI adalah ilegal. Padahal, kalau seandainya pemerintah membina PETI,
pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana terlalu besar karena emas yang
dihasilkan PETI tidak sedikit. Di Minahasa, Sulawesi Utara, ada PETI yang
menghasilkan emas empat kilogram setiap bulan.
Kendala lain yang
dihadapi pemerintah adalah karena kegiatan PETI bukan oleh warga setempat,
melainkan oleh para cukong yang bekerja sama dengan orang- orang dari luar
wilayah. Masyarakat setempat tidak mendapat kemanfaatan apa pun.
Pada 1990, Direktorat
Jenderal Pertambangan meluncurkan program Pertambangan Berbasis Masyarakat
Setempat, yang dikenal dengan nama Pertambangan Skala Kecil (PSK). Konsep ini
berjalan dengan baik karena didukung bantuan masalah teknis oleh tenaga ahli
dari Ditjen Pertambangan.
Program PSK didasarkan
pada prinsip pengembangan cadangan mineral oleh warga desa masing-masing. Di
sini terdapat kelemahan karena ada desa yang mengandung emas dengan kekayaan lumayan, tetapi di
desa lain hanya ada cadangan yang tidak kaya. Basis usaha dalam program PSK
adalah koperasi unit desa (KUD) mengingat KUD merupakan badan usaha yang
berbasis wilayah. Kementerian Koperasi, waktu itu, menyetujui pembentukan KUD
khusus pertambangan, di samping KUD yang bergerak di usaha umum.
Kelemahan lain dari
program PSK adalah tidak menyentuh kegiatan pertambangan ilegal atau PETI
karena pemerintah menolak membina kegiatan yang sifatnya ilegal. Dengan
demikian, program ini tidak dapat mengatasi masalah pencemaran, konflik,
kekerasan, dan kecelakaan yang terjadi.
Legislasi
Baik dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Bahan Galian Strategis maupun UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, peran rakyat ditempatkan pada posisi yang serba marjinal.
Selain wilayah yang terbatas, pertambangan oleh rakyat juga dibatasi pada
lahan dengan kekayaan emas yang marjinal, serta pembatasan penggunaan alat
mekanis.
Selain itu, tidak ada
kewajiban BUMN pertambangan untuk membina pertambangan oleh rakyat yang resmi
atau fasilitas kredit dari bank, apalagi dukungan keringanan pajak dan
fasilitas lain. Untuk pertambangan oleh rakyat resmi ini pemerintah
seharusnya memberi dukungan teknis untuk eksplorasi, perencanaan tambang dan
pengolahan, serta penyediaan teknologi tepat guna.
Pemerintah seharusnya
menyikapi pertambangan oleh rakyat tidak hanya dari segi dampak negatifnya,
tetapi juga harus melihat kemanfaatan bagi rakyat dan daerah. Yang jelas,
kegiatan penambangan oleh rakyat mampu menyediakan ribuan (dalam satu lokasi)
lapangan pekerjaan bagi warga. Dalam kasus penambangan liar di Pongkor,
misalnya, setelah ditutup, diberitakan terdapat 4.000 orang kehilangan
penghasilan. Pertambangan liar di Pongkor ternyata meningkatkan kegiatan
bengkel-bengkel di Cisaat, Sukabumi.
Selain itu, dengan
cara tertentu, pemerintah juga tidak perlu apriori terhadap kehadiran pertambangan ilegal.
Cara tertentu yang dimaksud adalah dengan menyediakan "Sistem
Pertambangan (oleh) Rakyat" yang tidak berdampak negatif.
Dalam sistem tersebut
ditentukan bahwa lembaga dan pelaku harus bersifat kewilayahan (desa atau
kecamatan), memberi bantuan teknologi eksplorasi, penambangan dan pengolahan
serta akses pemasaran dan pendanaan. Pertambangan liar yang sedang berjalan
memang harus dihentikan dan selanjutnya dialihkan kepada warga setempat
dengan mengadopsi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Sistem
Pertambangan oleh Rakyat.
Sejak beberapa tahun
belakangan telah berdiri Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) yang
sudah memiliki cabang di semua provinsi. APRI sudah memiliki konsep
pertambangan oleh rakyat yang berbasis komunitas (community based mining). Yang diperlukan APRI adalah mendapat
akses ke instansi yang berwenang guna membahas regulasi yang diperlukan untuk
pertambangan yang berkelanjutan.
Akses ke pasar sangat
penting dalam kaitan dengan penerapan teknologi tepat guna serta sumber
pendanaan. Sebagai contoh, penambangan kapur oleh rakyat yang produknya
dijual murah kiranya dapat dibantu dengan proses pengolahan untuk
menghasilkan bubuk kapur dengan butiran yang sangat halus (lebih kecil dari
dua mikron) yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas dan
bahan baku dalam industri farmasi. Bukankah selama ini Indonesia impor bahan
baku itu.
Akhirnya, perlu
disampaikan bahwa potensi kemanfaatan pertambangan oleh rakyat telah sejak
lama menjadi perhatian lembaga-lembaga internasional, termasuk PBB dan Bank
Dunia. Lembaga-lembaga di bawah naungan PBB telah banyak membantu
pengembangan pertambangan oleh rakyat di Amerika Latin.
Indonesia yang
dianugerahi sumber daya mineral dan batubara melimpah seharusnya tidak
mengabaikan potensi positif pertambangan oleh rakyat ini. Kalau di sektor
pertanian pemerintah mengeluarkan banyak dana untuk penelitian, bantuan
kepada petani kecil serta subsidi pangan, mengapa terhadap pertambangan oleh
rakyat kecil pemerintah enggan mengeluarkan biaya dukungan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar